Sumber Air Asin di Dusun Pablengan, Ungkap Jejak Nyata Laut Purba 2,4 Juta Tahun Lalu di Sangiran

Warga setempat menyebutnya garam bleng. Nama Dusun Pablengan pun diduga kuat secara turun temurun berasal dari istilag bleng tersebut.

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumargo
Titik sumber air asin di Dusun Pablengan, Desa Krikilan, Kec Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Sumber air asin ini berada di kawasan purba Sangiran. 

Suprapto (65), warga Dusun Pablengan, menambahkan, setelah muncul garam yodium dan buatan pabrik di pasaran, warga sudah tak ada lagi yang memproses jadi garam bleng.

“Paling diambil untuk campuran minum ternak,” kata Suprapto, yang rumahnya persis di sebelah utara, berjarak sekitar 100 meter dari sumber air asin Pablengan.

“Ada juga warga daerah lain yang datang, ambil airnya pakai botol, lalu dibawa pulang. Tidak tahu buat apa,” lanjutnya.

Menurut ahli prasejarah dan pakar homo erectus Sangiran, Prof Dr Harry Widianto, kawasan Sangiran purba di lembah Bengawan Solo pada masa 2,4 juta tahun lalu sepenuhnya berupa lautan.

Sejak lebih kurang 2 juta tahun lalu, mulai mengalami perubahan lingkungan yang ekstrem. Dari lautan menjadi rawa-rawa.

Titik sumber air asin di Dusun Pablengan, Desa Krikilan, Kec Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Sumber air asin ini berada di kawasan purba Sangiran.
Titik sumber air asin di Dusun Pablengan, Desa Krikilan, Kec Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Sumber air asin ini berada di kawasan purba Sangiran. (TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumargo)

Lalu sepenuhnya menjadi daratan hingga saat ini. Ketika menjadi daratan, Sangiran pernah memiliki bentuk berupa hutan terbuka yang subur yang kemudian berubah lagi menjadi hutan yang kering kerontang.

Ketika masih berupa lautan, berbagai fauna laut hidup dan berseliweran di Sangiran. Dari ikan hiu, penyu, berbagai macam siput dan kerang mendiami laut Sangiran.

Jejak vertebrata atau fauna laut banyak berserakan di berbagai lokasi di Kecamatan Kalijambe ini. Sesudah 1,5 juta tahun berlalu, seiring pergerakan lempeng benua, lingkungan Sangiran berubah.

Muka air laut turun, dan aktivitas gunung berapi Lawu, Merapi, dan Merbabu menjadikan Sangiran mengalami sedimentasi secara berlapis, dan menjadi daratan sepenuhnya sejak 900.000 tahun lalu.

Menurut Harry Widianto, saat ini Sangiran merupakan kubah raksasa yang tererosi bagian puncaknya sehingga menghasilkan cekungan raksasa di pusat kubahnya.

Materialnya berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio vulkanik yang menyebabkan tanah setempat tidak subur dan sangat gersang di musim kemarau.

Endapan fluvio vulkanik paling banyak berasal dari letusan Gunung Lawu yang berlangsung antara 200.000 hingga 700.000 tahun lalu.

Di lapisan inilah paling banyak ditemukan fosil-fosil homo erectus Sangiran, yang dulu pernah kondang disebut Pithecantropus erectus.

Nah, lalu bagaiana sisa air laut dari masa 2,4 juta tahun lalu itu masih ada dan bahkan muncul ke permukaan di Dusun Pablengan?

Harry Widianto menduga air asin itu merupakan sisa air laut yang terjebak ketika terjadi pelipatan lapisan bumi.

Mungkin karena volumenya cukup besar, sisa air laut yang tidak mengalir ke tempat yang lebih rendah itu masih ada hingga saat ini.

Dengan begitu, seiring perjalanan waktu, kemungkinan air asin itu akan habis dan mengering. Kapan terjadinya, Ia tidak bisa memperkirakan.(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved