Penjelasan Pakar Iklim Fakultas Geografi UGM Terkait Fenomena Udara Dingin Akhir-akhir Ini
Hal itu disebabkan posisi dari gerak semu matahari di belahan bumi utara, sementara kita berada di belahan bumi selatan.
Penulis: Noristera Pawestri | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Pakar Iklim Fakultas Geografi UGM, Andung Bayu Sekaranom, mengungkapkan kondisi cuaca dingin akhir-akhir ini merupakan hal yang biasa menjelang puncak musim kemarau.
Hal itu disebabkan posisi dari gerak semu matahari di belahan bumi utara, sementara kita berada di belahan bumi selatan.
Akibatnya, kita menerima lebih sedikit energi radiasi matahari dan menyebabkan cuaca menjadi lebih dingin.
“Selain itu, kalau dilihat dari keseimbangan energi di bumi, selain bersumber dari radiasi matahari, juga ada radiasi gelombang panjang yang dikeluarkan oleh bumi,” kata dia, Rabu (29/7/2020).
• Suhu Udara Terasa Dingin karena Tiupan Angin Monsun Australia
• Menggigil ! Penyebab Suhu Dingin di Yogya yang Diperkirakan Terjadi Hingga Agustus
Andung menambahkan jika kondisi cenderung berawan, sebagian radiasi tersebut akan dipantulkan kembali ke permukaan bumi.
Hal tersebut menyebabkan temperatur menjadi lebih hangat.
Sementara jika cuaca cerah, radiasi tersebut akan hilang sampai ke luar angkasa sehingga temperatur menjadi lebih dingin.
Kondisi kemarau tahun ini, kata dia, cenderung lebih lembab dibandingkan kondisi rata-ratanya.
Setelah tahun kemarin kemarau berkepanjangan akibat El Nino lemah, tahun ini curah hujan cenderung lebih tinggi.
“BMKG memprediksi puncak musim kemarau pada bulan Agustus sehingga bulan September sudah mulai hujan,” katanya.

Menurutnya, iklim yang berubah saat ini terutama dipengaruhi oleh peningkatan gas rumah kaca di atmosfer akibat dari aktivitas manusia seperti transportasi, industri, dll.
Terjadi pula kenaikan temperatur hingga 0.3 derajat celcius per dekade dan diprediksi terus meningkat higga naik 1-2 derajat pada tahun 2100.
Selain temperatur, frekuensi curah hujan ekstrem juga meningkat dan perubahan musim menjadi semakin tidak pasti.
“Dampak yang dirasakan terutama banjir yang semakin meningkat pada musim penghujan. Tidak jarang hujan lebat juga mengakibatkan bajir bandang dan longsor yang semakin sering,” katanya.
Sementara itu, Andung juga menilai beberapa dekade ini musim kemarau menjadi semakin kering, kejadian kebakaran hutan juga semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Sementara untuk dampak pertanian, petani semakin kesulitan menentukan awal dan akhir masa tanam.
Seringkali masa tanam padi belum selesai tapi kondisi sudah kering sehingga mengakibatkan gagal panen.
• BMKG Yogyakarta Sebut, Suhu Dingin di DI Yogyakarta Diperkirakan hingga Agustus
• Penjelasan BMKG Soal Fenomena Suhu Terasa Lebih Dingin Hari Ini
Melihat prediksi musim kemarau yang tidak terlalu parah sebagaimana tahun kemarin, Andung mengungkapkan, bencana yang ditimbulkan diprediksi juga tidak terlalu parah.
Namun, di beberapa lokasi yang rawan kekeringan masih perlu waspada dan sebisa mungkin menghemat air.
Masyarakat bisa melakukan konservasi secara sederhana, misal dengan menanam pohon dan membuat resapan air sehingga saat musim kemarau kondisi tidak akan kering.
Selain itu, potensi kebakaran hutan dan lahan juga masih ada meskipun lebih rendah, sehingga diimbau kepada masyarakat untuk tidak sembarangan membakar sampah ataupun membuang puntung rokok di daerah yang kering.
“Khusus untuk daerah pegunungan cuaca akan menjadi lebih dingin pada malam dan pagi hari dibanding biasanya, derah yang tinggi dan lembab seperti Dieng akan berpotensi rawan embun upas,” tuturnya.
Penjelasan BMKG
Kabid Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Hary Tirto Djatmiko, mengatakan fenomena suhu udara dingin merupakan fenomena alami yang biasa terjadi pada bulan-bulan puncak musim kemarau pada Juli-Agustus.
"Udara terasa dingin di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) kandungan uap di atmosfer cukup sedikit," kata Hary saat dihubungi Kompas.com, Minggu (26/7/2020).
Hary menjelaskan, hal tersebut terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir.

Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas.
Hal ini mengakibatkan rendahnya kandungan uap di atmosfer sehingga membuat energi radiasi yang dilepaskan oleh Bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer, dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu udara atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.
"Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan," ujar dia.
Selain itu, pada bulan Juni, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat massa udara yang berada di Australia dingin dan kering.
Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia (monsoon dingin Australia) semakin signifikan.
• Fenomena Embun Upas di Dataran Tinggi Dieng Muncul Selama 3 Hari Berturut-turut
• BMKG Prediksi Kemarau Akan Berlangsung hingga Oktober, Ini Sejumlah Wilayah yang Rawan Kekeringan
Hal ini berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Hary mengatakan, saat puncak kemarau, umumnya umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa.
"Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan," kata Harry.
Kandungan air di dalam tanah juga menipis dan uap air di udara sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara. (*)