Yogyakarta

Keraton Gelar Simposium Internasional Bahasa Jawa 2020

Dari total 108 pendaftar, hanya akan ada 8 peneliti yang terpilih untuk mendiskusikan penelitian mereka dengan pembicara tamu dalam sejarah, filologi,

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Kurniatul Hidayah
Dalam rangka memperingati Ulang Tahun Kenaikan Tahta ke-31 Sri Sultan Hamengku Buwono X yang jatuh pada Sabtu (7/3), Keraton Yogyakarta menggelar Simposium Internasional Budaya Jawa bertajuk 'Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta' di The Kasultanan Ballroom Royal Yogyakarta, Senin (9/3/2020) dan Selasa (10/3/2020). 

Laporan Reporter Tribun Jogja Kurniatul Hidayah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dalam rangka memperingati Ulang Tahun Kenaikan Tahta ke-31 Sri Sultan Hamengku Buwono X yang jatuh pada Sabtu (7/3/2020), Keraton Yogyakarta menggelar Simposium Internasional Budaya Jawa bertajuk 'Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta' di The Kasultanan Ballroom Royal Yogyakarta, Senin (9/3/2020) dan Selasa (10/3/2020).

Agenda Simposium Internasional tersebut menghadirkan pembicara tamu dari dalam dan luar negeri.

Setelah dibuka selama satu bulan, telah dipilih 8 pembicara dari total 108 pendaftar.

Terdapat empat topik utama yang dibahas pada gelaran simposium yakni sejarah, filologi, seni pertunjukan, dan sosial budaya.

BREAKING NEWS : Cari Batu, Warga Magelang Temukan Keris, Teko dan Buku Berbahasa Jawa dan Arab

Terlihat dari komposisi pendaftar yang masuk, peneliti dalam negeri yang berasal dari berbagai kota di Jawa Timur, Bandung, hingga Kalimantan Timur ikut serta dalam simposium.

Sementara itu, untuk pendaftar dari luar negeri berasal dari Rusia, Jepang, Belanda, Inggris, dan Australia.

Dari total 108 pendaftar, hanya akan ada 8 peneliti yang terpilih untuk mendiskusikan penelitian mereka dengan pembicara tamu dalam sejarah, filologi, seni pertunjukan, dan sosial budaya.

Gelaran simposium dibuka oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X yang terlebih dahulu diisi oleh tari Beksan Lawung Ringgit yang merupakan salah satu tarian karya Sri Sultan Hamengku Buwono I di mana naskahnya yang berbentuk Serat Kandha baru saja kembali dari Inggris ke Keraton Yogyakarta.

Ketua Panitia Simposium Internasional Budaya Jawa GKR Hayu mengatakan dalam naskah tersimpan Ilmu pengetahuan, kekayaan budaya, dan catatan penting yang mewarnai Keraton Yogyakarta.

"Harapannya kekayaan budaya bisa dipahami generasi kini, maka ruang-ruang diskusi penelitian terkait budaya Jawa dan Keraton Yogyakarta harus dibuka," ucapnya dalam sambutan, Senin (9/3/2020).

90 Pelajar SMA/SMK di Gunungkidul Ikut Pelatihan Pidato Bahasa Jawa

Hayu menyinggung terkait tari Beksan Lawung Ringgit yang ditampilkan merupakan rekonstruksi dari 75 naskah yang kembali ke Keraton Yogyakarta dari British Library.

Selanjutnya nengenai busana, Hayu mengatakan bahwa busana memiliki peran penting terhadap kehidupan, bukan hanya melindungi jasmani, dalam perjalanannya busana juga menjadi media identifikasi terhadap jabatan, profesi, kekuasaan, dan tata nilai yang menguatkan identitas.

"Keraton Yogyakarta yang menjadi pusat kebudayaan jawa sarat akan pembelajaran yang mendukung suatu peradaban. Melalui busana kita bisa melihat identitas Mataraman yang dilestarikan pendiri Keraton Yogyakarta Pangeran Mangkubumi. Pada masa HB V-VIII, kita dapat melihat pengaruh budaya Eropa, Cina, atau penjuru dunia lain yang mewarnai busana seni pertunjukan maupun protokol kenegaraan," terangnya.

Kemudian pada era HB IX, tuntutan sejarah serta ketidaktersediaan aneka bahan pakaian menuntut penyederhanaan pakaian kerajaan.

"Saat ini pada saat HB X, semangat modernitas mewarnai busana masyarakat Yogya pada umumnya. Busana sebagai budaya juga terus berkembang mengikuti zaman. Keraton sebagai benteng budaya terus berusaha melestarikan kekayaan budaya. Salah satunya melalui busana. Melalui simposium diharapkan catatan masa lalu mengenai busana dapat kembali didiskusikan kembali," tuturnya.

Batik yang Digunakan GKR Hayu Saat Upacara Mitoni Dipamerkan di Taman Pintar

Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan simposium ini akan mengungkap matra busana tradisional Keraton, yang selain mengacu pada hal-hal yang sifatnya teknis, juga merekam jejak-jejak sejarah terjadinya akulturasi peradaban dengan wastra kerajaan Eropa.

Kemudian diadaptasi dan distilir secara halus dengan kombinasi celana bermotif batik cindhé mewarnai model busana agêng seorang Sultan.

"Sedangkan pakaian abdi dalêm diatur dalam pranatan sesuai tingkatan usia maupun kalênggahan-nya. Motif batik yang dikenakan juga berakar pada ciri masa histori tertentu. Pada zaman pertengahan, misalnya, membukukan ciri keanggunan gaya aristokrasi. Meski seni batik dari masa ke masa berkembang dalam keragaman yang artistik, pakaian abdi dalêm bisa dikatakan tetap bertahan oleh perubahan zaman," ucapnya.

Sedangkan di luar Keraton, lanjutnya, perkembangan batik diakui memang banyak perubahan yang berharga untuk dihayati dan dikaji.

Banyak penulis, baik dari Indonesia maupun mancanegara, yang membahas benturan dan pergeseran budaya seputar seni batik ini. Problematikanya sangat menarik dan unik, terutama yang terdapat di Pulau Jawa. Hal ini tidak terdapat pada kelompok masyarakat lain di dunia.

"Misalnya motif nitik sebenarnya timbul karena terinspirasi dari tenun sutra India, patola, dan di Yogyakarta disebut kain cindhé. Motif batik nitik telah resmi memperoleh Hak Kekayaan Intelektual berupa Indikasi Geografis DIY," ujarnya.

Kini Keraton sedang menata diri memasuki Era Digitalisasi.

Demikian juga terhadap warisan busana berikut naskah-naskahnya, agar terbaca dan dikenal oleh generasi milenial.

"Karakteristik Keraton Milenial adalah adanya proses digitalisasi dan otomisasi untuk seluruh pengelolaan Keraton yang terkoneksi dengan sistem nasional, bahkan global, tanpa meninggalkan akar budayanya," terangnya.(TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved