Cerita Anak-anak Adopsi Mencari Orang Tua di Yogya, Dari Belanda dan Inggris

Robbert Geertzema masih berusia 6 bulan di tahun 1978 ketika ia pertama kali diadopsi orang Belanda. Ia lahir di Rumah Sakit (RS) Bethesda Yogyakart

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
Tribunjogja.com
Sampul Koran Harian Tribun Jogja Edisi Khusus 

Robbert Geertzema masih berusia 6 bulan di tahun 1978 ketika ia pertama kali diadopsi orang Belanda. Ia lahir di Rumah Sakit (RS) Bethesda Yogyakarta, 1 Juni 1978 dengan nama Yunanto atau Junanta. Dua tahun setelah Robbert diadopsi, Yustine Alvares (nee White) juga masih berusia 6 bulan, ketika orang tua angkatnya membawa dia ke negeri kincir angin dari Yogyakarta.

Sampul koran Tribunjogja.com edisi liputan khusus pencarian anak adopsi
Sampul koran Tribunjogja.com edisi liputan khusus pencarian anak adopsi (Tribunjogja.com |)

Bayi Yustine kala itu sudah diberi nama Yustina dan sempat tinggal di Yayasan Kasih Sayang Anak di Jalan Samirono No 16, Depok, Sleman.

Berbeda dengan lainnya, Emmanuella Tanzil diadopsi oleh WN Indonesia berdomisili di Jakarta. Usia Emmanuella masih 7-8 bulan di tahun 1985 ketika ia menginjakkan kaki di ibu kota.

Sebelum bernama Emmanuella, ia sempat memiliki nama Theresia atau Teresa. Sang ibu angkat itu kemudian menikah dengan warga negara asing. Sekarang dia hidup di Inggris.

Ketiga orang tersebut disatukan oleh agenda yang sama. Mereka mencari orang tua kandung di DI Yogyakarta setelah lebih kurang 35-40 tahun terpisah jarak.

Beberapa waktu ini, Robbert, Yustine, dan Emmanuella meluangkan waktu untuk melakukan riset dan menyebarkan informasi di internet tentang pencarian orang tua kandungnya.

Mereka berharap bisa menemukan kerabat untuk mengetahui akar kehidupan dan menggenapi rasa penasaran.

Sebagian besar anak Yogyakarta yang diadopsi di Belanda dan daerah lain kini sudah mencapai usia 35-42 tahun.

Mereka ingin tahu dari mana asal dan bagaimana proses adopsi ini bisa terjadi.

Namun, beragam kendala bagi mereka yang ingin mencari orang tua kandungnya di Indonesia, tidak terkecuali di DI Yogyakarta.

Salah satu persoalan yang membuat kesulitan adalah adanya perubahan manajemen di rumah sakit (RS) tempat mereka dilahirkan.

Setidaknya ada 3 tempat kelahiran anak-anak adopsi di Yogyakarta, di antaranya ada RS Puri Ibunda, RS Bethesda Yogyakarta, dan RS Bethesda Lempuyangwangi.

Penelusuran Tribun Jogja, RS Puri Ibunda sudah berganti kepemilikan sekaligus manajemen sejak tahun 2008. Kini, RS tersebut berganti menjadi RS Khusus Bedah An Nur.

Alamatnya masih sama, berada di Jalan Colombo No 14-16, Samirono, Caturtunggal, Depok, Sleman. RSKB An Nur merupakan rumah sakit khusus urologi.

Meski begitu, RS Bethesda dan RS Bethesda Lempuyangwangi tidak berubah secara manajemen dan masih berada di bawah Badan Hukum Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (YAKKUM).

Sejak tahun 1926, RS Bethesda Lempuyangwangi dikenal masyarakat sebagai Klinik Bersalin Zuster Prins. Klinik itu mempunyai fungsi sebagai cabang RS Bethesda Yogyakarta.

Namun, pada tahun 1998, fungsi klinik berubah menjadi Bidang Pelayanan Kesehatan (Bidyankes) Lempuyangwangi.

Namun, karena regulasi pemerintah, bidyankes ini kemudian dibentuk sebagai RS mandiri dan menjadi RS Khusus Ibu dan Anak (RSKIA) Bethesda Lempuyangwangi.

Pada tahun 2003, RSKIA ini berubah status menjadi RS Umum (RSU) Bethesda Lempuyangwangi dan tahun 2018 RSU berubah lagi menjadi RS Bethesda Lempuyangwangi.

Kepala Bagian Humas RS Bethesda Yogyakarta, Adhiyatno Priambodo mengatakan, memang cukup sulit untuk mencari data rekam medik untuk anak-anak adopsi lahir di RS Bethesda Yogyakarta dan Lempuyangwangi yang ingin mencari orang tua di DI Yogyakarta.

Apalagi, jika mereka merupakan kelahiran sebelum tahun 1990.
“RS Bethesda baru menggunakan sistem IT (teknologi informasi) di tahun 1990-an.

Secara bertahap, data-data mulai diproses menggunakan komputer dan terus berkembang sampai saat ini,” ujarnya kepada Tribun Jogja, Kamis (25/2/2021).

Meski begitu, RS Bethesda Yogyakarta dan RS Bethesda Lempuyangwangi akan membantu jika ada anak adopsi lahir di salah satu RS itu ingin mencari keluarganya.

Tribun Jogja berhasil menghubungi Sri Praptiwinarni.

Ia merupakan mantan Sekretaris Direksi RS Bethesda Yogyakarta yang sering membantu proses adopsi anak-anak yang lahir di dua RS tersebut.

“Saya bisa membantu jika memang ada anak-anak yang ingin mencari orang tua di sini karena saya mencatat betul data mereka sebelum diadopsi,” tutur perempuan yang akrab disapa Prapti itu.

Ia telah bekerja di RS Bethesda Yogyakarta selama 36 tahun hingga 2014 lalu.

“Yang penting, anaknya sendiri yang minta langsung. Nanti pasti bisa dicarikan atau dibantu tentang keluarganya di sini,” tukas Prapti.

Awal Mula Adopsi

Sampul koran Tribunjogja.com edisi liputan khusus pencarian anak adopsi
Sampul koran Tribunjogja.com edisi liputan khusus pencarian anak adopsi (Tribunjogja.com |)

Tahun 1978-1983 menjadi periode di mana sebagian anak di Indonesia diadopsi oleh Warga Negara (WN) Belanda dan Eropa pada umumnya.

Yayasan Mijn Roots, organisasi non-profit yang membantu anak adopsi asal Belanda mencari orang tua kandung di Indonesia, mengira setidaknya ada 3.000 anak diadopsi di periode tersebut.

Robbert Geertzema begitu antusias tatkala menceritakan proses pengadopsian dirinya. Ia berharap, kisah yang dibagikan bisa membantu dirinya menemukan orang tua di Yogya.

Ia tentu saja tidak ingat bagaimana prosesnya, tapi orang tua dan keluarga Geertzema tetap berterus terang tentang adopsi tersebut.

“Saya sampai di Belanda pada bulan Januari 1979, itu cukup sulit untuk saya,” ungkap Robbert kepada Tribun Jogja.

Kesulitan Robbert bukan tanpa sebab. Ia merasa tidak seperti orang Belanda pada umumnya. Kulit Robbert sama seperti orang Indonesia, berwarna sawo matang dan berambut hitam. Warna matanya juga hitam dengan batang hidung cukup tinggi.

Robbert juga merasa tidak cukup dekat dengan dua orang tua angkat. Ia selalu merasa mereka tidak bisa memahami dirinya.

“Orang tua saya tidak pernah memahami tentang diri saya. Jadi, sebenarnya ini cukup sulit. Mereka bilang kalau saya dibesarkan di Belanda maka saya adalah orang Belanda,” ujarnya.

Hingga kini, Robbert masih merasa hampa. Kepingan puzzle dalam dirinya belum juga komplet jika ia belum menemukan siapa orang tua kandungnya. Pada tahun 2016, Robbert sempat mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya.

Ia langsung menuju Yogyakarta.
Kegembiraannya tidak bisa ia bendung. Robbert merasa menemukan separuh jiwanya yang hilang.

“Kedatangan saya ke Yogyakarta itu melengkapi diri saya. Saya benar-benar merasa terkoneksi dengan orang-orang di sana,” kata Robbert melanjutkan.

Selain penasaran, alasan Robbert untuk mencari orang tua kandung juga karena ia ingin mengenalkan Indonesia dan Yogyakarta kepada kedua anaknya.
Dari data yang disimpan, Robbert lahir dari pasangan Saniti dan Rajiyo di RS Bethesda Yogyakarta.

Hanya itu data yang ia miliki. Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang orang tua maupun saudara-saudaranya. “Saya benar-benar tidak tahu, tidak pernah ada yang memberitahu,” kata Robbert yang juga meragukan apakah surat adopsinya legal.

Pencarian ini mungkin saja tidak berujung, sehingga dirinya tidak mau berharap banyak tentang penemuan kedua orang tuanya. Namun, Robbert tetap bermimpi, jika suatu saat ia berhasil menemukan orang tua biologis, maka dirinya ingin bertanya mengapa mereka membiarkan proses adopsi itu.

“Yang paling penting, saya ingin tahu siapa mereka dan bagaimana mereka tinggal. Apakah mereka hidup sehat atau sakit? Kita pasti ingin potongan terakhir dalam hidup kita komplet, kan?” terangnya.

Ingin peluk ibu

Yustine selalu memahami bahwa dirinya anak adopsi. Warna kulit dan bentuk badannya cukup berbeda dengan orang Belanda pada umumnya. Ia tidak berambut pirang. Rambutnya hitam pekat seperti orang Indonesia.

Bola matanya juga berwarna gelap dengan kulit sawo matang. Namun, itu tidak menjadi hambatan baginya untuk hidup lebih baik di negara itu.
Ia telah menyelesaikan studinya tentang komunikasi kreatif.

Yustine yang dibesarkan di Rotterdam, Belanda, kini menjadi entrepreneur. Ia mengelola beberapa bisnis di sana.

Beruntung, orang tuanya juga cukup suportif dan mendukung jika Yustine ingin mencari asal-usul keluarga di Yogyakarta. Keluarga Yustine di Belanda begitu terbuka dengan identitasnya yang asli.

Mereka tidak menutupi darimana Yustine berasal dan dilahirkan. “Jika saya ketemu ibu, saya ingin mendekapnya erat dan mungkin akan menangis,” buka Yustine ketika berbincang dengan Tribun Jogja, tempo hari.

Namun, ia tidak akan mengonfrontasi mengapa sang ibu memperbolehkan orang lain mengadopsi dirinya. Dia bakal memilih menikmati banyak waktu setelah 40 tahun terpisah dari orang tua kandung.

“Sekarang, saya tidak muluk-muluk karena orang tua saya mungkin sudah tua dan kesempatan untuk bertemu juga cukup sulit. Namun, saya tetap berusaha untuk menemukan mereka,” tuturnya lagi.

Beberapa hal lain yang ingin diketahui adalah tentang kemiripan dengan sang ibu atau ayah. Juga, seberapa banyak ia memiliki saudara kandung.

“Saya mau meningkatkan pelafalan bahasa Indonesia lagi. Saya tahu beberapa kata tapi tidak fasih dan tentu saya mau tanya apa saja kepadanya,” tuturnya dengan bahagia.

Ia lahir di Klinik Bersalin Zuster Prins Lempuyangan, Jalan Hayam Wuruk No 6, Bausasran, Danurejan, Kota Yogyakarta pada 22 Juni 1980. Kini, klinik tersebut menjadi Rumah Sakit Umum Bethesda Lempuyangwangi dan masih berada di tempat yang sama.

“Menurut data yang ada, ayah saya bernama Hadi Mulyono dan ibu Yumiati. Tidak banyak yang saya ketahui lagi,” papar Yustine.

Data lain yang Yustine dapatkan adalah si ibu Yumiati sering menggunakan pakaian rapi dan tinggal di samping sungai yang tidak diketahui sungai apa. Pekerjaannya di bidang komunikasi kreatif menghantarkan Yustine untuk berkelana di Asia.

Di tahun 2006, Yustine sempat ke Indonesia dan mengunjungi Yogyakarta. Itu pertama kali dirinya menjejakkan kaki di tanah air. Perasaannya campur aduk. Ia selalu menganggap Yogyakarta adalah tempat kelahirannya.

“Itu adalah pengalaman yang tak terlupakan. Yogyakarta sangat menyenangkan,” ucap Yustine dengan nada riang.

Dia mendeskripsikan makna menyenangkan bagi dirinya. Di mata Yustine, orang Indonesia sangat hangat dan mudah bersahabat. Senyum dan keceriaan selalu terpampang di wajah orang Indonesia, meski mereka tidak kenal dekat.

“Saat ini saja, ketika saya menceritakan tentang diri saya di internet, banyak sekali orang Indonesia yang meninggalkan komentar dan mendoakan. Saya merasa tersanjung dengan semua perhatian yang ada,” tandasnya.

Tes DNA

Jika Robbert dan Yustine diadopsi langsung ke Belanda, berbeda dengan Emmanuella Tanzil. Ia diadopsi oleh orang Indonesia yang tinggal di Jakarta. Sejak tahun 2020, perempuan kelahiran 9 September 1985 itu masih berkutat dengan pencarian orang tua kandungnya yang diduga tinggal di Sleman.

Emmanuella, yang juga memiliki nama lahir Theresia atau Teresa lahir di RS Pura Ibunda yang dimiliki oleh dr Lukas Budi Gunawan. Letak RS itu ada di Jalan Colombo No.14-16, Caturtunggal, Depok, Sleman.

Saat ini, RS itu menjadi RS Khusus Bedah An Nur di lokasi yang sama.

Pencariannya cukup lama dan berliku lantaran ia tidak memiliki surat adopsi. Akta kelahiran yang ia miliki juga merupakan akta di saat dirinya sudah diadopsi. Dengan kata lain, tidak ada petunjuk ia lahir dari rahim siapa.

“Sebenarnya, saya tahu kalau saya diadopsi itu sejak saya duduk di bangku SMP,” kata Emmanuella kepada Tribun Jogja.

Saat itu, dia menemukan foto ibunya dari bulan Juni/Juli 1985 yang cukup janggal. Ibunya tidak terlihat sedang hamil. Padahal, Emmanuella lahir di bulan September 1985 dan membuatnya berpikir, apakah dirinya adalah anak adopsi atau bagaimana.

Ditambah, sejak SD, ia juga sering dikatakan tidak mirip dengan kedua orang tua. Keyakinan itu menguat tatkala ia mempelajari tentang golongan darah saat duduk di bangku SMA. Emmanuella memiliki golongan darah yang berbeda dengan orang tuanya.

Saat itu, dia belum memiliki keinginan untuk mencari siapa sosok kedua orang tua kandung.
Waktu terus bergulir, Emmanuella gigih mencari siapa perempuan yang telah melahirkannya.

Segala hal ia upayakan, termasuk menyebar datanya di internet dan mengikuti tes DNA.

“Jadi, dari bulan Oktober 2020 ini ada seorang bapak yang hubungi saya. Beliau bilang dulu teman baiknya, seorang laki-laki menyerahkan bayi ke RS Pura Ibunda. Nah, permintaan terakhir ke temannya sebelum dia meninggal adalah agar temannya tetap mencari bayi pertamanya ini,” tutur Emmanuella.

Akan tetapi, saat itu dirinya tidak yakin karena perempuan yang melahirkan merupakan perempuan keturunan Tionghoa dan laki-laki merupakan orang Jawa asli.

Maka, karena penasaran, Emmanuella itu pun mengikuti tes DNA untuk melihat prediksi keluarga.
Hasil yang didapatkan cukup mengagetkan. DNA yang ada di dirinya menunjukkan prediksi keluarga yang berdarah Tionghoa.

“Lalu, bapak ini carikan kontak saudara dari perempuan dan saya bertukar pesan dengan adik ipar dari perempuan ini. Beliau menceritakan latar belakang bayi diserahkan ke RS, pada tahun yang sama tapi lupa bulannya,” ungkapnya lagi.

Semakin ke sini, Emmanuella yakin bahwa itu adalah bagian dari keluarganya. Bahkan, keyakinannya mencapai 50 persen. Beberapa cara lain yang dilakukannya untuk membuktikan prediksi keluarga adalah dengan mencocokkan golongan darah, penyakit bawaan, hingga postur tubuh.

“Semua cukup cocok, sih. Maka, saya sudah pesan DNA test kit untuk keluarga itu. Sayangnya, perempuan yang diperkirakan ibu kandung itu sudah meninggal. Maka, yang akan dites adalah adik dari perempuan ini,” tukasnya. ( Tribunjogja.com | Ardike Indah )
fa

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved