Kota Yogyakarta
PKL Malioboro Keluhkan Belum Adanya Bantuan Modal di Masa Pandemi Covid-19
Setelah buka kembali sejak tutup beberapa bulan akibat pandemi Covid-19, pengunjung di kawasan Malioboro dianggap PKL masih sepi hingga berimbas pada
Penulis: Yosef Leon Pinsker | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Malioboro mengeluhkan bantuan modal bagi usaha mereka di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang.
Setelah buka kembali sejak tutup beberapa bulan akibat pandemi Covid-19, pengunjung di kawasan Malioboro dianggap PKL masih sepi hingga berimbas pada pendapatan pedagang.
Sri Sunarti, salah seorang PKL Malioboro mengatakan, dirinya telah 40 hari kembali berjualan sejak tutup akibat pandemi Covid-19.
Pemkot Yogya memang telah mengizinkan PKL untuk berjualan, namun tidak diikuti oleh seluruh pedagang karena pengunjung yang belum stabil.
• Kisah Musisi Tunanetra Ikon Malioboro yang Berhasil Sekolahkan Dua Anak Didiknya
"Ya daripada di rumah saja kan lebih baik berjualan, satu dua pengunjung memang ada tapi memang belum seramai seperti biasa," kata dia Jumat (17/7/2020).
Sri mengatakan, kondisi demikian cukup memberatkan bagi para pedagang.
Belum lagi akses modal yang terbatas karena beberapa bukan tutup akibat adanya Covid-19.
"Modalnya ya habis buat makan, tabungan menipis juga karena berapa lama tidak jualan," imbuhnya.
Dia berharap Pemkot Yogya menyalurkan bantuan permodalan bagi PKL.
Dengan bantuan modal berupa pinjaman lunak agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber modal, diharapkan perekonomian di jantung kota tersebut dapat kembali bangkit.
"Kita ya paham kondisinya sedang pandemi begini, tapi pedagang kan jatuhnya meminjam bukan meminta. Atur saja pembayarannya bagaimana. Terus terang kita sampai bingung mencari modal," lanjut dia.
• UPT Malioboro Tunggu Pelaksanaan Rapid Test Massal
Desio Hartonowati, Ketua Paguyuban Pedagang Lesehan Malioboro menyatakan, saat ini sekitar 85-90 persen pedagang lesehan sudah berjualan, namun tidak diikuti oleh peningkatan pengunjung yang membuat pedagang memutar otak untuk menutupi ongkos dagangan.
"Kondisinya ya hampir sama dengan sewaktu bulan-bulan puasa. Makanya sebagian pedagang ada yang milih cuman buka Jumat-Minggu saja karena disitu pengunjung cukup lumayan," imbuhnya.
Dari tiga hari itu pun, pedagang kata dia hanya merasakan puncak pengunjung pada hari Sabtu.
"Jadi bagaimana bisa menutupi ongkos seminggu berdagang dengan hanya satu hari yang pengunjungnya cukup lumayan," lanjut dia.
Tak beberapa jauh dengan para PKL, sejumlah pedagang lesehan juga mengaku kesulitan dalam mencari bantuan modal.
"Modal juga cukup tipis bahkan sampai pinjam ke saudara untuk bisa kembali berjualan. Karena ya kondisinya begitu. Pedagang menganggap lebih baik berjualan daripada tidak," ujarnya.
Apalagi, usaha kuliner bukan seperti usaha biasa.
Mereka berharap Pemkot Yogya bisa memberikan bantuan usaha jangka pendek agar dimanfaatkan pedagang sebagai modal awal.
Dia juga mengeluhkan ribetnya sejumlah aturan yang ditetapkan oleh Pemkot Yogya bagi wisatawan.
Para pelancong mesti menjalani sejumlah syarat untuk bisa masuk ke wilayah setempat. Termasuk menjalani tes swab Covid-19.
• Pengunjung Malioboro Capai 600 Orang Rata-rata Perhari
"Begitu kan biayanya jadi besar kalau dia mau berwisata ke Jogja dan itu hanya bisa ditanggung sama mereka yang berduit banyak, kalau masyarakat menengah bagaimana," cetusnya.
Pihaknya meminta Pemkot Yogya untuk dapat menjalankan aturan kesehatan yang ketat sekaligus membuat roda perekonomian bangkit kembali.
Sehingga, perlahan-lahan dampak pandemi Covid-19 bisa segera teratasi.
"Ekonomi masyarakat cukup terpuruk dengan syarat yang diberikan Pemkot. Meski dari kesehatan jalan, tapi di sisi ekonomi terpuruk karena dampaknya pengunjung jadi sepi," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)