Yogyakarta
Minta BPS Kaji Data Kenaikan Angka Kemiskinan, Dinsos DIY : Jangan Gunakan 2 Indikator Survei
Dalam pelaksanaan survei selama ini BPS hanya menggunakan dua indikator yakni kecukupan makanan dan daya beli atau pengeluaran ekonomi.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kalangan parlemen geram dan menganggap program pengentasan kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih berjalan top down atau pendekatan dari atas ke bawah.
Sehingga program-program yang selama ini digalangkan oleh pemerintah DIY dinilai hanya mengulang setiap tahun tanpa adanya inovasi.
"Jangan hanya melakukan langkah-langkah tahunan yang belum terbukti efektif, karena kondisinya juga jauh berbeda. berbagai program pengentasan kemiskinan saat ini masih dilakukan dengan cara klasik dengan program program topdown dari atas," kata Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana, Rabu (17/2/2021).
Ia menyampaikan kemiskinan di DIY sebelum pandemi sebenarnya sudah tinggi di atas rata rata nasional.
Baca juga: Ekonomi Kontraksi Selama Pandemi, Garis Kemiskinan di DI Yogyakarta Meningkat 12,80 Persen
Target RPJMD tahun 2022 semestinya sebesar 7 persen dan pencapaian tahun ini sebesar sekitar 8 persen.
Dengan adanya pandemi, angka tingkat kemiskinan kembali ke posisi semula pada awal tahun 2017.
Bahkan Huda mengklaim kondisi kemiskinan masyarakat DIY saat ini lebih buruk dari tahun 2017 silam, yaitu sebesar 12.80 persen sesuai data BPS.
"Ditambah lagi angka Gini Rasio di DIY tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 0,437 yang tidak membaik dibandingkan tahun sebelumnya," jelasnya.
Dua masalah tersebut, lanjut Huda menjadi problem DIY sejak sebelum pandemi, dan semakin parah dengan adanya pandemi COVID-19.
"Sangat beruntung DIY memiliki budaya luhur dan kegotongroyongan yang tinggi sehingga penderitaan masyarakat teratasi dengan nilai-nilai internal tersebut. Tapi bagaimanapun juga pengentasan kemiskinan menjadi prioritas yang semakin urgen saat ini," lanjut Huda.
Selain angka kemiskinan yang naik, kedalaman tingkat kemiskinan menurutnya juga semakin parah.
Kondisi ini menuntut cara kerja yang tidak biasa dari pemerintah daerah.
Baca juga: Pemda DI Yogyakarta Prioritaskan Proyek Padat Karya untuk Menanggulangi Kemiskinan
Program - program yang berinovasi sangat dibutuhkan, akan tetapi selami ini program pengentasan kemiskinan berupa pemberian bantuan dengan mendasarkan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Masalahnya adalah, masih kata Huda, data yang ada dari DTKS kurang bisa memotret kondisi riil masyarakat, selain itu masyarakat dan pemerintah paling bawah seperti pemerintah kalurahan dan padukuhan sekedar menjadi obyek pelaksana.
"Jadi program pengentasan kemiskinan cenderung top down, birokratis dan kreativitas lokal sulit diakomodasi. Paradigma menerima bantuan juga kurang mendidik dan cenderung menimbulkan konflik sosial jika tidak tepat sasaran," tegas Huda.
