Cerita Anak-anak Adopsi Mencari Orang Tua di Yogya, Dari Belanda dan Inggris
Robbert Geertzema masih berusia 6 bulan di tahun 1978 ketika ia pertama kali diadopsi orang Belanda. Ia lahir di Rumah Sakit (RS) Bethesda Yogyakart
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
Yustine selalu memahami bahwa dirinya anak adopsi. Warna kulit dan bentuk badannya cukup berbeda dengan orang Belanda pada umumnya. Ia tidak berambut pirang. Rambutnya hitam pekat seperti orang Indonesia.
Bola matanya juga berwarna gelap dengan kulit sawo matang. Namun, itu tidak menjadi hambatan baginya untuk hidup lebih baik di negara itu.
Ia telah menyelesaikan studinya tentang komunikasi kreatif.
Yustine yang dibesarkan di Rotterdam, Belanda, kini menjadi entrepreneur. Ia mengelola beberapa bisnis di sana.
Beruntung, orang tuanya juga cukup suportif dan mendukung jika Yustine ingin mencari asal-usul keluarga di Yogyakarta. Keluarga Yustine di Belanda begitu terbuka dengan identitasnya yang asli.
Mereka tidak menutupi darimana Yustine berasal dan dilahirkan. “Jika saya ketemu ibu, saya ingin mendekapnya erat dan mungkin akan menangis,” buka Yustine ketika berbincang dengan Tribun Jogja, tempo hari.
Namun, ia tidak akan mengonfrontasi mengapa sang ibu memperbolehkan orang lain mengadopsi dirinya. Dia bakal memilih menikmati banyak waktu setelah 40 tahun terpisah dari orang tua kandung.
“Sekarang, saya tidak muluk-muluk karena orang tua saya mungkin sudah tua dan kesempatan untuk bertemu juga cukup sulit. Namun, saya tetap berusaha untuk menemukan mereka,” tuturnya lagi.
Beberapa hal lain yang ingin diketahui adalah tentang kemiripan dengan sang ibu atau ayah. Juga, seberapa banyak ia memiliki saudara kandung.
“Saya mau meningkatkan pelafalan bahasa Indonesia lagi. Saya tahu beberapa kata tapi tidak fasih dan tentu saya mau tanya apa saja kepadanya,” tuturnya dengan bahagia.
Ia lahir di Klinik Bersalin Zuster Prins Lempuyangan, Jalan Hayam Wuruk No 6, Bausasran, Danurejan, Kota Yogyakarta pada 22 Juni 1980. Kini, klinik tersebut menjadi Rumah Sakit Umum Bethesda Lempuyangwangi dan masih berada di tempat yang sama.
“Menurut data yang ada, ayah saya bernama Hadi Mulyono dan ibu Yumiati. Tidak banyak yang saya ketahui lagi,” papar Yustine.
Data lain yang Yustine dapatkan adalah si ibu Yumiati sering menggunakan pakaian rapi dan tinggal di samping sungai yang tidak diketahui sungai apa. Pekerjaannya di bidang komunikasi kreatif menghantarkan Yustine untuk berkelana di Asia.
Di tahun 2006, Yustine sempat ke Indonesia dan mengunjungi Yogyakarta. Itu pertama kali dirinya menjejakkan kaki di tanah air. Perasaannya campur aduk. Ia selalu menganggap Yogyakarta adalah tempat kelahirannya.
“Itu adalah pengalaman yang tak terlupakan. Yogyakarta sangat menyenangkan,” ucap Yustine dengan nada riang.
Dia mendeskripsikan makna menyenangkan bagi dirinya. Di mata Yustine, orang Indonesia sangat hangat dan mudah bersahabat. Senyum dan keceriaan selalu terpampang di wajah orang Indonesia, meski mereka tidak kenal dekat.
“Saat ini saja, ketika saya menceritakan tentang diri saya di internet, banyak sekali orang Indonesia yang meninggalkan komentar dan mendoakan. Saya merasa tersanjung dengan semua perhatian yang ada,” tandasnya.
Tes DNA
Jika Robbert dan Yustine diadopsi langsung ke Belanda, berbeda dengan Emmanuella Tanzil. Ia diadopsi oleh orang Indonesia yang tinggal di Jakarta. Sejak tahun 2020, perempuan kelahiran 9 September 1985 itu masih berkutat dengan pencarian orang tua kandungnya yang diduga tinggal di Sleman.
Emmanuella, yang juga memiliki nama lahir Theresia atau Teresa lahir di RS Pura Ibunda yang dimiliki oleh dr Lukas Budi Gunawan. Letak RS itu ada di Jalan Colombo No.14-16, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Saat ini, RS itu menjadi RS Khusus Bedah An Nur di lokasi yang sama.
Pencariannya cukup lama dan berliku lantaran ia tidak memiliki surat adopsi. Akta kelahiran yang ia miliki juga merupakan akta di saat dirinya sudah diadopsi. Dengan kata lain, tidak ada petunjuk ia lahir dari rahim siapa.
“Sebenarnya, saya tahu kalau saya diadopsi itu sejak saya duduk di bangku SMP,” kata Emmanuella kepada Tribun Jogja.
Saat itu, dia menemukan foto ibunya dari bulan Juni/Juli 1985 yang cukup janggal. Ibunya tidak terlihat sedang hamil. Padahal, Emmanuella lahir di bulan September 1985 dan membuatnya berpikir, apakah dirinya adalah anak adopsi atau bagaimana.
Ditambah, sejak SD, ia juga sering dikatakan tidak mirip dengan kedua orang tua. Keyakinan itu menguat tatkala ia mempelajari tentang golongan darah saat duduk di bangku SMA. Emmanuella memiliki golongan darah yang berbeda dengan orang tuanya.
Saat itu, dia belum memiliki keinginan untuk mencari siapa sosok kedua orang tua kandung.
Waktu terus bergulir, Emmanuella gigih mencari siapa perempuan yang telah melahirkannya.
Segala hal ia upayakan, termasuk menyebar datanya di internet dan mengikuti tes DNA.
“Jadi, dari bulan Oktober 2020 ini ada seorang bapak yang hubungi saya. Beliau bilang dulu teman baiknya, seorang laki-laki menyerahkan bayi ke RS Pura Ibunda. Nah, permintaan terakhir ke temannya sebelum dia meninggal adalah agar temannya tetap mencari bayi pertamanya ini,” tutur Emmanuella.
Akan tetapi, saat itu dirinya tidak yakin karena perempuan yang melahirkan merupakan perempuan keturunan Tionghoa dan laki-laki merupakan orang Jawa asli.
Maka, karena penasaran, Emmanuella itu pun mengikuti tes DNA untuk melihat prediksi keluarga.
Hasil yang didapatkan cukup mengagetkan. DNA yang ada di dirinya menunjukkan prediksi keluarga yang berdarah Tionghoa.
“Lalu, bapak ini carikan kontak saudara dari perempuan dan saya bertukar pesan dengan adik ipar dari perempuan ini. Beliau menceritakan latar belakang bayi diserahkan ke RS, pada tahun yang sama tapi lupa bulannya,” ungkapnya lagi.
Semakin ke sini, Emmanuella yakin bahwa itu adalah bagian dari keluarganya. Bahkan, keyakinannya mencapai 50 persen. Beberapa cara lain yang dilakukannya untuk membuktikan prediksi keluarga adalah dengan mencocokkan golongan darah, penyakit bawaan, hingga postur tubuh.
“Semua cukup cocok, sih. Maka, saya sudah pesan DNA test kit untuk keluarga itu. Sayangnya, perempuan yang diperkirakan ibu kandung itu sudah meninggal. Maka, yang akan dites adalah adik dari perempuan ini,” tukasnya. ( Tribunjogja.com | Ardike Indah )
fa