Kisah Inspiratif
Kisah Mengharukan Pedagang di Malioboro, Bu Siti Selalu Bersyukur Meski Dagangannya Tidak Ludes
Sang suami telah meninggal 8-9 tahun lalu memaksa dirinya harus tetap menghidupi diri sendiri tanpa bergantung pada empat anaknya.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Keadaan tangan yang kerap gemetar membuatnya tidak bisa memasak.
“Saya makan beli saja. Kalau masak, sudah tidak kuat,” tuturnya.
Seorang dokter juga pernah meminta dirinya untuk berobat lebih lanjut.
Sayang, ia tidak ingin berobat.
Untuk makan sehari-hari saja ia perlu menghemat.
“Kadang saya bawa pulang Rp 20 ribu. Itu pendapatan bersih, bisa untuk makan saya dan anak. Di rumah juga cuma dua orang, harus cukup,” terang Bu Siti.
Nominal Rp 20 ribu itu juga harus ia gunakan untuk berkegiatan sosial.
Di desa tempatnya tinggal, pasti ada kegiatan yang membutuhkan dana.
Baca juga: Malioboro Jadi Kawasan Tanpa Rokok, Relawan Masih Temukan Banyak Puntung Rokok Berserakan
Sebagai contoh, kematian seseorang, kelahiran bayi atau pernikahan sejoli.
“Kalau bawa troli gini kan ringan, ini juga keranjang ringan. Enggak kuat kalau bawa yang berat,” ucap Bu Siti melihat ke dua keranjang yang dibawa.
Selama pandemi, tentu saja dirinya kena imbas.
Dagangannya jarang ludes karena wisatawan yang datang cuma sedikit.
Biasanya, jika ada tamu di daerah Malioboro, makanan ringannya cepat habis karena diborong.
Ia tidak perlu menunggu lama dan bisa langsung pulang, beristirahat.
“Susah kalau corona kayak gini. Tapi saya itu bersyukur saja. Karena saya masih diberi sehat, tidak kurang suatu apapun,” ucapnya tersenyum. ( Tribunjogja.com )