WAWANCARA EKSKLUSIF: Regulasi Vaksin Mandiri Mulai Digodok, Epidemiolog UGM Buka Suara

Kami rasa, itu seharusnya belum digaungkan karena fokus utama vaksinasi ini masih di kelompok prioritas, seperti tenaga kesehatan (nakes)

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Istimewa
dr Bayu Satria Wiratama MPH 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Isu tentang vaksinasi mandiri memang sedang hangat dibicarakan.

Diketahui, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin akan menyiapkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) khusus terkait pengelolaan vaksin mandiri.

Bahkan, Menkes Budi juga sudah bertemu dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri untuk ikut mengawal program vaksinasi mandiri.

Namun, sejumlah pakar epidemiologi di Indonesia menilai, wacana vaksin mandiri tersebut masih terlalu dini dibicarakan.

Hal ini lantaran pemerintah masih belum menuntaskan program vaksinasi prioritas untuk tenaga kesehatan, pekerja publik dan lansia.

Berikut hasil wawancara eksklusif Tribun Jogja dengan Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) dr Bayu Satria Wiratama MPH mengenai isu vaksinasi mandiri.

Baca juga: Berawal dari Nyinyiran Netizen, Skater Perempuan Bunga Dwi Nawang Wulan Tunjukan Kelihaiannya

Sebagai pakar epidemiologi, bagaimana pendapat Anda tentang program vaksinasi mandiri yang dibicarakan pemerintah?

Kami rasa, itu seharusnya belum digaungkan karena fokus utama vaksinasi ini masih di kelompok prioritas, seperti tenaga kesehatan (nakes), pekerja publik, orang tua lanjut usia (lansia), orang rentan dengan komorbiditas dan masyarakat umum.

Progres vaksinasi kita saja kan belum sampai ke masyarakat umum, baru mau menyelesaikan di nakes.

Seharusnya, belum ada vaksinasi mandiri ataupun pembuatan undang-undangnya, mengingat masyarakat prioritas saja belum selesai.

Mengapa program vaksinasi mandiri belum bisa dilakukan saat ini?

Adanya vaksinasi mandiri ini pasti akan ditujukan untuk masyarakat umum, bukan lagi pekerja publik, lansia atau nakes.

Ini tidak sesuai dengan program pemberian vaksin di Indonesia yang mengutamakan orang-orang prioritas.

Mungkin ada lansia yang mau beli, tapi kan kalau sudah dipastikan dapat, ya kenapa harus ikut yang mandiri.

Nah, vaksin mandiri ini membuat kacau prioritas tadi. Memang seharusnya, pemerintah fokus dulu ke peningkatan vaksinasi prioritas.

Ditambah, stock vaksin belum tentu ada. Kalau ada, bagaimanapun harus ke prioritas dulu.

Apa yang harus dipersiapkan pemerintah agar vaksin mandiri tidak mengganggu vaksin prioritas?

Pertama, jumlah barang atau vaksin prioritas harus terpenuhi dulu baru berbicara vaksin mandiri.

Vaksin mandiri itu kan artinya konsumen berani membayar, meski mahal sekalipun dan banyak yang mau.

Perusahaan bisa langsung meminta ke vendornya, seperti AstraZeneca, Pfizer/BioNTech atau Sinopharm.

Itu pun pastinya akan rebutan dan tinggal bagaimana persetujuan mereka saja.

Pasokan vaksin ini harus diawasi betul agar tidak kacau. Jangan sampai produsen vaksin malah memberikan lebih banyak ke program vaksinasi mandiri.

Jika seperti itu, nanti pemerintah tidak bisa mendatangkan untuk program prioritas. Ini malah kacau.

Kedua, cara distribusinya. Jangan sampai kacau juga, meski sudah ditetapkan harga atas dan harga bawah.

Namun, orang pasti akan berebut dan menghalalkan segala cara. Ini biasanya terjadi di Indonesia.

Pasti ada yang berani bayar tinggi untuk mendapatkan vaksin Pfizer yang diklaim bagus. Regulasi ini harus diatur juga agar tidak ada permainan di belakang.

Kalau pasti vaksin mandiri, dipastikan siapa yang boleh beli, bagaimana cara belinya dan apa saja yang tidak boleh dilanggar.

Ini harus lebih ketat dan lebih jelas lagi. Prioritasnya ditata dulu baru menjelaskan program vaksinasi mandiri.

Sistemnya harus baik agar tidak ada yang menyerobot antrian. Ini bertujuan untuk meminimalisasi ketimpangan.

Apa maksud dari ketimpangan itu?

Jangan sampai orang dengan ekonomi yang tinggi justru paling banyak mendapatkan manfaat vaksin, sedangkan yang ekonomi menengah kebawah tidak dapat apa-apa.

Yang kami takutkan, jika vaksin mandiri berjalan dan posisi vaksin prioritas tak ditaruh diatas vaksin mandiri, maka otomatis orang yang tidak memiliki daya beli bakal mendapatkan keuntungan paling belakang.

Apalagi kalau mereka juga bukan warga prioritas. Imbasnya, mereka bisa kalah jarak dengan mereka yang punya uang dan akses.

Jika alasannya untuk menggenjot vaksinasi, ya enggak begitu juga.

Jadi, bagaimana agar pemerintah bisa mencapai target 1 juta suntikan setiap hari?

Yang penting ya itu tadi, jumlah vaksin yang ada dan cara distribusinya.

Sekarang, vaksin diproduksi Biofarma, kemudian ada juga pembelian dari Sinovac dan AstraZeneca, tapi kita kan belum tahu produsen lain gimana.

Daripada membicarakan vaksin mandiri, kita kebut dulu ini yang produsen lain bagaimana. Pastikan distribusi yang ini benar dulu agar 1 juta suntikan tiap hari terwujud.

Kalau vaksinasi untuk warga prioritas sudah selesai dan mulai masyarakat umum, maka pemerintah boleh membicarakan vaksin mandiri.

Apakah vaksin mandiri bisa mempercepat herd immunity atau kekebalan kelompok?

Tidak. Vaksin mandiri tidak ada kaitannya dengan herd immunity itu. Sebab, kekebalan kelompok berkaitan dengan jangkauan vaksin.

Jangkauan yang besar bisa kog tercapai tanpa vaksinasi mandiri asal pemerintah betul-betul memastikan pasokan dan distribusinya.

Kalau vaksin mandiri yang bisa beli hanya yang memiliki daya beli tinggi, bagaimana dengan yang lain?

Dari situ, bisa-bisa jangkauan vaksinnya juga tidak mencapai yang diinginkan.

Vaksinasi mandiri itu hanya mempercepat kelas menengah keatas untuk membeli vaksin.

Mereka sudah memiliki akses kesehatan bagus, kemudian dikasih akses vaksin, mungkin kalangan menengah ke bawah ini jadi makin ketinggalan.

Di luar negeri, tidak ada negara yang menggunakan skema vaksinasi mandiri seperti ini. Hanya di Indonesia. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved