Cerita Lurah Hargobinangun, Dampak Penambangan Liar di Gunung Merapi yang Sebabkan Sri Sultan Marah
Aktivitas penambangan pasir kali kuning di kawasan Sleman utara menjadi perhatian serius. Pasalnya, penambangan yang diduga dilakukan dengan sembrono
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Aktivitas penambangan pasir kali kuning di kawasan Sleman utara menjadi perhatian serius. Pasalnya, penambangan yang diduga dilakukan dengan sembrono, menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
Kualitas air menjadi keruh, kental bercampur dengan lumpur, dan mengganggu pertanian. Begitu juga kolam ikan warga.
"Air menjadi keruh. Kental, karena bercampur dengan lumpur. Itu yang dikeluhkan oleh gabungan kelompok tani," kata Lurah Hargobinangun, Amin Sarjito, kepada Tribun Jogja, Senin (13/9/2021).
Kali kuning bisa jadi adalah denyut nadi bagi masyarakat Hargobinangun, maupun Kabupaten Sleman.
Keberadaannya memiliki peranan penting. Amin mengatakan, sedikitnya ada empat Padukuhan mengandalkan air sungai yang berhulu di Gunung Merapi itu sebagai satu-satunya irigasi pertanian.
Yaitu, di padukuhan Purworejo, Jetisan, Panggrahan, dan Sawungan dengan luas lahan 50an hektar. Air dari kali kuning ini juga dimanfaatkan sebagian warga untuk kolam ikan.
Baca juga: Sri Sultan Hamengku Buwono X Geram dengan Aktivitas Tambang Ilegal di Gunung Merapi: Rusak Semua
Awalnya semua baik-baik saja. Sebelum setahun terakhir, di tahun 2020, muncul penambangan pasir skala besar dari perusahaan (PT).
Mereka menambang pasir memanfaatkan alat berat. Kondisi ini mengakibatkan jalan menjadi rusak. Air keruh bercampur dengan lumpur.
Mengganggu lahan pertanian dan kolam perikanan warga. Hingga akhirnya, 4 Agustus 2021, izin perusahaan untuk menambang pasir selesai.
"Saya minta berhenti karena memang izinnya sudah habis dan menimbulkan permasalahan," kata Amin.
Permasalahan yang dimaksud, ternyata bukan hanya air sungai menjadi keruh dan berlumpur namun setelah izin selesai, lahan bekas penambangan tidak dibenahi.
Bahkan cenderung dibiarkan. Hingga menimbulkan kerusakan berdiameter sekitar 15-20 meter.
"Sebetulnya kan dari perusahaan setelah izin selesai, harus melakukan pembenahan namun tidak dilakukan. Makanya Ngarso Dalem (Sri Sultan Hamengku Buwono X) duko (marah)," katanya.
Amin tidak menampik, memang ada warganya, sekitar 20 orang yang ikut menambang pasir di Kali Kuning, namun semua itu dilakukan manual.
Tidak memakai alat berat. Skalanya pun kecil dan hanya untuk bertahan hidup dalam di situasi sulit. Sebab selama pandemi corona, mereka tidak memiliki penghasilan. Apalagi wisata juga ditutup.