Kisah Inspiratif

Kisah Mengharukan Pedagang di Malioboro, Bu Siti Selalu Bersyukur Meski Dagangannya Tidak Ludes

Sang suami telah meninggal 8-9 tahun lalu memaksa dirinya harus tetap menghidupi diri sendiri tanpa bergantung pada empat anaknya.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Ardhike Indah
Siti Nur Aisyah atau Bu Siti tetap semangat berjualan di tengah pandemi meski hanya membawa pulang Rp 20 ribu 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dengan suara lirih, Siti Nur Aisyah atau yang biasa dipanggil Bu Siti menjajakan camilannya.

Ia membawa makanan ringan seperti peyek, sale pisang, kerupuk dan pangsit.

Makanan itu ia bungkus menjadi ukuran medium yang bisa dinikmati dua orang.

Beberapa bungkusan ia bawa di troli beroda dan yang lainnya ditenteng dengan keranjang plastik.

“Sale pisangnya mbak, mas, satu tujuh ribu, tiga dua puluh ribu,” begitu tawarnya di sekitar Jalan Malioboro, Kamis (7/1/2021).

Baca juga: Kini, Pengunjung Bisa Memanfaatkan Alat Pengukur Suhu Tubuh di Jalan Malioboro

Sejak pukul 10.00, Bu Siti telah berada di jantung wisata Yogyakarta itu.

Ia dengan sabar menawari siapapun yang sedang duduk di sekitar situ.

Tidak banyak orang yang membeli dagangannya, hanya satu dua orang terlihat menawar beberapa bungkus.

“Ya, sejak tadi cuma ada dua orang yang beli. Tidak apa-apa, pelan-pelan,” katanya. Bu Siti tidak mengeluh.

Ia terlihat senang masih berjualan.

Sesekali ia melepas maskernya untuk mencium bau minyak kayu putih dan duduk di sebuah bangku.

Tangannya terlihat keriput, begitu juga mata dan bibirnya.

Usianya mungkin sudah senja, sekitar 50-55 tahun, tapi Bu Siti masih semangat berjualan.

“Kalau kayak gini, saya bisa dapat pendapatan, bawa pulang uang dan enggak bosan di rumah,” katanya sembari menerawang jauh.

Bu Siti hanya tinggal berdua bersama satu anak laki-laki.

Baca juga: Pengunjung Malioboro Keluhkan Fasilitas Tombol Penyeberang yang Sudah Lama Rusak

Sang suami telah meninggal 8-9 tahun lalu.

Keadaan itu memaksa dirinya harus tetap menghidupi diri sendiri tanpa bergantung pada empat anaknya.

“Malu kalau bergantung pada anak. Begini saja enggak apa, yang penting tetap sehat,” ungkapnya lagi.

Menjadi penjual makanan ringan di Jalan Malioboro tidaklah mudah untuk Bu Siti.

Sebab, ia harus menempuh kurang lebih 10 km dari rumahnya yang berada di Gamping, Balecatur, Sleman menuju Jalan Malioboro.

Perjalanan yang cukup jauh itu ia tempuh dengan menggunakan bus Trans Jogja dan membayar kurang lebih Rp 7.000 untuk pergi pulang.

Kemudian, ia melanjutkan rute dengan ojek yang dia bayar Rp 10.000 untuk sekali perjalanan.

“Pokoknya saya pulang jam 4 sore. Biar enggak kemalaman. Kejual tidak kejual, saya bawa pulang,” terangnya lagi sembari meminum es degan yang ia pesan di warung sekitar.

Bu Siti tidak memproduksi sendiri.

Makanan ringan itu ia beli dari orang dalam skala besar dan ia bungkus dengan kemasan lebih kecil.

Tangannya sudah tidak kuat.

Seringkali, tangan kanannya itu gemetar begitu saja.

Baca juga: Kendaraan Bermotor Bebas Masuk ke Malioboro Saat Nataru, Penjualan Oleh-oleh Meningkat

“Apa ya ini namanya, tremor. Tangan saya sering begini,” ungkapnya memperlihatkan jempol yang gemetar.

Ia tidak tahu mengapa tangannya bisa seperti itu.

Keadaan tangan yang kerap gemetar membuatnya tidak bisa memasak.

“Saya makan beli saja. Kalau masak, sudah tidak kuat,” tuturnya.

Seorang dokter juga pernah meminta dirinya untuk berobat lebih lanjut.

Sayang, ia tidak ingin berobat.

Untuk makan sehari-hari saja ia perlu menghemat.

“Kadang saya bawa pulang Rp 20 ribu. Itu pendapatan bersih, bisa untuk makan saya dan anak. Di rumah juga cuma dua orang, harus cukup,” terang Bu Siti.

Nominal Rp 20 ribu itu juga harus ia gunakan untuk berkegiatan sosial.

Di desa tempatnya tinggal, pasti ada kegiatan yang membutuhkan dana.

Baca juga: Malioboro Jadi Kawasan Tanpa Rokok, Relawan Masih Temukan Banyak Puntung Rokok Berserakan

Sebagai contoh, kematian seseorang, kelahiran bayi atau pernikahan sejoli.

“Kalau bawa troli gini kan ringan, ini juga keranjang ringan. Enggak kuat kalau bawa yang berat,” ucap Bu Siti melihat ke dua keranjang yang dibawa.

Selama pandemi, tentu saja dirinya kena imbas.

Dagangannya jarang ludes karena wisatawan yang datang cuma sedikit.

Biasanya, jika ada tamu di daerah Malioboro, makanan ringannya cepat habis karena diborong.

Ia tidak perlu menunggu lama dan bisa langsung pulang, beristirahat.

“Susah kalau corona kayak gini. Tapi saya itu bersyukur saja. Karena saya masih diberi sehat, tidak kurang suatu apapun,” ucapnya tersenyum. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved