Kisah Satu-satunya Perajin Genting Keripik di Poncosari Bantul, Setengah Abad Merawat Warisan
Pada dekade tahun 1965-an silam, dusun Polosiyo dan Gunturgeni di Kalurahan Poncosari, Sandakan, Kabupaten Bantul dikenal menjadi kampung
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Pada dekade tahun 1965-an silam, dusun Polosiyo dan Gunturgeni di Kalurahan Poncosari, Sandakan, Kabupaten Bantul dikenal menjadi kampung kerajinan genting keripik dan wuwung.
Jumlah perajin saat itu mencapai sekitar 10 keluarga.
Namun, kurangnya peminat dan munculnya inovasi genting press yang dianggap lebih presisi, jumlah perajin terus menyusut.
Satu per satu menyerah. Saat ini hanya menyisakan satu perajin, yaitu keluarga Rohmad.
Rohmad merupakan generasi kedua. Ia melanjutkan kerja keras dan semangat dari sang ayah, Wardi Utomo yang lebih dulu telah membangun usaha genting keripik pada tahun 1965.
Baca juga: Mahasiswa UNY Analisis 92 Dongeng Indonesia untuk Asah Karakter Nasionalisme Anak
Baca juga: Pemda DIY Bebaskan Kabupaten/Kota Untuk Opsi Tutup Akses Masuk Saat Libur Nataru
Kontan, sudah lebih dari setengah abad usaha itu dijalankan, meski dalam kondisi pasang surut, warisan dari sang ayah itu, masih dirawat dengan baik oleh Rohmad.
Baginya, meneruskan usaha sang ayah dan tidak bergantung kepada orang lain, adalah kemandirian.
"Saya sudah melakukan pekerjaan ini sejak usia 16 tahun. Meski kondisinya begini, saya sudah sangat senang. Karena menguntungkan," ucapnya, lalu tersenyum.
Setiap hari, bersama istri dan ibunya, Rohmad menghabiskan waktu dengan 'mengadon' tanah liat.
Mereka saling berbagi tugas. Rohmad biasa mencangkul tanah liat, kemudian mencampur sedikit dengan material pasir sungai.
Campuran ini penting supaya tanah liat kalis dan tidak lengket saat diolah.
Setelah adonan siap kemudian ditumpuk dalam cetakan kayu dan dipotong berlapis-lapis.
Lapisan dari potongan tanah liat ini yang menjadi cikal untuk diolah oleh Istri dan ibunya, menjadi genting keripik dan wuwung.
Mereka terbiasa memulai rutinitas itu sejak pagi, pukul 07.00 - 16.00 WIB.
"Dalam sehari kadang bisa membuat 200 - 250 genting dan wuwung," tutur pria berusia 45 tahun itu.
Rohmad mengungkapkan, genting keripik, meksipun ketinggalan zaman memiliki keunggulan dibanding genting press.
Di antaranya, lebih ringan dan harga relatif terjangkau bagi masyarakat.
Harga satuan wuwung Rp 6.000, sementara genting keripik Rp 900 rupiah.
Ia biasa menjual dengan ketentuan Rp 900 ribu per-seribu genting keripik.
Setiap orang yang datang pesan genting, biasanya akan ditawari, mau diangkut sendiri atau diantar.
Baca juga: Sekda DIY : Setiap Wisatawan Yang Ingin Berkunjung ke Yogyakarta Wajib Bawa Hasil Rapid Test
Baca juga: Gugas Covid-19 Kulon Progo Bakal Bubarkan Kegiatan yang Timbulkan Kerumunan Saat Nataru
Jika memilih diantar maka tambah seratus ribu per-seribu genting untuk ongkos transportasi.
"Pesanan biasanya paling banyak dari Kulon Progo," ungkap dia.
Selain ringan dan harga yang murah, kelebihan lain dari genting keripik menurutnya lebih kuat dan tahan dari air.
"Jadi kalau dipakai, tidak ada yang bocor. Selama ini saya belum pernah menerima ada pelanggan yang komplain," kata Rohmad sembari menjelaskan, bahwa genting keripik kebanyakan dipakai untuk rumah tradisional, Joglo maupun rumah pribadi.
Sang Istri, Dalinem mengatakan, musim hujan adalah kendala bagi perajin genting.
Sebab, intensitas terik matahari berkurang. Sehingga cukup menyulitkan saat menjemur.
Namun demikian, bersama suami dan ibu mertua, musim hujan ini Dalinem tidak patah arang untuk terus memproduksi kerajinan genting keripik demi memenuhi target pesanan.
"Kalau tidak membuat. Tidak ada pemasukan. Sejauh ini pesanan masih ada dan cukup bagus," ucapnya. (Rif)