Yogyakarta

Pakar Epidemiologi : Jika Bencana Alam Terjadi di Masa Pandemi, Diperlukan Shelter Per Keluarga

Terkait shelter, prinsipnya secara umum jika densitas dalam satu shelter semakin kecil, social distancing menjadi lebih baik.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
istimewa
Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr Riris Andono Ahmad, dalam Webinar Peringatan 100 Tahun Pemantauan Gunung Api di Indonesia dengan tema “Erupsi Besar Merapi Tahun 2010: Sebuah Refleksi di Masa Pandemi”, Jumat (11/9/2020). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – DIY merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan terhadap bencana sangat tinggi. 

Satu di antaranya adalah potensi bencana Gunung Merapi.

Bencana dan pandemi sama-sama merupakan kondisi kedaruratan.

Namun, keduanya memiliki karakteristik berbeda.

Semisal, dari sisi durasi bencana alam hanya 2-4 minggu, pandemi bisa lebih dari 6 bulan.

Skenario Bahaya Jika Terjadi Bencana Merapi

Dari sisi lokasi, bencana berada di 1-2 lokasi, sedangkan lokasi pandemi semakin lama semakin meluas.

Hal itu disampaikan Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr Riris Andono Ahmad, dalam Webinar Peringatan 100 Tahun Pemantauan Gunung Api di Indonesia dengan tema “Erupsi Besar Merapi Tahun 2010: Sebuah Refleksi di Masa Pandemi”, Jumat (11/9/2020).

“Cara kita meresponnya bisa menjadi buah simalakama. Jika kita memilih yang satu akan memperparah yang lain. Harus mencari cara bagaimana mengurangi korban dan dampak keduanya. Tidak ada resep yang pasti dan itu sangat situasional, tergantung banyak hal,” ujar pria yang akrab disapa Donni ini.

Ia menuturkan, paparan terhadap virus yang intens dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu ventilasi, durasi, dan jarak (VDJ).

“Mobilitas manusia dan paparan tersebut sulit dihindari saat kondisi tanggap bencana alam yang notabene terjadi kerumunan. Belum lagi kondisi stres, kelelahan, kondisi psikologis menjadikan pengungsi lebih berisiko karena respons imunnya tidak sekuat kondisi normal,” tambahnya.

DTT Pemda DIY Masih Ada Rp 310 Miliar untuk Covid-19 dan Mitigasi Bencana Alam

Donni menyampaikan, hal yang sulit dilakukan dalam situasi kebencanaan di tengah pandemi adalah sosial distancing karena orang dipindahkan secara bersamaan dalam satu tempat dan dilokalisasi pada wilayah yang sangat crowded.

“Upaya melakukan social distancing adalah dengan memperkecil kelompok-kelompoknya,” tambahnya.

Ia menyebutkan, hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak titik pengungsian serta memperkecil ukuran shelter, mengurangi densitas shelter, membuat zonasi risiko di dalam satu site pengungsian; ada zonasi karantina dan isolasi, melakukan monitor dan membatasi interaksi dalam site pengungsian, serta membatasi mobilitas keluar masuk site pengungsian.

“Terkait shelter, prinsipnya secara umum jika densitas dalam satu shelter semakin kecil, social distancing menjadi lebih baik. Akan lebih ideal jika satu shelter atau tempat hanya dihuni satu keluarga saja. Maka, penularan bisa dilokalisir di keluarga tersebut. Ini salah satu yang bisa dilakukan, membuat shelter per keluarga,” paparnya.

Selain itu, hal lain yang perlu dilakukan menurut Donni ialah memperbanyak prasarana di shelter semisal MCK, screening Covid-19 secara reguler, serta mencatat kedatangan setiap pendatang dan orang yang ditemui. Relawan dari zona merah juga semestinya tidak dilibatkan kecuali daerah tersebut berstatus sama.

 BNPB dan BPBD DIY Gelar Simulasi Penanggulangan Bencana Erupsi Merapi pada Masa Pandemi

Belum Ada Kesiapan Menghadapi Dua Bencana

Donni beranggapan, jika bencana alam terjadi pada saat bersamaan dengan situasi pandemi ini, belum ada kesiapan yang cukup untuk menghadapi hal itu.

“Saya rasa saat ini kita tidak prepare untuk menghadapi atau pun punya bayangan untuk mengelola dua bencana. Yang saat ini cara meresponnya itu bisa menyebabkan problem lebih besar lagi pada salah satu bencana. Kalau mengutamakan Merapi bisa meningkatkan penularan, atau kalau lebih mencegah penularan bisa meningkatkan dampak dan korban Merapi,” bebernya.

“Kita belum punya pengalaman dan kita belum pernah menyusun atau memiliki bayangan sebelumnya jika kita punya beberapa bencana sekaligus. Saya kira ini saat yang tepat untuk punya mindset seperti itu,” sambung Donni.

Ia menambahkan, kapasitas kita mengelola bencana terkait dengan kapasitas kita membayangkan kemungkinan bencana yang akan muncul, bagaimana skenario-skenario jika hal itu terjadi, dan membuat mitigasinya.

BPBD DIY : Simulasi Penanggulangan Erupsi Merapi Jadi Antisipasi Terjadinya Bencana Turunan

“Saya senang sekali kalau setelah ini ada pertemuan lanjutan agar masyarakat tahu siapa ibunya untuk Covid-19 dan siapa ibunya untuk bencana lain, sehingga masyarakat bisa tenang dengan mengetahui informasi dengan benar,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Danang Samsurizal  mengakui kompleksitas tanggap bencana di masa pandemi mengalami perubahan.

“Kompleksitasnya berubah, sudah Merapi ditambahi Covid-19. Harus ada perubahan-perubahan dari kesiapannya. Dokter Riris harus bergabung nanti. Keputusan-keputusan harus tepat,” ungkapnya.

“Kita bisa berkaca bagaimana kita mengelola barak, ada karantina ada isolasi. Misalnya, sebelum masuk di-rapid test, yang reaktif dibagaimanakan, yang positif diisolasi,” sambung Danang.

Ia menyampaikan, tantangan ke depan adalah bagaimana kita dengan cepat mengubah manajemen krisis bencana sehingga tidak menambah dampaknya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved