Manusia Mongoloid Lebih Tahan “Micin”? Pakar Ini Beberkan Jawabannya

Ras Mongoloid disebut yang paling tahan Monosodium Glutamate) atau vetsin atau umumnya disebut “micin”.

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Gaya Lufityanti
wikipedia
ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Sub-spesies (ras) Mongoloid sebagai bagian spesies Homo sapien (manusia modern) dianggap memiliki karakteristik dan ciri genetik yang berbeda.

Mongoloid mendiami Asia Timur Daratan dan Kepulauan, Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan, Eskimo di Kutub Utara dan kelompok populasi Indian di Amerika (Maya, Inca, Aztec dan lain-lain).

Satu di antara kelebihan Mongoloid adalah, ras inilah yang paling tahan Monosodium Glutamate) atau vetsin atau umumnya disebut “micin”.

Hal ini dijelaskan Rusyad Adi Suriyanto, pakar biopaleoantropologi UGM pada kuliah virtual grup WABLAS (Wabah Class), Sabtu (16/5/2020).

Tema diskusi “Penyakit di Masa Lampau” .

Covid-19, Contoh Terbaik Proses Evolusi dalam Sejarah Hidup Manusia dan Lingkungannya

Grup Wabah Class ini beranggotakan sekitar 250 orang beragam profesi, pekerjaan, keilmuan.

Mereka tersebar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk beberapa mahasiswa di luar negeri.

Kelompok diskusi vitual lewat aplikasi Whats App Group ini sudah menggelar dua gelombang diskusi selama pandemic virus Corona, menghadirkan para narasumber kompeten di bidangnya.

Lebih lanjut Rusyad dalam paparan makalah dan diskusi, menjawab pertanyaan menggelitik peserta, Ary Budhi.

Warga Malang ini menyebut ilmu kedokteran mengakui adanya penyakit genetik.

Misal scoliosis yg banyak ditemukan di DNA ras Mongoloid.

“Masing-masing ras itu memiliki karakteristik fenotipus dan genetis yang relatif berbeda,” jawab Rusyad. Ia lalu menjelaskan lebih dulu spesies dan sub-spesies manusia sejak masa purba.

Ada Homo floresiensis, Homo naledi , atau hominid-hominid lebih purba, yakni Australopithecus sp, Paranthropus sp dan-lain-lain.

Manusia kuno lebih merujuk kepada Homo sapiens Holosen.

BREAKING NEWS : Update Covid-19 DIY 17 Mei 2020, Positif Covid-19 di DIY Bertambah 5 Kasus

Mongoloid adalah satu di antara populasi sub spesies (ras) dari Homo sapiens.

Selain Mongoloid, masih ada Kaukasioid, Negroid, Australomelanesoid dan Khoisanid.

Kaukasoid mendiami mulai dari India, Sri Lanka, Pakistan, Afganistan, Negara-negara  Asia Tengah, Persia, Timur Tengah, Eropa dan Afrika Utara di belahan utara Gurun Sahara.

Negroid mendiami Afrika di selatan Gurun Sahara. Australomelanesoid mendiami Indonesia bagian timur, mulai dari Flores, pulau-pulau di NTT, Maluku dan Papua.

Juga semua penduduk bumiputera Aborigin, Maori, Kepulauan Mikronesia dan Pasifik.

Khoisanid mendiami Gurun Kalahari di Botswana.

Karakteristik fenotipus dan genetic itu tentu termasuk terkait penyakitnya.

Contoh lain penyakit yang karena genetic adalah kanker nasopharinx yang hanya diderita populasi Mongoloid.

“Populasi Kaukasoid, khususnya Eropa, mempunyai kerentanan terhadap rasa gurih dari MSG atau vitsin atau micin. Mereka tidak tahan terhadap menu-menu Asia Timur dan Asia Tenggara yang gurih-gurih itu,” jelas Rusyad.

“Mereka yang tidak tahan ini menderita gangguan sindroma resoran China, karena mereka akan merasa mual dan pusing sekejab setelah menyantap menu-menu kita yang kaya MSG,” lanjutnya.

“Jadi tak usah terlalu risau dengan kampanye pihak mereka (barat) yg memusuhi MSG. Tentu juga tak perlu heran raksasa produk MSG ada di Asia Timur dan Tenggara, misalnya Ajinomoto, Sasa, Miwon, Moto dan seterusnya,”kata dosen yang kerap disebut “ahli kubur” karena keilmuannya ini.

Kepala Suku Amazon Meninggal Akibat Corona, Sempat Berpesan Pemakamannya Diiringi Tarian

Peserta lain, Timbul, warga Klaten, menanyakan, adakah perilaku manusia purba yang menyebabkan dia kurang nutrisi dan berdampak seperti ötzi mumi es si vegetarian.

“Bisa jadi demikian Mas Timbul,” jawab Rusyad pada diskusi virtual yang dimoderatori Asmarani Februandari, dosen Akparda Yogya dan pegiat Kelompok LIKE Indonesia.

Menurut Rusyad yang pernah jadi asisten Prof T Jacob, ahli antropologi ragawai UGM, manusia purba (Australopithecus sp., Homo habilis, Homo erectus, Homo naledi, Homo luzonensis, Homo florensiensis dst.) masih hidup di alam liar.

Mereka memang sebagai predator, namun juga bisa sebagai mangsa.

Semakin purba semakin mereka sangat tergantung secara langsung ke alam, semakin modern mereka makin meningkatkan strategi ekstrabiologisnya, berupa kebudayaan.

“Manusia purba hidup liar di alam terbuka. Tantangannya jauh sangat berat. Mereka berkompetisi untuk mendapatkan sumberdaya alam, khususnya pangan spesies lain. Mereka juga berkompetisi dengan kelompok-kelompok lain karena kelompok ini berdasarkan jaringan nepotism,” papar pria asal Surabaya ini.

Berkompetisi menurut Rusyad adalam usaha menguasai dan menetapkan teritorial, melindungi kelompok dan menjaga pasangan dan anak-anaknya.

Hidup di alam bebas terbuka juga riskan keamanan, keselamatan dan kesehatannya.

Rahasia Kenapa Suku Aborigin di Australia Masih Terbebas dari Serangan Virus Corona

“Beda dengan kita yang bisa tinggal dan ngumpet di rumah yg hangat. Lha mereka? Misalnya, bisa saja saat tertidur bareng, bisa diseruduk dan terinjak gerombolan Bubalus paleokarabau, Bibos paleosonadaicus, Stegodon trigonocephalus, Sus brachicnatus dan lain-lain,” katanya setengah bergurau.

Oleh karena itu, menurut Rusyad, manusia purba awal diduga masih suka hidup santai di pepohonan untuk berlindung demi keselamatannya.

Masa berikutnya, tentu api berperan juga ikut melindungi mereka dari tekanan lingkungan abiotis dan predator lain.

Bahkan makin mendapatkan kualitas hidup lebih baik saat genus Homo berikutnya telah hidup di gua-gua.

Trauma dan luka biasa terjadi dalam hidup di alam liar.

“Bagaimana dengan penyakit lain?” tanyanya retoris.

Tentu saja bejibun, paling tidak penyakit parasit sudah lumrah.

Ia mengingatkan pada zaman kakek nenek dan orang tua kita, saat itu betapa lumrahnya orang berkutu rambut, hidup dengan kutu busuk, dan beragam kutu lain.

Penyakit infeksius juga begitu lumrah, antara kudis, kurap, koreng dan seterusnya.

Kisah Mengharukan di Tengah Covid-19, Irlandia Balas Kebaikan Suku Indian Amerika

“Apakah mereka juga bisa kurang gizi atau malnutrisi? Tentu saja, dan Anda sudah memberikan contohnya,” ujar Rusyad.

“Saat terjadi perubahan ekstrem, maka semua spesies berupaya untuk survive, salah satu untuk bisa survive adalah ketersediaan makanannya. Tentang kemungkinan serangga jadi makanan manusia purba dan kuno, Rusyad mengakui belum ada bukti paleoantropologisnya .

Menjawab pertanyaan Danny, peserta yang juga konsultan ekonomi dari Jawa Timur, tentang pola hidup manusia purba Rusyad menjelaskan, baru sejak 10.000 sebelum Masehi, manusia masa lampau mulai menetap dan mendomestikasi buruan menjadi ternakan.

Awalnya semua hewan yang diternakkan manusia modern adalah hewan liar.

Sekitar 10-40 ribu tahun lalu, manusia kuno berusaha menjinakkan hewan-hewan liar untuk kebutuhan konsumsi, tenaga dan kesenangan.

Manusia kuno telah mampu menseleksi beragam spesies hewan yang mungkin menguntungkannya berdasarkan pengamatan dan pengalamannya.

Beberapa hewan liar yang terseleksi itu didekatkan ke lingkungan hidup manusia untuk diternakkan dan dipelihara.

Suku Aborigin di Australia Masih Bebas Virus Corona, Ini Rahasianya

“Itu lah tahap awal domestikasi. Saat ini hewan-hewan itu hidup di lingkungan manusia. Ada keuntungan besar didapat manusia, yakni lebih efisien dan efektif untuk memenuhi kebutuhan produk hewan (daging, susu, kulit), tenaga kerja dan alat mobilitas,” katanya.

Hewan-hewan itu juga untuk tujuan kesenangan atau hobi.

Namun memelihara hewan itu memiliki risiko, yakni kemunculan penyakit-penyakit (bakteri, virus, jamur atau mikroorganisme pathogen) pada hewan-hewan itu hidup bersama manusia.

Makin menuju ke masa modern, ragam domestikasi hewan dan tanaman makin meningkat karena pertumbuhan populasi yang makin menjulang. Kebutuhan pangannya makin meningkat.

Lingkungan hewan dan tanaman liar diubah manusia untuk memperluas permukiman dan lahan domestikasinya.

Habitat-habitat hewan dan tumbuhan diklaim sebagai habitat manusia.

Luasan lingkungan liar mereka makin susut, sebaliknya luasan lingkungan ipsefak (lingkngan yg diubah oelh manusia) menjadi meraksasa.

Lingkungan makin mengalami ketidakseimbangan.

Maria Branyas jadi Salah Satu Manusia Tertua di Dunia yang Sukses Kalahkan Virus Corona

Pertumbuhan populasi yang tidak bisa direm mengakibatkan manusia berupaya melipatgandakan cadangan kebutuhan pangannya. 

Industri pengolahan makanan memberikan solusinya.

Makin lama, menurut Rusyad, industri pengolahan makanan makin haus pasokan sumber bahan mentah pertanian dan peternakan (perikanan).

Makin menuju ke masa kini hidup manusia makin berkompetisi dengan hewan-hewan dan tanaman-tanaman domestikasinya.

“Bagaimana kondisi kehidupan manusia saat ini?” tanyanya retoris. Menurut Rusyad Adi, kini manusia lah yang terdomestikasi. Manusia sangat tergantung dari produk unggas dan telur, daging dan susu sapi, kambing, kerbau, unta, babi, dan produk-produk ternak lain yang awalnya merupakan produk domestikasinya.

Demikian juga untuk beragam sereal, sayur, buah, bumbu dan rempah, serta bahan-bahan alamiah farmakologisnya. Manusia saat ini jadi makin tergantung dari domestikasinya.

Jumlah ternak dan hasil lahan terus meningkat melebihi jumlah manusia di bumi saat ini.

Penjelasan Soal Bagaimana Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Melawan Virus Corona

Stok pangan manusia terus diupayakan. Sepertinya manusia hanya alat untuk melipatgandakan reproduksi mereka.

Kebudayaan ikut andil atas makin terdomestikasinya manusia.

“Manusia bukan hewan liar. Manusia bukan makhluk liar. Kini manusia makin menjadi makhluk “manja”,” ujarnya.

Tulang-tulangnya makin “gracile” karena aktivitas fisiknya makin terbantu beragam peralatan yang dibuatnya.

Beragam mesin, robot, komputer dan teknologi informasi mampu membuat manusia bisa bekerja hanya dengan mobilitas rendah.

“Cuma ndeprok di rumah sudah bisa bekerja. Organ utamanya otak, makin keras bekerja. Seperti yg kita kerjakan di kelas WABLAS ini, sambil duduk-duduk dan enjoy, kita bisa bekerja. Otak kita lah yang makin mumet,” selorohnya. (Tribunjogja.com/ xna)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved