Pakar UGM: Pemerintah Tidak Perlu Menghapus Mural Bernuansa Kritik Sosial

Penghapusan itu menjadi bahan pembicaraan. Semangat pembuatan mural di Tangerang tersebut kemudian merembet ke beberapa daerah, termasuk DI Yogyakarta

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA/ Yuwantoro Winduajie
Petugas Satpol PP Kota Yogyakarta menghapus coretan vandalisme bernuansa kritik pemerintah di bawah Jembatan Kleringan Kewek, Senin (23/8/2021) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Beberapa hari belakangan, mural menjadi salah satu topik pembicaraan terhangat di kalangan warganet.

Satu mural yang diduga mirip dengan wajah Presiden Joko Widodo disertai tulisan ‘404: Not Found’ dihapus oleh aparat pemerintah.

Penghapusan itu menjadi bahan pembicaraan. Semangat pembuatan mural di Tangerang tersebut kemudian merembet ke beberapa daerah, termasuk DI Yogyakarta.

‘Bangkit Melawan atau Tunduk Ditindas’, begitu kata-kata yang ditulis seniman Bamsuck di Jembatan Kewek, Kota Yogyakarta beberapa hari lalu.

Tentu saja, mural itu sudah tiada alias dihapus oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Yogyakarta. Dinding yang awalnya ditulisi dengan piloks merah, menjadi putih kembali.

Baca juga: Pemotor di Sleman Meninggal Dunia Tertabrak Truk saat Hendak Memotong Jalan

 
Menanggapi hal tersebut, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Irham Nur Anshari SIP MA menyampaikan dalam menyikapi persoalan tersebut hendaknya perlu dipahami kembali apa sebenarnya yang menjadi permaslahan utamanya.

Sebab, pada kondisi itu seringkali dikaitkan dengan dua hal yakni pelecehan simbol negara dan perusakan fasilitas umum. 

“Kalau terkait problem perusakan fasilitas umum ini sedikit lucu karena pada kasus tersebut yang dihapus hanya mural yang dianggap sebagai gambar Presiden Jokowi sementara mural lain disampingnya tidak ikut dibersihkan. Ditambah lagi desainer kaos yang menggunakan imaji mural juga ikut didatangi aparat untuk minta maaf,” paparnya, Sabtu (27/8/2021).

Artinya, poin utama dari persoalan ini adalah adanya anggapan mural, gambar atau desain tersebut dianggap melecehkan simbol negara.

Namun begitu, apakah gambar tersebut adalah gambar Presiden Jokowi, hanya mirip atau  tafsir-tafsir yang berkembang yang justru perlu dipermasalahkan. 

“Tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap presiden karena itu bukan foto asli, tapi hanya gambar,” tutur pria yang juga menjadi pembina Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Rupa UGM ini. 

Irham mengatakan dalam kasus ini menunjukkan poin penting dari seni.

Bagaimana seniman dapat menyampaikan kritik secara kreatif dan tersampaikan tanpa bisa diadili secara mutlak.

Pasalnya, yang ada hanya berupa gambar bukan foto atau video bahkan tidak ada nama yang menyebut gambar tersebut adalah presiden.

Lebih lanjut, Irham mengatakan dari kasus ini dapat dilihat mural sebagai media menyampaikan aspirasi atau kritik menghadapai tantangan.

Di era demokrasi, justru patut dipertanyakan, mengapa masih ada pihak yang merasa gerah terhadap kritik sosial melalui mural.

“Sebab, tanpa ada konflik jangan-jangan ada sebuah kondisi mapan yang sebenarnya ada hierarki dominan disitu. Bentuk kritik atau aspirasi apapun hendaknya didengar dan dicari tahu,” terangnya.

Ia menjelaskan penggunaan mural sebagai media penyampaian aspirasi bisa dikarenakan tidak berjalannya sistem penyampai aspirasi formal di pemerintah dengan baik.

Sistem yang tidak lagi mampu menampung aspirasi masyarakat menjadikan sebagian masyarakat mencari media lain untuk menyuarakan pendapatnya.

Salah satu caranya adalah mengekspose ke publik baik lewat media online maupun offline termasuk mural. 

“Kalau via online tidak cukup maka offline juga dilakukan seperti dengan poster dan mural, ini bentuk demokrasi. Tantangan bagaiamana pemerintah bisa mendengar aspirasi dan kritik ini tanpa dengan mudah labelnya dengan oposisi dan sebagainya,” ucapnya.

Lalu apakah penggunaan mural untuk menyampaikan aspirasi bisa dianggap efektif?

Irham menyebutkan di era PPKM saat ini dimana masyarakat tidak banyak melakukan mobilitas, penggunaan mural dinilai tidak terlalu efektif untuk menyuarakan pendapat.

Terlebih, banyak mural yang digambar di titik-titik yang tidak terjangkau oleh publik seperti di gambar di bawah jembatan. 

Kendati begitu, Irham menyebutkan yang menjadi menarik di era internet saat ini mural difoto dan disebarluaskan melalui berbagai platform digital.

“Yang menarik, sebelum mural dihapus sudah ada beberapa orang yang mengambil fotonya dan justru foto asli ini sangat viral. Foto yang tersebar ini menarik minat banyak orang yang belum sempat melihat jadi melihat karena beritanya viral mural itu dihapus. Kritik pun menjadi berlipat ganda, mati 1 tumbuh 1.000,” tuturnya.

Senada, Kepala Bidang Riset dan Edukasi Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Ahmad Ilham Wibowo SH mengungkapkan, pembuatan mural dengan kritik itu adalah salah satu perwujudan kebebasan berpendapat.

Dengan begitu, apa yang dibuat para seniman di dinding-dinding kota, dijamin secara konstitusional oleh Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945.

“Tidak ada ketentuan UU yang melarang kritik terhadap pemerintah, presiden dan wakil presiden,” katanya kepada Tribun Jogja.

Dia mengatakan, pemerintah juga tidak bisa menggunakan delik pidana penghinaan terhadap pemerintah Indonesia sebagai diatur dalam Pasal 155 KUHP, karena telah dibatalkan oleh MK lewat Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007.

Baca juga: Detil Kontrak Cristiano Ronaldo dan Nominal Gajinya Setelah Resmi Kembali ke Manchester United

Ditambah, ada perbedaan jelas antara kritik dan penghinaan. Pemerintah juga tidak bisa menggunakan delik pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 137 KUHP karena telah dibatalkan MK lewat Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

“Selain itu, presiden dan wakil presiden juga bukan termasuk lambang negara sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara sehingga tidak bisa dipidana dengan dalih,” jelasnya.

Ahmad turut menjelaskan, tetap ada mural yang boleh dihapus dengan syarat penghapusan itu sudah diatur dalam undang-undang dan memenuhi alasan yang sah.

Alasan itu, kata dia, diantaranya ada yang memuat perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan rakyat Indonesia karena dapat dikatakan melanggar Pasal 157 KUHP.

“Mural yang bermuatan kritik tidak perlu dilakukan intervensi oleh pemerintah, baik lewat kepolisian, Satpol PP dan aparat negara lain. Kecuali, di dalamnya terdapat muatan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan rakyat Indonesia atau dilakukan di tempat-tempat yang tidak seharusnya, seperti tempat ibadah,” tandas Ahmad. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Tags
UGM
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved