Yogyakarta

Pernikahan di Usia Matang Bantu Tekan Angka Stunting

Kasus stunting masih memerlukan perhatian serius. Pasalnya masalah ini menjadi masalah serius terkait tumbuh kembang anak di Indonesia.

Penulis: Wahyu Setiawan Nugroho | Editor: Ari Nugroho
Istimewa
Sesi pembekalan kelompok konselor Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja) dan Bina Keluarga Remaja (BKR) DIY oleh BKKBN perwakilan DIY, Kamis (23/7/2020). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus stunting masih memerlukan perhatian serius. Pasalnya masalah ini menjadi masalah serius terkait tumbuh kembang anak di Indonesia.

Menurut situs resmi WHO, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.

Menurut UNICEF (The United Nations Children's Fund), stunting menandakan gizi buruk kronis selama periode emas tumbuh kembang anak di usia dini.

Penyebab masalah yang rawan terjadi di Indonesia adalah karena pernikahan usia dini yang masih marak.

Usia ayah dan ibu yang masih terlampau muda membuat risiko stunting menjadi meningkat.

Ibu Pantau Perkembangan Bayi Selama Pandemi Agar Tidak Stunting

Stunting sendiri merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama.

dr Iin Nadzifah Hamid, Analis Kebijakan Ahli Madya Perwakilan BKKBN DIY menjelaskan pernikahan di usia matang rupanya dapat membantu menekan angka kasus stunting.

Hal ini dikarenakan organ reproduksi telah berkembang dengan sempurna.

"Usia matang dianggap ayah dan ibu sudah memiliki psikis hingga ekonomi yang telah mumpuni. Sehingga bisa menciptakan lingkungan keluarga yang mampu mendukung dan mengarahkan tumbuh kembang anak hingga remaja," katanya dalam sela pembekalan kelompok konselor Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja) dan Bina Keluarga Remaja (BKR) DIY, Kamis (23/7/2020).

Selain itu, kata Iin, masalah kesiapan dalam membangun keluarga menjadi faktor yang penting untuk menjadi pertimbangan sebelum memutuskan untuk memiliki keturunan.

Ternyata, Stunting Tak Sama dengan Kerdil

"Terutama yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan gizi yang akan berdampak pada kualitasnya sebagai aktor pembangunan dan kesiapannya dalam membangun keluarga," katanya.

Iin menambahkan, remaja memang masa yang rawan dengan permasalahan terlebih soal kehidupan seksual.

Pubertas atau kematangan seksual yang semakin dini (aspek internal) dan aksesibilitas terhadap berbagai media serta pengaruh negatif dari teman sebaya (aspek eksternal) menjadikan remaja rentan terhadap perilaku seksual berisiko.

Dengan demikian, remaja menjadi rentan mengalami kehamilan di usia dini, kehamilan di luar nikah, kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi penyakit menular seksual.

Hingga dampaknya jika sampai hamil maka anaknya rentan stunting.

2.600 Kader Posyandu Bertekad Cegah Stunting

Iin mengaskan, hal paling pokok dalam menekan angka stunting adalah paham periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK)

Selain itu, proyek konselor ini menjadi bagian dari Proyek Prioritas Nasional (Pro PN) dengan target sasaran intervensi sensitif dari BKKBN untuk DIY yakni 279 kelompok PIK R, dan 139 kelompok BKR.

Target Pro PN DIY ini, kata Iin, juga untuk melakukan percepatan penanganan stunting bagi keluarga yang memiliki anak dibawah dua tahun (baduta) sebesar 51.768 keluarga agar tersentuh pengasuhan di periode 1.000 HPK.

"Target nasional penurunan stunting 24,1 persen dari total balita di Indonesia 2020. 2019 sudah tercapai 27,67 persen. Target DIY mempertahankan angka stunting 10,69 persen dari total balita di DIY dan terus menekan angka tersebut," tutupnya.(TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved