Inilah Meriam Raksasa Kyai Poncowuro atau Kyai Guntur Geni, Buatan Sultan Agung Raja Mataram
Meriam atau kanon raksasa itu kini berada di halaman Pagelaran Keraton Surakarta, Jawa Tengah
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
Boyong dari Kerta, Pleret, Kartasura, dan Surakarta
Tentang riwayat sejarah Kyai Guntur Geni atau Kyai Poncowuro, Joko Leak menceritakan, meriam itu pada akhirnya tiba di Keraton Surakarta lewat proses panjang.
Dari kisah turun temurun yang didengarnya, meriam raksasa yang dikeramatkan itu dipindahkan dari Keraton Pleret sesudah ibukota Mataram itu hancur oleh serangan Trunojoyo.
Keraton Pleret merupakan kelanjutan langsung Sultan Agung sesudah raja wafat di Keraton Kerta.
Penerusnya Susuhunan Amangkurat I.
Raja tua yang dikenal bengis ini melarikan diri, meninggal di perjalanan, lalu dimakamkan di Tegal. Tahta kerajaan dilanjutkan putra mahkota.
Adipati Anom mendirikan Keraton Kartasura. Saat itulah semua harta dan pusaka yang tersisa di Keraton Pleret dipindahkan ke Kartasura.
Bertahun kemudian ketika muncul kecamuk konflik. Saat itu yang berkuasa Susuhunan Paku Buwono II. Sunan Kuning alias Raden Mas Garendi menyerbu Keraton Kartasura.
Babak perang Mataram ini terjadi pada 30 Juni 1742. Pusat kerajaan rusak berat. Susuhunan Pakubuwono II yang terusir akhirnya ditahtakan kembali di Kartasura akhir tahun itu.

Tiga tahun kemudian Pakubuwono II memindahkan keratonnya ke Dusun Sala, yang sampai saat ini tegak berdiri komplek Keraton Surakarta.
Segala harta kerajaan dan pusaka yang tersisa, dipindahkan. Bedol desa. Termasuk meriam Kyai Poncowuro atau Kyai Guntur Geni atau Kyai Sapujagat peninggalan Sultan Agung.
Joko Leak mengaku tidak tahu persis di mana dulu lokasi penempatan meriam Guntur Geni yang kini dirawatnya. Terutama di era-era sebelum masa ayahnya yang juga abdi dalem keraton.
“Dulu, semasa saja kecil hingga sekira 1970, lokasinya ada di sebelah timur Pagelaran Keraton. Di selatan balai pekapalan, hadapnya ke timur,” kata Joko Leak.
Ia mengajak Tribunjogja.com ke lokasi dimaksud di belakang balai pekapalan, sisi timur keraton, yang kini ruang terbuka yang permukaannya dibeton
Posisi Meriam Pernah Hadap Timur dari Keraton
“Dulu sewaktu pagelaran ini dipakai Universitas Gabungan Surakarta (UGS), cikal bakalnya UNS, meriam ada di lokasi ini menghadap ke timur,” katanya.
Namun sesudah UNS membangun kampus megah dan luas di daerah Kentingan, Jebres, pagelaran dikembalikan ke keraton.
“Lalu, meriam ini dipindahkan ke depan, menghadap ke utara ke arah alun-alun. Itu sesudah tahun 70an, saya tidak ingat persisnya,” lanjut Joko Siswanto alias Pak Leak, panggilan akrabnya.
Mengenai sejarah pembuatan meriam Guntur Geni, Pak Leak mengaku tidak memahaminya. Tidak ada cerita tertulis atau data sejarah yang pasti tentang proses pembuatannya.
Baca juga: Kisah Abdi Dalem Perempuan Milenial Mencari Berkah di Keraton Yogyakarta
Baca juga: Tradisi Ruwahan di Makam Raja Mataram Sepi Peziarah Akibat Pandemi
Ia hanya mendengar konon meriam itu dibuat oleh Belanda. HJ De Graaf dalam bukunya yang memasukkan kisah Kyai Poncowuro di halaman 158-159, menyebut meriam dibuat bukan oleh ahli cor meriam.
Secara kualitas disebut bukan produk kanon yang sempurna. Secara fisik dari pengamatan langsung di lapangan, meski utuh dan mengesankan, di tubuh meriam ini terdapat banyak lubang kecil atau pori-pori.
Beberapa literatur dan analisis menyebutkan, teknologi pengecoran lokal pada masa itu belum mampu melebur logam dalam jumlah besar sekaligus.

Pengecoran tidak bisa dilakukan sekali jadi yang bisa menghasilkan hasil cor logam sempurna, seperti meriam-meriam produksi Portugis atau Belanda.
Meski begitu, untuk ukuran-ukuran jauh lebih kecil, sejak masa Majapahit akhir, awal Demak sudah banyak digunakan kanon atau meriam kaliber kecil yang disebut lela.
Bahannya kebanyakan perunggu. Pramoedya Ananta Toer dalam novel sejarah Arus Balik, menyebut penggunaan cetbang, semacam kanon kecil yang menakutkan masa itu.
Ketika Demak-Jepara menyerbu Portugis di Selat Malaka pada 1512/1513, 1550, dan 1573, kapal-kapal mereka sudah dilengkapi meriam ringan maupun berat.
Sementara Kyai Poncowuro yang super jumbo, tentu memerlukan bahan logam (perunggu, timah putih, chrome) dalam jumlah sangat banyak.
Mengingat belum ada bukti tambang logam lokal di Jawa masa itu, diyakini semua bahan diperoleh dari asing. Bisa impor, atau yang lokal hasil rampasan atau pengumpulan dari rakyat.
Diduga juga bahan diperoleh hasil melebur meriam lama yang rusak hasil rampasan dari taklukan Mataram Sultan Agung.
Untuk proses pembuatan, dilihat dari galur-galur atau garis cetakan yang tampak pada meriam, diperkirakan molding (cetakan) meriam diletakkan miring.
Bukan cetakan vertikal yang pengisian atau cornya dilakukan dari atas.
Posisi molding miring itu membuat lapisan-lapisan pengecoran juga miring, menunjukkan pengecoran dilakukan berkali-kali.
Pengecoran miring ini secara teknis memungkinkan meriam lebih kuat konstruksinya dibanding cetakan tegak. Molding diperkirakan berbahan tanah liat, dan cetakan dibuat utuh.
Pengecoran Logam Belum Sempurna
Setelah pengecoran selesai, molding tanah liat dipecahkan. Hasilnya, pengecoran berlapis itu tidak sempurna, dilihat dari banyaknya pori-pori logam.
Lubang-lubang itu terbentuk karena gelembung udara terperangkap, dan skaligus menunjukkan cairan logam tidak sempurna karena pemanasan kurang.
Setelah dikeluarkan dari molding, lubang-lubang itu ditambal lewat cara penuangan logam perunggu yang telah dilebur.
Jejak penambalan bisa dilihat secara telanjang pada permukaan badan meriam Poncowuro ini. Tebal dan tampak tidak bisa menyatu ke tubuh meriam.
Seperti disebut Couper, Crucq dan De Graaf, meriam ini tidak sempurna dan sejak awal difungsikan sebagai simbol kekuatan Mataram belaka dari gelegar suaranya.
Jika ditembakkan menggunakan proyektil sungguhan yang berdiameter 33,5 centimeter, meriam ini berpotensi meledak hancur berkeping-keping karena tak mampu menahan kompresi mesiu.
Sebagai meriam keramat peninggalan Sultan Agung, Kyai Guntur Geni tidak sendirian secara ukuran fisik.

Ada dua meriam kembar super jumbo yang kini diletakkan di halaman Sitihinggil Keraton Surakarta.
Kedua meriam itu diletakkan persis di kiri kanan tangga dari pagelaran menuju tempat Susuhunan Pakubuwono biasa ditahtakan.
Namanya Kyai Kumborowo dan Kyai Kumborawi. Meski secara fisik ukurannya super jumbo, namun diameter laras atau kalibernya jauh di bawah Kyai Poncowuro.
Kedua meriam ini secara produk terlihat dihasilkan lewat pengecoran berlapis dalam kondisi cetakan vertikal.
“Meriam ini kabarnya hadiah dari raja Siam,” kata Joko Leak.
Di kiri kanan kedua meriam kembar ini terdapat tiga meriam lain yang ukurannya lebih kecil.
Ada Kyai Girngsing, Kyai Bagus, Kyai Nakulo di sisi kanan.
Di sebelah kiri ada Kyai Alus, Kyai Sadewo, dan Kyai Kadalbuntung.
Meriam terakhir ini buntung di bagian ekor atau pantatnya ketika pecah Geger Pecinan di Keraton Kartasura.
Semua meriam peninggalan era Mataram sejak masa Sultan Agung ini bisa disaksikan dan dipelajari pengunjung Keraton Surakarta.
Namun demikian, ada keterbatasan-keterbatasan secara fisik di lokasinya, mengingat ‘ontran-ontran’ Keraton Surakarta membuat bekas komplek kerajaan besar itu seperti tak terawat.
(Tribunjogja.com/xna)