Wawancara Eksklusif
Refleksi 6 Tahun DI Yogyakarta sebagai Provinsi Inklusif, Sejauh Mana Kepedulian Pemerintah?
Namun, selama enam tahun berjalan masih banyak ditemui pelanggaran terhadap hak-hak penyandang disabilitas maupun belum terjalankannya
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Kurniatul Hidayah
Yang banyak jadi persoalan itu di SD dan SMP. Saya kira yang menjalankan cukup baik untuk pendidikan inklusif ini di Pemerintah Kota Yogyakarta karena sudah punya Unit Layanan Disabilitas (ULD). Jadi kalau ada persoalan-persoalan anak enggak diterima di sekolah umum atau anak ada masalah dengan metode pembelajarannya itu baik guru maupun orang tua bisa lari ke ULD tadi.
Di Gunungkidul saya kira cukup baik juga. Kulon Progo mulai membaik. Yang masih perlu banyak digarap itu di Sleman dan Bantul. Pemihakan kesadaran gurunya masih perlu digarap.
Provinsi membantu kabupaten/kota itu dengan melakukan training-training di sekolah reguler. Ada sebagian guru pendamping khusus (GPK) yang diambil dari SLB itu diberi tugas tambahan ke sekokah-sekolah reguler sebagai GPK tapi masih kurang sekali.
Apa alasan sekolah menolak murid difabel?
Saya bekas guru, ya. Harusnya seorang guru itu kepada semua anak yang ada di kelas itu adalah muridnya. Jadi enggak boleh ada 'wah ini enggak ada GPK kok.' Kalau enggak bisa, (guru) harus belajar. Ini yang kurang ada, yaitu kesadaran guru untuk menerima. Dia merasa enggak punya ilmu, padahal buku tentang inklusif itu banyak sekali.
Sekolah yang guru-gurunya sudah kami training pun masih sering menolak. Ini susah sekali, dari gurunya yang enggan mengimplementasikan. Intinya perlu didorong kesadaran guru untuk belajar tentang inklusi ini.
Ini harus digarap karena pendidikan itu adalah miniatur sosial masyarakat. Kalau mau melihat masyarakat itu ya lihat pendidikannya. Karena tanpa disadari pendidikan itu proses ideologisasi, bukan sekadar mengajar matematika atau bahasa Inggris. Ideologi inklusivisme harus ditanamkan.
Bagaimana terkait pemenuhan hak difabel di bidang ketenagakerjaan?
Ketenagakerjaan masih jauh. Kuota minimal pegawai disabilitas aparatur sipil negara (ASN) 2 persen, swasta 1 persen. Kenyataannya di DIY masih jauh. Tapi di DIY ini memang menarik, tidak bisa kita mengatakan pengusaha itu tidak menerima (kaum difabel).
Saya pernah melakukan survei kecil dan mengundang beberapa asosiasi pengusaha. Para pengusaha itu bahkan sudah membuat deklarasi dan kesepakatan bahwa para asosiasi ini menerima difabel. Ada sebagian dari mereka yang menerima bukan karena Perda atau UU tetapi karena buyer-nya.
Mereka menyatakan menerima (pekerja difabel), tetapi ada beberapa kendala. Satu, mereka enggak punya data, difabelnya ada di mana, bisanya apa. Dan dinas ketenagakerjaan tidak punya. Kedua, mereka minta diajari berkomunikasi dengan difabel. Ketiga, mereka bertanya apa sih aksesibilitas itu, jangan-jangan itu harus membongkar macam-macam dan mahal. 'Tolong kami diberitahu mana yang perlu diberi aksesibilitas' katanya.
Berikutnya, difabel itu mesti keterampilannya berbeda dengan yang diperlukan. Yang pasti (mereka) tidak punya itu soft skill, bagaimana etos kerja, semangat kerja, motivasi kerja, itu enggak punya. Ini kesenjangan yang ada.
Lalu, perusahaan bilang sudah membuat job fair, sudah mengumumkan, tetapi dari difabel yang datang sedikit sekali.
Kemudian, dari pihak penyedia tenaga kerja, yakni SLB. Di SLB itu yang tingkat SMA kurikulumnya 70 persen skill, tapi 70 persen yang diajarkan itu tidak sesuai dengan yang dibutuhkan di pasar kerja. Contohnya, yang dibutuhkan pasar kerja itu menggunakan mesin jahit dengan kecepatan tinggi, tetapi yang diajarkan itu menjahit tas dan meronce. Jadi ada ketidaksesuaian antara keterampilan dengan kebutuhan pasar kerja.
Ini komite sedang mempertemukan antara pasar kerja dan penyedia tenaga kerja. Jadi kalau di penyedia kerja tidak mengerti softskill itu apa nanti di penerimanya akan melatih softskill. Kalau di perusahaannya itu tidak bisa berkomunikasi, dari penyedia tenaga kerja mengajari berkomunikasi. Artinya bagaimana kesenjangan ini saling ditutup dengan kemampuan masing-masing. Ini akan kita susun dalam butir-butir fungsi dan tugas ULD tenaga kerja.
Di perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2012 nanti maupun UU diamanatkan dinas tenaga kerja itu harusnya punya ULD. Fungsinya mempertemukan antara penyedia dengan penerima tenaga kerja dan menutup kesenjangan yang ada. Saya pikir perusahaan-perusahaan itu bisa mengatur training dengan dana CSR-nya.
Terkait aksesibilitas fasilitas umum di DIY saat ini seperti apa?
Aksesibilitas hanya yang kelihatan-kelihatan saja, Malioboro (misalnya). Lainnya Malioboro ya mengkhawatirkan. Etalase DIY yang aksesibel, tetapi di luar etalase masih harus digarap, termasuk juga tempat wisata.
