Bantul

Cerita dari Balik 'Gunung' Sampah TPST Piyungan

Terhitung sudah hampir lima hari, TPST Piyungan, tempat pembuangan sampah yang dibangun sejak tahun 1995 itu diblokade oleh warga.

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Hari Susmayanti
Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin
Gunungan sampah di TPST Piyungan 

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Maryono, warga terdampak dari pembuangan sampah di TPST Piyungan itu ada lima rukun tetangga (RT).

Baca: Masih Ditutup, Dermaga Pembuangan Sampah di TPST Piyungan Mulai Diurug

"Jumlahnya sekitar 500 kepala keluarga. Itu yang berada di sekeliling TPST Piyungan ini," ucap Maryono, lalu jarinya menunjuk wilayah di sekitar pembuangan sampah yang menurut dia terdampak.

Maryono merupakan ketua komunitas pemulung Makaryo Adi Ngayogyakarto (Mardiko) yang bekerja di TPST Piyungan.

Beberapa hari ini ia menjadi warga yang super sibuk. Maladeni sesi wawancara dari berbagai media. Baik lokal maupun media nasional.

Topiknya terkait penutupan tempat pembuangan sampah. "Sehari kemarin bisa sampai 24 kali panggilan," cerita dia.

"Hari ini sebenarnya saya di rumah. Tapi wartawan nelfon banyak sekali. Saya datang kesini," imbuh dia.

Cerita Maryono memang meyakinkan. Saat berbincang, Ia terpaksa harus menghentikan pembicaraan karena telfon tiba-tiba berbunyi. Ia mengambil handphone dari tempatnya yang ada di pinggang sebelah kanan. "Iya hallo," mereka bercakap-cakap.

Baca: Imbas Penutupan TPST Piyungan, Tumpukan Sampah di Depo Nogotirto Semakin Menggunung

Maryono merupakan juru bicara dari warga yang menuntut adanya perbaikan pengelolaan sampah di TPST Piyungan. Ketika saya singgung terkait perannya menjadi manusia sibuk, Maryono hanya tersenyum.

"Saya sendiri tidak bisa berdiri sendiri. Saya mewakili aspirasi warga setempat," jawab dia diplomatis.

Cerita lain datang dari Mbah Suharjo Suwandi. Ia salah satu warga yang mendukung adanya penutupan dan perbaikan pengelolaan di TPST Piyungan.

Menurut dia, sudah saatnya tempat pembuangan sampah diperbaiki. Karena kondisinya sudah sangat kumuh dan kotor.

Akibat pembuangan kumuh mengundang banyak sekali lalat. Bahkan, kata Suharjo tidak sedikit lalat itu masuk ke rumah-rumah warga. Kondisi ini diperparah dengan bau busuk yang menyengat. "Pernafasan kami terganggu," tutur dia.

Apa yang dikatakan oleh Suharjo benar adanya. Gardu keamanan lingkungan, tempat di mana kami berbincang dihinggapi oleh banyak lalat.

Lalat-lalat itu beterbangan. Hinggap dimana saja, di tanah, di tiang, di kaki bahkan di Kepala. Ia berharap pemerintah bisa lebih peduli dan memberikan dana kompensasi kepada masyarakat. "Untuk uang berobat," ungkap dia. (tribunjogja)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved