Sumber Air Asin di Dusun Pablengan, Ungkap Jejak Nyata Laut Purba 2,4 Juta Tahun Lalu di Sangiran
Warga setempat menyebutnya garam bleng. Nama Dusun Pablengan pun diduga kuat secara turun temurun berasal dari istilag bleng tersebut.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Sumber Air Asin di Dusun Pablengan, Ungkap Jejak Nyata Laut Purba 2,4 Juta Tahun Lalu di Sangiran
TRIBUNJOGJA.COM, SRAGEN – Situs Sangiran di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, telah dikenal luas di dunia sebagai kawasan purba.
Di berbagai lokasi di kawasan gersang ini, ditemukan bukti-bukti kehidupan masa prasejarah. Titik-titik penemuannya tersebar di radius berkilo-kilometer.
• EKSKLUSIF: Lembah Kali Oya & Sangiran Satu Zaman
Bermacam fosil flora, fauna, dan hominid telah menjadikan Sangiran sebagai sebuah kerajaan besar purba. Adakah bukti hidup kehidupan purba yang tersisa?
Datanglah ke Dusun Pablengan, maka kita akan menemukan jejak hidup kehidupan dari masa purba di sana.
Apa itu?
Ada sumber air asin di tengah tegalan milik desa dan warga.
Setidaknya ada tiga titik sumber air asin yang tidak pernah kering sepanjang musim.
• Zona Gelap Jejak Gempa dan Tsunami Purba Selatan Jawa dan Mitos Nyi Roro Kidul
“Ini sudah sejak nenek buyut saya udah ada,” kata Mbah Sutinah (70), warga Dusun Pablengan beberapa waktu lalu.

Rumah Mbah Sutinah ini hanya sekitar 200 meter saja dari titik-titik sumber air asin Pablengan. “Dulu airnya diambil dan dijadikan sarem (garam),” tambah Mbah Sutinah yang mengantar Tribunjogja.com.
Warga setempat menyebutnya garam bleng. Nama Dusun Pablengan pun diduga kuat secara turun temurun berasal dari istilag bleng tersebut.
Khasanah ini juga ditemui di Kradenan, Grobogan. Di daerah ini terdapat Bleduk Kuwu, semacam kawah gunung lumpur yang mengeluarkan air asin dan diproses menjadi garam bleng.
Sumber air asin serupa juga pernah ditemukan bertahun lalu di Tanon, Sragen. Namun menurut Mas Ganung, eks warga Tanon, sumber air asin itu sudah tertutup.
Letak tegalan Dusun Pablengan yang ada titik-titik sumber air asing, sebetulnya tidak berada di titik terendah di kawasan Sangiran. Letaknya justru di lerengan perbukitan di belakang Balai Desa Krikilan.
Memang letak sumber air asin itu berada di dekat sungai kecil, artinya berada di titik lebih rendah dari permukiman penduduk di sekitarnya.

Di sekurangnya tiga titik sumber air asin, jejak kepurbaan itu masih hidup ditandai kemunculan gelembung-gelembung udara dari perut bumi.
Suprapto (65), warga Dusun Pablengan, menambahkan, setelah muncul garam yodium dan buatan pabrik di pasaran, warga sudah tak ada lagi yang memproses jadi garam bleng.
“Paling diambil untuk campuran minum ternak,” kata Suprapto, yang rumahnya persis di sebelah utara, berjarak sekitar 100 meter dari sumber air asin Pablengan.
“Ada juga warga daerah lain yang datang, ambil airnya pakai botol, lalu dibawa pulang. Tidak tahu buat apa,” lanjutnya.
Menurut ahli prasejarah dan pakar homo erectus Sangiran, Prof Dr Harry Widianto, kawasan Sangiran purba di lembah Bengawan Solo pada masa 2,4 juta tahun lalu sepenuhnya berupa lautan.
Sejak lebih kurang 2 juta tahun lalu, mulai mengalami perubahan lingkungan yang ekstrem. Dari lautan menjadi rawa-rawa.

Lalu sepenuhnya menjadi daratan hingga saat ini. Ketika menjadi daratan, Sangiran pernah memiliki bentuk berupa hutan terbuka yang subur yang kemudian berubah lagi menjadi hutan yang kering kerontang.
Ketika masih berupa lautan, berbagai fauna laut hidup dan berseliweran di Sangiran. Dari ikan hiu, penyu, berbagai macam siput dan kerang mendiami laut Sangiran.
Jejak vertebrata atau fauna laut banyak berserakan di berbagai lokasi di Kecamatan Kalijambe ini. Sesudah 1,5 juta tahun berlalu, seiring pergerakan lempeng benua, lingkungan Sangiran berubah.
Muka air laut turun, dan aktivitas gunung berapi Lawu, Merapi, dan Merbabu menjadikan Sangiran mengalami sedimentasi secara berlapis, dan menjadi daratan sepenuhnya sejak 900.000 tahun lalu.
Menurut Harry Widianto, saat ini Sangiran merupakan kubah raksasa yang tererosi bagian puncaknya sehingga menghasilkan cekungan raksasa di pusat kubahnya.
Materialnya berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio vulkanik yang menyebabkan tanah setempat tidak subur dan sangat gersang di musim kemarau.
Endapan fluvio vulkanik paling banyak berasal dari letusan Gunung Lawu yang berlangsung antara 200.000 hingga 700.000 tahun lalu.
Di lapisan inilah paling banyak ditemukan fosil-fosil homo erectus Sangiran, yang dulu pernah kondang disebut Pithecantropus erectus.
Nah, lalu bagaiana sisa air laut dari masa 2,4 juta tahun lalu itu masih ada dan bahkan muncul ke permukaan di Dusun Pablengan?
Harry Widianto menduga air asin itu merupakan sisa air laut yang terjebak ketika terjadi pelipatan lapisan bumi.
Mungkin karena volumenya cukup besar, sisa air laut yang tidak mengalir ke tempat yang lebih rendah itu masih ada hingga saat ini.
Dengan begitu, seiring perjalanan waktu, kemungkinan air asin itu akan habis dan mengering. Kapan terjadinya, Ia tidak bisa memperkirakan.(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)