Kisah Inspiratif

Kisah Mak Singgang, Tekun Jualan Makanan Keliling Sejak Tahun 1982

Dari hasilnya berjualan, ia dapat menyisihkan sedikit tabungan untuk membantu suaminya menguatkan perekonomian keluarga.

Penulis: Irvan Riyadi | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Irvan Riyadi
Mak Singgang, pedagang makanan keliling 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Irvan Riyadi

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Meninggalkan kampung halamannya di Dusun Jarak, Desa Tanjung, Kecamatan Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah, menuju Yogyakarta, untuk mencari rezeki sebagai pedagang makanan.

Bukan membuka warung makan, tetapi berkeliling adalah caranya menjajakan dagangan.

Pintu ke pintu, kos-kosan, asrama mahasiswa, sampai ke area kampus, seputar wilayah Gendeng, Baciro, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, adalah sasarannya.

Ia, disapa mak Singgang.

Perempuan paruh baya, kelahiran tahun 1968, lalu.

Pekerjaan itu, sudah dilakoninya sejak 1982.

Kisah Wartini, Pedagang Minuman di Alun Alun Kidul Yogya yang Banting Tulang Demi Kuliah Sang Anak

Kala itu, perempuan bernama asli Sakiyem, ini, baru saja menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar.

Keadaan ekonomi keluarga yang sedang kurang baik, membuatnya tidak sempat melanjutkan sekolah.

Berangkat lah Sakiyem muda menuju Kota Yogyakarta.

Dari sebuah kamar berukuran kecil, di sebuah gang, di kawasan Baciro, Sakiyem muda, memulai ikhtiarnya menjadi seorang pedagang.

Sepeda onthel, dengan sepasang keranjang gandeng berisi wadah-wadah aneka lauk, termos nasi, serta beberapa botol air, layaknya sebuah senapan serbu M4 lengkap dengan magazennya.

Itulah senjata yang digunakannya sehari-hari untuk menyergap rezeki.

Pakaian yang dikenakannya, dengan topi caping di kepala, serta senyum yang mengembang, menjadikannya mudah dikenali oleh pelanggan.

“Waktu itu, Mamak, kelilingnya masih jalan kaki, bawa keranjang gendong. Dulu, jualan jamu, nasi bungkusnya cuma sedikit,” kenang ibu dua anak dan seorang cucu ini.

TRIBUN JOGJA TV: Pemuda Kreatif Ubah Bambu Jadi Peralatan Dapur

Melihat kawasan sekitarnya mulai ramai oleh kalangan mahasiswa, ia memutuskan untuk mengutamakan makanan dibandingkan jamu, sebagai isi keranjang gendongnya waktu itu.

Beberapa tahun keliling berjalan kaki, ia kemudian memutuskan untuk menggunakan sepeda onthel sebagai kendaraannya, di tahun 1989.

“Menikah tahun 1988, setahun setelahnya (1989), baru naik sepeda,” tuturnya.

Memilih mengunakan sepeda onthel, selain untuk lebih efektif berdagang, pertimbangan kesehatannya yang kala itu sedang mengandung anak pertama, juga menjadi pertimbangan.

Sebagai pedagang, tentu ada harapan mendapatkan keuntungan sebagai hasil dari upaya yang dilakoni.

Tidak besar, namun baginya, selalu bisa disyukuri.

Dari hasilnya berjualan pula, ia dapat menyisihkan sedikit tabungan untuk membantu suaminya menguatkan perekonomian keluarga, untuk menyekolahkan dua anaknya, hingga ke bangku kuliah.

“Dagang kayak gini, ya tidak boleh nyari untung besar, yang penting laris saja,” tegasnya.

Dua kali sehari ia berkeliling, pagi hingga siang, dan malam hari hingga larut menjelang.

Kehadirannya, selalu dinantikan oleh pelanggan setia, khususnya dari kalangan mahasiswa rantau.

Inspiratif, Anak Pedagang Arum Manis dan Sopir Jadi Siswa Terbaik SPN Polda DIY

Ia nampaknya cukup faham latar belakang kalangan yang menjadi pelanggannya.

Sehingga, tidak jarang, bahkan sangat sering, ia membolehkan pelanggannya untuk berutang padanya.

Baginya, melakukan hal seperti itu memberi kebahagiaan tersendiri.

Sekalipun diakuinya, jika keadaan ekonominya juga tidaklah lebih.

“Ya namanya anak-anak sekolah (kuliah), jauh dari rumah, uang ya pasti sering kurang, mesakne (kasihan) kalau sampai lapar. Sama mamak, makan aja dulu, nanti pas ada uang baru bayar,” tuturnya.

Keadaan yang sudah berlangsug sejak dulu hingga kini.

Ia mengaku tidak pernah keberatan dengan hal seperti itu.

Meskipun, beberapa pelanggannya yang berutang, ada yang sampai lupa melunasi, hingga selesai masa perkuliahan.

Kabar baiknya, meskipun sempat lupa, pelanggan-pelanggan itu, ternyata tetap melunasi dengan cara yang lain.

“Kalau lupa, sampai pulang kampung (selesai kuliah), banyak. Tapi, biasanya nanti ada temannya yang bayarin, katanya dititipin, malah lebih bayarnya. Ada aja jalannya,” jelas mak Singgang.

Sedikitpun, ia tidak merasa khawatir akan kehilangan rezeki dengan keadaan seperti itu.

Kisah Amat Kasih, Pedagang Gerabah asal Kasongan yang Sudah 54 Tahun Berjualan Keliling

Ia meyakini, semua urusannya telah di atur Yang Maha Kuasa.

 “Mamak ya mengerti rasanya susah, kalau bisa membantu sedikit saja, alhamdulillah, mamak merasa senang sekali,” ujarnya sambil tersenyum.

Berbagi, dan berusaha meringankan beban orang lain, sesuai kemampuan, ternyata sudah tertanam dalam dirinya.

Ia lalu menceritakan, pesan mendiang ibunya, yang selalu mengingatkan untuk tetap memperhatikan keluarga, dan menolong siapapun yang membutuhkan bantuan.

“Almarhumah ibunya mamak, dari dulu juga sudah nitip pesan gini, kamu nanti jangan lupa perhatikan keluarga, bantuin orang-orang yang butuh ditolong, jangan tunggu uangmu banyak, membantu tidak mesti selalu dengan uang,” ucap mak Singgang, menirukan pesan mendiang ibunya.

Bisa melakukan sesuatu yang bisa meringankan beban orang lain, baginya memberi kebahagiaan tersendiri. (TRIBUNJOGJA.COM)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved