Warga Karangwuni Merasa Dipermainkan Pemerintah: Kadung Berutang, Janji Pencairan UGR JJLS Tak Jelas

Ratusan warga Karangwuni yang merasa diingkari soal janji pencairan UGR. Bidang tanahnya yang terdampak proyek JJLS

|
Penulis: Alexander Aprita | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUN JOGJA/Alexander Ermando
SPANDUK PROTES: Warga Karangwuni, Kapanewon Wates, Kulon Progo saat mempersiapkan spanduk berisi protes yang hendak dipasang di sepanjang Jalan Daendels, Senin (01/09/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, KULON PROGO - Warga Kalurahan Karangwuni, Kapanewon Wates, Kulon Progo sepakat untuk menolak kelanjutan proyek Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) di wilayah mereka.

Penolakan muncul karena tak ada kejelasan soal pencairan Uang Ganti Rugi (UGR) selama 6 tahun terakhir.

JJLS adalah proyek infrastruktur jalan strategis nasional yang menghubungkan pesisir selatan Pulau Jawa, dari Banten hingga Jawa Timur, dengan tujuan meningkatkan konektivitas, aksesibilitas ekonomi, dan daya tarik pariwisata di wilayah tersebut.

Marius Puryanti merupakan satu dari ratusan warga Karangwuni yang merasa diingkari soal janji pencairan UGR. Bidang tanahnya yang terdampak proyek JJLS luasnya sekitar 300 meter persegi.

"6 tahun lalu sudah ada nilai UGR-nya sekitar Rp 400 juta, sudah tanda tangan kuitansi dari pihak bank waktu itu," tutur Marius ditemui di Karangwuni pada Senin (01/09/2025).

Lantaran kadung dijanjikan, ia pun langsung mengajukan pinjaman ke bank.

Tujuannya agar dia bisa langsung membeli lahan baru dan membangunnya agar bisa segera pindah begitu proyek dimulai.

Marius bahkan menggunakan uang pinjaman bank tersebut untuk membiayai kuliah anaknya. Namun harapan tinggal harapan, hingga 6 tahun berjalan, janji tersebut seakan menguap begitu saja.

"Sampai kuliah anak saya selesai pun, janji pencairan UGR belum terealisasi," ujarnya.

Marius mengaku saat ini kebingungan untuk melunasi utangnya di bank yang sudah jatuh tempo. Belum lagi dengan bunga pinjaman yang harus dibayarkan.

Ia pun kini hanya bisa meminta kejelasan janji pencairan UGR dari pemerintah. Tak hanya itu, ia menuntut adanya kompensasi kerugian yang dideritanya selama penantian 6 tahun.

Nasib Mujiran, warga Karangwuni lainnya, juga tak lebih baik. Ada 2 bidang tanah miliknya yang terdampak, dengan total luas lahan sekitar 500 meter persegi dengan nilai keseluruhan Rp 700 juta.

"Itu nilai UGR yang ditetapkan tim appraisal, saat itu sudah sosialisasi juga di Balai Kalurahan Karangwuni," jelasnya.

Mujiran mengaku 6 tahun lalu sudah tanda tangan kuitansi berisi nilai UGR yang akan diterimanya serta mendapat buku tabungan dari pihak bank. Namun uang yang dijanjikan tak pernah cair.

Sama seperti Marius, ia pun juga telanjur mengajukan pinjaman ke bank untuk membeli lahan baru. Sebagian uangnya juga digunakan sebagai modal usaha.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved