Update Corona di DI Yogyakarta

Peran Masyarakat Lawan Covid-19, Pakar UGM: Setiap Masyarakat Memiliki Multiposisi

Penanggulangan Covid-19 tidak bisa hanya dikerjakan pemerintah atau tenaga medis, namun ada peran besar masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Ari Nugroho
news.un.org
ilustrasi Virus Corona (Covid-19) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL – Penanggulangan Covid-19 tidak bisa hanya dikerjakan pemerintah atau tenaga medis, namun ada peran besar masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini.

Guru besar Ilmu Kebijakan Publik Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto, membahas peran masyarakat luas dalam pengentasan Covid-19 pada diskusi daring yang diselenggarakan FKKMK UGM dan Fisipol UGM, Rabu (22/4/2020).

“Dengan skala bencana yang begitu massif saat ini kita tidak bisa mengandalkan pemerintah atau tenaga medis saja, kecuali kita bahu-membahu membantu sesama masyarakat,” ujarnya.

Erwan menjelaskan, peran masyarakat untuk mendukung penuntasan masalah akibat Covid-19 setidaknya ada tiga aspek. Pertama, dimensi dampak yang ditimbulkan Covid-19.

Sanksi Mudik Hanya untuk Daerah yang Sudah PSBB

Di antaranya, kita perlu mengetahui ada yang terdampak, sekaligus juga implikasi lain yang mucul, yaitu ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.

Kedua, posisi sosial ekonomi politik yang dimiliki atau diduduki oleh masyarakat tersebut.

“Misalnya, masyarakat biasa berbeda dengan ketua RT atau RW. Ketua RW tentu memiliki peran yang lebih banyak,” tuturnya.

Ketiga, lanjut dia, wilayah di mana masyarakat tinggal.

“Ada zona merah, kuning, hijau. Masyarakat di zona merah punya peran berbeda dengan masyarakat di zona hijau. Agar sukses, dibutuhkan kerja sama antar masyarakat. Yang di zona hijau tetap perlu memproduksi pangan untuk disalurkan ke zona merah,” paparnya.

Dia menerangkan, masyarakat itu tidak tunggal, melainkan memiliki multiposisi.

Misalnya, seorang individu memiliki posisi sebagai warga negara, anggota komunitas, sekaligus anggota keluarga.

Di setiap posisi itu ada peran yang bisa dia mainkan dalam penanggulangan Covid-19.

Kulit Dua Dokter di Wuhan Menghitam Setelah Berjuang Mati-matian Melawan Virus Corona

“Ada multiposisi masyarakat. Misalnya, sebagai warga negara, paling minimal dia harus mematuhi hukum dan kebijakan yang ditetapkan di daerah-daerah. Sebagai anggota komunitas, dia tinggal di satu lokalitas tertentu. Di situ juga punya peran, tergantung posisinya. Kalau RT RW punya peran lebih penting, tetapi warga juga punya peran penting dalam menanggulangi Covid-19,” urainya.

“Berikutnya, sebagai anggota keluarga. Dia bisa mengedukasi dan memastikan diri maupun anggota keluarganya tetap berada di rumah dan mematuhi protokol jika terpaksa keluar. Nah, ini masyarakat diharapkan bisa menjalankan perannya di level posisi masing-masing,” sambungnya.

Di samping itu, lanjut dia, peran masyarakat perlu dibarengi dengan pemahaman yang lebih detil tentang dampak yang ditimbulkan Covid-19.

Setidaknya, ada tiga dimensi dampak Covid-19, yakni kesehatan, ekonomi, serta sosial dan politik.

“Kita harus menilik secara lebih detil agar bisa optimal mengambil peran. Misalnya terkait isu-isu di kesehatan. Bagaimana mekanisme penularan, ada ribuan orang terjangkit Covid-19, ada ratusan orang meninggal, ada ratusan dokter dan tenaga medis yang terjangkit, puluhan tenaga medis yang meninggal, ada stigmatisasi, pengucilan, penolakan atas penderita, dan ada penolakan terhadap jenazah korban Covid-19,” urainya.

Peran masyarakat dalam hal ini bisa dengan mematuhi aturan yang disampaikan pemerintah, memastikan keluarga dan lingkungan aman, pendidikan kepada masyarakat terkait Covid-19, penggalangan dana untuk isu kesehatan, hingga menjadi relawan.

Berikutnya terkait isu-isu ekonomi, dampak Covid-19 di antaranya, penutupan usaha, penurunan pendapatan atau penghasilan, pengurangan pegawai, PHK, panic buying, kelangkaan produk-produk kesehatan, hingga berhentinya supply chains.

Tak Hanya Indonesia, Berikut 9 Negara yang Bebaskan Napi di Tengah Pandemi Virus Corona

“Ketika mata rantai produksi terhenti, maka semuanya menjadi terhenti. Untuk memproduksi sesuatu diperlukan mata rantai supply. Jika satu mata rantai terputus maka prsoses produksi tidak bisa dilakukan,” bebernya.

Terkait hal ini, peran masyarakat di antaranya, melakukan re-adjustment (pengaturan) usaha sesuai kondisi krisis saat ini, mengembangkan peluang usaha baru untuk mendukung kebutuhan masyarakat di masa pandemi, mengembangkan keahlian baru, dan melakukan retraining untuk kebutuhan keahlian pasca krisis.

“Di Jogja diduga akan terjadi booming dalam usaha pariwisata setelah Covid-19 berakhir. Yang terkena PHK bisa melatih dirinya untuk kebutuhan ini,” ungkapnya.

“Bisa juga berperan dengan menjadi pembeli yang pro UMKM atau usaha di sekitar tempat tinggal. Sehingga tetangganya tetap survive. Ini sederhana tapi bisa membantu lingkungannya. Atau juga menjadi relawan untuk membantu kelompok masyarakat yang kesulitan,” sambungnya.

Sementara, isu-isu sosial dan politik yang muncul semisal keresahan dan kebingungan mengikuti kebijakan pemerintah, beredarnya hoaks, kecemburuan sosial, dan menurunnya solidaritas sosial.

Menurut Erwan, kebijakan pemerintah harus di-readjust dari waktu ke waktu. Misalnya, kebijakan WHO (badan organisasi dunia) yang berubah dalam penggunaan masker.

Berpuasa di Tengah Pandemi Covid-19

“Hal-hal lain terkait Covid-19 ini pun begitu. Itu bukan sebuah kesalahan, tetapi ini pemerintah juga sedang belajar, trial dan error. Misalnya, tentang kebijakan mudik, dari diimbau jadi dilarang,” katanya.

Peran masyarakat dalam hal ini, lanjut dia, menjadi warga negara yang cerdas dengan mengembangkan literasi digital, mengikuti physical distancing namun mempererat social interaction, lebih peduli pada masyarakat sekitar, menjadi warga negara yang aktif menjalin komunikasi dengan Ketua RT, RW, atau Dukuh.

Menanggapi hal itu, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Riskiyana Sukandhi Putra, juga mengingatkan bahwa sekarang kita menghadapi waktu yang agak berbeda.

“Sekarang menjelang ramadan, kalau di Jogja atau Jawa itu banyak nyadran. Ada ramadan, ada puasa, mudik lebaran. Larangan mudik apakah bisa benar-benar dipatuhi? Kalau tidak dia bisa menjadi carrier di epicentrum yang lain,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Riskiyana, kita juga akan berhadapan dengan musim kemarau.

“Di daerah-daerah yang kering, air tidak mudah didapat. Bagaimana kita menyediakan itu?” tuturnya.

Di tambah lagi, katanya, akan tiba masa tetap tinggal di rumah itu sudah berjalan berbulan-bulan.

“Mungkin bisa enam bulan. Ada nggak edukasi ke masyarakat di tingkat keluarga untuk mencegah outbreak atau penyakit yang ada di masing-masing keluarga tersebut?” urai Riskiyana.

Riskiyana mengungkapkan, perlunya kita memikirkan community planning atau rencana berbasis komunitas.

“Bagaimana WFH (bekerja dari rumah) bisa terus berjalan, bagaimana kebutuhan hidup tetap bisa terpenuhi,” pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved