Kulon Progo
Warga Banaran Kembali Aksi Tolak Penambangan Pasir
Selain terindikasi ada pelanggaran aturan spesifikasi mesin, warga menilai banyak di antara penambang yang tak memiliki izin alias ilegal.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, KULON PROGO - Warga Desa Banaran, Kecamatan Galur meminta pemerintah mecermati aktivitas penambangan pasir menggunakan mesin sedot di sepanjang Sungai Progo wilayah tersebut.
Selain terindikasi ada pelanggaran aturan spesifikasi mesin, warga menilai banyak di antara penambang yang tak memiliki izin alias ilegal.
Hal itu disampaikan seratusan warga Banaran dalam aksi unjuk rasa pada Rabu (4/9/2019) di simpang jalan yang dilalui armada truk tambang dari wilayah Pedukuhan Bleberan dan Sawahan. Dalam aksi itu, warga sempat membokade jalan dan melarang truk pengangkut pasir melintas serta meminta pemerintah meninjau ulang Izin Penambangan Rakyat (IPR) bagi kelompok penambang Sungai Progo yang menggunakan mesin sedot pasir.
Aksi itu dilatari kekesalan warga atas rusaknya jalan lingkungan serta sebgian ruas jalan menuju Pantai Trisik akibat dilalui armada truk penambangan.
Warga menuding kerusakan itu diakibatkan hilir mudik truk pengangkut pasir dari aktivitas penambangan di sungai.
Juga, kekhawatiran warga atas praktik penyedotan pasir yang membuat debit sumur-sumur warga di sekitar lokasi penambangan menyusut karena turut tersedot.
• Warga Banaran Tuntut Penutupan Penambangan Sedot Pasir di Sungai Progo
"Sesuai PP 23/2010, kekuatan mesin yang di pakai maksimal 25 PK tapi kenyataan di lapangan mereka pakai di atas 40 PK. Makanya kami ajukan permohonan tinjau ulang keluarnya IPR itu," kata Koordinator Aksi, Agung Budi Prastawa.
Pada bagian muara sungai, abrasi menurutnya juga semakin parah akibat kegiatan penambangan itu.
Hal ini membuat laju gelombang laut ke area daratan semakin jauh hingga air di persawahan menjadi asin.
Saat terjadi gelombang tinggi, air laut juga lebih jauh menerjang di daratan.
Menurutnya, ada sekitar 50 unit mesin sedot pasir dari beberapa kelompok penambang yang saat ini beroperasi di Sungai Progo wilayah setempat.
Sedangkan yang mengantongi IPR hanya ada tiga kelompok saja, itupun spesifikasi mesinnya sudah melebihi ketentuan.
Adapun truk-truk pengangkut pasir yang melintas di jalan yang kini rusak disebutnya mengambil pasir dari kelompok penambang itu.
Pihaknya meminta pemerintah memasang portal jalan di ruas tersebut agar tidak ada truk yang melintas.
Kerusakan jalan itu sudah berlangsung lama dan sejauh ini tiak ada upaya pengendalian dari pemerintah serta tidak ada perbaikan.
• Warga Sebut Penambang Pasir Kali Boyong Sleman Kebanyakan Berasal dari Luar DIY
"Kalau tidak diportal, mereka akan terus melintas dan jalan semakin rusak. Ada kesan pembiaran oleh pemerintah sehingga tidak ada upaya perbaikan jalan. Setelah kami menurunkan massa baru direspon. Kami minta ini ditinjau ulang,"kata Agung.
Camat Galur, Latnyana mengatakan pihaknya sudah mengusulkan kepada pemerintah provinsi untuk menertibkan penambang ilegal mengingat aktivitas pertambangan kini menjadi wewenang Pemerintah DIY.
Demikian juga soal hilir mudik armada angkut pasir yang melewati jalan kabupaten tersebut.
Ia sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) untuk menangani jalan yang rusak dan diharapkan bisa segera ada tindakan.
Menurutnya, jalan yang saat ini rusak sebetulnya bukan jalur armada pertambangan.
Jalur khusus yang diperuntukkan justru ada di sisi utara, sekitar Balai Desa Banaran dan berstatus jalan kabupaten.
Ini menurutnya sudah menjadi kesepakatan dengan DPU ESDM DIY.
Hanya saja, truk pengangkut pasir lebih sering melalui jalur jalan di wilayah Pedukuhan Bleberan dan Sawahan untuk memangkas jarak.
"Seharusnya tidak lewat sini melainkan lewat bawah (jalur di badan sungai) lalu masuk ke jalan yang sudah ditentukan. Kami tidak punya kewenangan apa-apa terkait ini namun sudah kami sampaikan ke pemerintah provinsi," kata Latnyana.
Pendapat lain dikemukakan Kelompok Penambang Progo (KPP) yang menaungi para penambang pasir dengan lisensi IPR di aliran Sungai Progo dari Sleman, Kulon Progo, hingga Bantul.
Termasuk, para penambang pasir dengan mesin sedot.
Organisasi ini menilai protes yang diajukan warga Banaran terlalu menyudutkan para penambang IPR dan sarat kepentingan tertentu.
Padahal, izin penambangan yang saat ini beroperasi di wilayah Galur bukan hanya IPR melainkan juga Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan ini dimiliki beberapa perusahaan tambang.
"Di sini sudah lebih dulu ada WIUP ketimbang IPR. Tidak fair kalau kesalahan hanya ditimpakan ke penambang IPR karena kami belum ada setahun beroperasi dan jalan itu bukan hanya kami yang melewati. Yang saya khawatirkan, aksi ini tidak murni melainkan ditumpangi kepentingan bisnis tertentu," jelas Ketua KPP, Yunianto.
Ia menegaskan bahwa dokumen Upaya Kelola/Pantau Lingkungan (UKL/UPL) sudah dikantongi para penambang IPR sehingga izinnya bisa diterbitkan Pemerintah DIY pada 1 Februari 2019 lalu.
Dokumen ini juga sudah diketahui dan disetujui Dukuh serta Pemerintah Desa setempat.
Terkait dugaan bahwa spesifikasi mesin sedot pasir yang digunakan penambang melanggar aturan, ia meminta masyarakat untuk bisa melaporkannya kepada inspektorat jika memang menemukan.
Yunianto juga menyayangkan aksi warga dengan pengerahan massa itu alih-alih dilakukan langkah dialogis antara warga dengan penambang.
Akibat aksi itu, sektiar 50 unit truk armada angkut pasir dari kelompok IPR maupun WIUP harus tertahan dan tak bisa lewat jalan seperti biasanya.
Padahal, jika warga mau berkomunikasi, harapannya ada solusi bersama yang bisa diambil.
"Paradigma sebagian besar masyarakat, mesin sedot itu identik ilegal dan tidak diperbolehkan. Padahal, pemerintah sudah membuat regulasinya dan mengizonkan. Pompa mekanik di bawah 25 PK boleh dipakai penambang rakyat. Kami berharap permasalahan ini bisa diselesaikan dengan jalan dialog,"kata Yunianto.(TRIBUNJOGJA.COM)
