Nasional

Mengandung Multitafsir, PHSK UII Dukung Pemerintah Revisi UU ITE Secara Komprehensif

Revisi tersebut perlu dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Pixabay.com / succo
Ilustrasi hukum 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PHSK FH UII) mendukung pemerintah untuk merevisi Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Revisi tersebut perlu dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi.

“Pemuatan norma ke dalam suatu peraturan perundang-undangan harus dipastikan memenuhi beberapa asas, yakni asas dapat dilaksanakan dan kejelasan rumusan,” ungkap Direktur PSHK FH UII, Allan FG Wardhana SH MH, Jumat (19/2/2021).

Artinya, asas yang dapat dilaksanakan diartikan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis.

Baca juga: LBH Yogyakarta Sambut Baik Wacana Revisi UU ITE

Ia menjelaskan, setiap produk hukum harus mematuhi asas kejelasan rumusan.

“Setiap peraturan perundang-undangan harus menggunakan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya,” bebernya lagi.

Allan mengatakan, ada penggunaan frasa yang bersifat multitafsir di UU ITE itu.

Maka, ambiguitas tersebut perlu dijadikan bahan evaluasi.

“Dalam praktiknya kemudian itu menimbulkan interpretasi beragam dan mengakibatkan penerapan pasal yang justru bersifat kontraproduktif,” tambahnya.

Ditambahkan Allan, pembentukan panduan Kapolri terhadap penyelesaian kasus terkait UU ITE belum menyentuh akar permasalahan. 

Panduan Kapolri yang salah satunya mengatur bahwa ketentuan pihak yang harus melapor adalah korban, hanya menyentuh upaya perbaikan di tataran impelementasi penegakan. 

Padahal, proses hukum yang baik, benar, dan adil melingkupi tatanan yang lebih luas, yakni mulai dari tahapan pembentukan, proses, serta penegakan hukum.

Baca juga: Peluang Revisi UU ITE, Ini Ulasan Pakar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga

“Juga, pilihan pengenaan pidana sebagai senjata utama perlu dievaluasi ulang. UU ITE bisa meletakkan sanksi pidana untuk menegakan larangan. Namun, karakter larangan dalam UU ITE tidak seluruhnya tepat dikenakan pidana,” kata Allan melanjutkan.

Dia mengungkapkan, di UU ITE itu terdapat pasal yang menyangkut ranah privat.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved