Gending Ladrang Gajah Seno Bikin Penonton Wayang Climen Ki Catur Benyek Terharu
Pentas wayang climen dalam rangka umbul donga almarhum Ki Seno Nugroho menghadirkan dalang Ki Catur Benyek Kuncoro.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
Mbah Bancak ini menikahi Kasilah, perempuan yang kemudian identik disebut Mbok Cermo. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua putra, Suparman dan Supardi.
“Dari Mbok Cermo inilah saya mendapatkan semua cerita masa dulu. Saya lebih sering diasuh Mbok Cermo ini sejak TK, karena bapak dan ibu saya kerap bepergian untuk berkesenian,” ungkap Catur Kuncoro.
Baca juga: Ki Geter Pramudji Tuai Pujian dari Penggemar Wayang Climen Ki Seno Nugroho
Baca juga: Kisah Perjalanan Karier Ki Seno Nugroho Ketika Mulai Digembleng Menjadi Dalang
Dari kedua putranya itu, Suparman dan Supardi, mereka menikah dan dikaruniai putra/putri. Parman memiliki beberapa anak laki-laki, dan Seno Nugroho itu putranya ketiga.
“Pak Pardi punya tujuh anak, satu di antaranya saya ini,” lanjut dalang wayang hiphop ini.
Menurut Catur Benyek, bapak dan pakdenya, jelas tumbuh besar dalam iklim keluarga seniman.
Ada nama besar Ki Cermo Bancak. Seiring waktu, menurut Catur, ada keinginan Ki Cermo Bancak agar anak-anak meneruskan perjuangannya di bidang seni pedalangan.

Menurutnya, keinginan itu terlihat saat bagaimana Ki Parman menandai semua instrumen gamelan menggunakan nama Parman-Pardi.
“Pokoknya ada space, entah di cunduk kelir atau cunduk gayor gong, di situ ada nama Parman Pardi. Ini satu cara beliau mengenalkan anak-anaknya kepada publik,” jelasnya.
Menariknya, lanjut Catur Kuncoro, tidak ada edukasi langsung Ki Cermo Bancak kepada kedua anaknya, Parman dan Pardi, soal seni pedalangan.
Kedua bocah itu lebih banyak menekuni ilmu pedalangan lewat menonton pertunjukan wayang, baik ayah mereka atau dalang lain, atau bertanya ke seniman lain.
Pentas wayang climen umbul donga Ki Seno Nugroho oleh Dinas Kebudayaan DIY berakhir tepat pukul 23.59.
Sebagai penutup Ki Catur Benyek mementaskan tarian wayang golek yang memiliki pesan simbolik.
Kepada penonton dan khalayak ramai, tari wayang golek itu bermakna “golekono” (carilah) yang baik, dan buanglah yang buruk.
(Tribunjogja.com/xna)