Yogyakarta
Menjaga Denyut Seni di Masa Pandemi Lewat ARTJOG MMXXI
ARTJOG MMXXI: Arts in Common – Time (to) Wonder menampilkan karya-karya dari 41 seniman yang semuanya tinggal dan bekerja di Indonesia.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Seni adalah satu di antara bidang yang sama terpukulnya dengan industri-industri lain dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Beragam geliat modifikasi seni di masa pandemi pun gencar dilakukan.
Pertemuan tatap muka konvensional kini terkonversi ke dalam suatu ruang maya yang dilakukan oleh hampir semua orang termasuk seniman, pekerja seni, pegiat, dan penikmat seni dalam menjaga ekosistem seni agar terus tetap berjalan.
Satu di antaranya yakni festival tahunan seni rupa terbesar di Indonesia, ARTJOG MMXXI di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, yang dibuka secara daring melalui website www.artjog.id, kanal media sosial Instagram @artjog.id dan kanal YouTube Kill the TV, Kamis (8/7/2021), akan berlangsung hingga 31 Agustus 2021 mendatang.
Sekadar informasi, pembukaan ARTJOG dilakukan secara daring lantaran bertepatan dengan Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM darurat) oleh Pemerintah.
Baca juga: Tak Cuma Artjog, Ini Dia Tiga Wisata Seni Andalan Yogyakarta yang Perlu Kamu Tahu
Acara ini dipandu oleh Marzuki Mohammad dan kemudian diresmikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno.
Pembukaan ARTJOG MMXXI: Arts in Common – Time (to) Wonder turut dihadiri secara daring oleh jajaran pemerintahan pusat dan daerah, sektor swasta, seniman partisipan, dan pengelola festival, segenap pendukung dan pencinta seni.
Sandiaga Uno menyampaikan bahwa pemerintah siap turut memberi perhatian, motivasi dan dorongan kepada masyarakat pelaku ekonomi kreatif meskipun di saat pandemi seperti ini, dan memberi apresiasi kepada ARTJOG atas konsistensinya.
“Seni budaya telah berkembang menjadi produk ekonomi kreatif, menjadi satu industri tersendiri, membuka lapangan kerja, menjadi penopang perekonomian negara. Gagasan, ide dan kreatifitas teman-teman ARTJOG dan Mas Heri Pemad ternyata menjadi nilai tambah, menjadi satu lokomotif dari sisi ekonomi kreatif kita,” ujar Sandiaga.
"Pemerintah akan terus memberi perhatian dan memberi perlindungan untuk produk-produk yang meliputi kekayaan intelektual salah satunya seni rupa ini perlu kita lindungi," tambahnya.
Baca juga: Sarkastik Situasi Politik Indonesia Terpajang di Pameran Complex Terrors
ARTJOG MMXXI: Arts in Common – Time (to) Wonder menampilkan karya-karya dari 41 seniman (perorangan maupun kelompok), yang semuanya tinggal dan bekerja di Indonesia.
"ARTJOG ingin tetap konsisten memberikan kontribusi dengan menyediakan ruang presentasi untuk eksplorasi artistik para seniman kontemporer," kata Direktur ARTJOG, Heri Pemad.
Heri mengakui bahwa situasi hari-hari ini sangat tidak menguntungkan untuk perhelatan seperti ARTJOG.
Namun perubahan-perubahan kebijakan publik selama masa pandemi, justru menantangnya untuk merencanakan segala sesuatunya dengan lebih rinci.
"Kita berhadapan dengan periode yang tidak menentu, yang membuat kami harus semakin terbiasa dengan antisipasi dan improvisasi," katanya.
Adapun tema 'Time (to) Wonder' dipilih lantaran praktek seni rupa dapat mempersoalkan waktu dengan pengertian yang lebih luas dan tak terjangkau sains.
Para seniman akan menyumbangkan gagasan yang menarik soal waktu.
Baca juga: Pameran Tunggal Perupa Malaysia Nadiah Bamadhaj di Yogyakarta Angkat Posisi Perempuan
"Jadi sejak 2018 itu Art jog mengusung satu agenda ingin membuat pameran trilogi, seri pameran yang dirangkai dengan tema khusus. Pada 2019 kami berhasil menyelenggarakan edisi pertama dari trilogi Art in Common, mengangkat tema tentang ruang. Bicara tentang ruang dan lingkungan hidup, bagaimana seni memberikan inspirasi kepada kita untuk hidup dengan berbagai makhluk hidup di muka bumi," ujar salah seorang tim kurator pameran, Agung Hujatnikajennong.
"Nah tahun ini, Time (to) Wonder ingin mengangkat tentang waktu, itu lanjutan pertama ruang, waktu, dan berikutnya tentang kesadaran," lanjutnya.
Agung mengatakan, karya-karya yang hadir pada edisi kali ini memang membicarakan waktu dengan cukup menarik, karena konsepnya itu banyak yang beririsan.
Banyak yang bicara tentang sejarah, masa lalu, dikaitkan dengan ingatan personal, namun yang bicara soal sejarah memang cukup dominan.
"Misi kami sebenarnya bagaimana kemudian persoalan waktu dikaitkan dengan cara seniman untuk menggunakan masa lalu sebagai refleksi pada hari ini, juga untuk masa depan," jelasnya.
Baca juga: Tiga Seniman Muda Berkolaborasi di Pameran Seni Titik Temu
Dongo Dinongo Reactor
Sementara itu, satu di antara seniman terpilih yang merespon tema Time (to) Wonder ialah vokalis band FSTVLST sekaligus seorang perupa, Farid Stevy, melalui karya instalasi berjudul 'Dongo Dinongo Reactor'.
Dijelaskan Farid, Dongo Dinongo Reactor merupakan project keluarga, spesifiknya bersama sang bapak, Asto Puaso, yang jauh hari sebelumnya sudah dilakukan serta tidak dibayangkan sebelumnya akan menjadi sebuah presentasi seni.
"Time (to) Wonder dan relevansinya dengan project keluarga saya sebenarnya adalah saya dan bapak itu selama hampir 11 tahun mencari keberadaan kuburan eyang, bapaknya bapak saya. Tugas itu kemudian baru kami selesaikan pada 2020 di masa pandemi," ujar Farid.
"Nah proses itu yang kemudian kami presentasikan di Artjog tahun ini dengan judul Dongo Dinongo Reactor," lanjutnya.
Dongo Dinongo Reactor merupakan karya instalasi mix media partisipatoris.
Farid dan sang bapak menghimpun sejumlah 65 tangga bambu, yang kemudian disusun menjadi lingkaran serta di tengahnya ada sejumlah artefak keluarga di antaranya televisi lawas, bendera merah-putih, ceret serta gelas, serta beberapa hal tentang lagu kejawen turut disematkan.
Baca juga: Imajinasi Visual Dunia Anak-anak Terlihat di Pameran Taman Bermain
"Bambu yang kami dapat merupakan hibah dari kerabat, keluarga, serta kawan-kawan yang concern dengan isu 65' dan HAM di Indonesia. Kemudian mereka juga menyumbangkan testimoni pada konteks karya yang saya bawakan ini," ujar Farid.
Bagi keluarga Farid, tangga atau dalam bahasa Jawa yakni andha merupakan simbol dari usaha mereka untuk membicarakan ulang, diskusi, dan membuka dialog dengan anggota keluarga serta penduduk desa, tentang kekeliruan penulisan sejarah yang dialami sang kakek dan juga banyak teman-teman kakeknya yang juga terefek dengan situasi tahun itu.
Lebih lanjut Farid menjelaskan, karya seni ini juga bisa menjadi sumber energi saling mendoakan untuk tiga poin.
"Pertama mendoakan eyang saya untuk kasuwarganing jati, untuk mensurgakan eyang yang kebetulan terdampak dengan kisruh politik tahun 65'. Kemudian untuk hari ini saya harap reaktor ini berfungsi untuk bisa memantik kesadaran kita bersama untuk saling mendoakan, untuk sehat bersama, untuk tuntasnya kita melewati situasi pandemi," ujar Farid.
"Lalu untuk masa depan, ini reaktor doa untuk kelancaran usaha-usaha rekonsiliasi 65 dan usaha perjuangan teman teman yang memperjuangkan HAM di Indonesia. Harapannya dengan ini dapat membawa kebaikan serta doa kepada tiga hal di atas," harapnya. ( Tribunjogja.com )