Bantul

Cerita dari Balik 'Gunung' Sampah TPST Piyungan

Terhitung sudah hampir lima hari, TPST Piyungan, tempat pembuangan sampah yang dibangun sejak tahun 1995 itu diblokade oleh warga.

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Hari Susmayanti
Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin
Gunungan sampah di TPST Piyungan 

TRIBUNJOGJA.COM - Langit siang itu cerah, ketika sejumlah dump truk di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu [TPST] Piyungan hilir-mudik membawa material tanah bercampur bebatuan.

Mereka sedang bekerja meratakan jalan menuju tempat akhir pembuangan sampah.

Terhitung sudah hampir lima hari, sejak Sabtu sore, tempat pembuangan sampah yang dibangun sejak tahun 1995 itu diblokade oleh warga.

Alasannya sederhana, warga sekitar lokasi pembuangan meminta perhatian dan adanya pengelolaan yang baik atas sampah yang 'menggunung' itu.

Perhatian yang dimaksud oleh mereka adalah perbaikan akses jalan kampung yang kondisinya, saat ini becek, kotor dan bau.

"Anak-anak kalau mau berangkat ke sekolah memakai plastik, kakinya ditutup sampai betis, supaya tidak kotor," kata Wagiman, warga sekitar lokasi pembuangan sampah, Rabu (27/3/2019).

Baca: Sampah di Sleman Menumpuk Imbas Penutupan TPST Piyungan

Meskipun siang itu, Tribunjogja.com tidak melihat anak-anak yang sedang berangkat sekolah. Tetapi apa yang dikatakan oleh Wagiman memang realistis.

Melihat jalan kampung, di sekitar lokasi menuju pembuangan kondisinya memang becek dan berlumpur.

Apalagi kalau hujan, kata Wagiman jalan kampung dipenuhi oleh lumpur bercampur dengan air limbah. "Untuk lewat sangat sulit. Kita lewat pakai sendal. Sendalnya ketinggalan di lumpur. Kalau copot sendal. Kaki bisa gatal-gatal," keluh dia.

Untuk meyakinkan apa yang telah ia katakan, Wagiman segera menunjukkan kedua kakinya. Kaki itu terlihat dipenuhi oleh jamur. Sebagian kulit permukaan kakinya mengelupas. Kata dia, kakinya itu sering gatal karena terkena limbah sampah.

Sebagai tempat pembuangan, TPST Piyungan memang dipenuhi oleh sampah dan limbah cair. Baunya menyengat tajam di hidung.

Baca: TPST Piyungan Tutup Sementara, 13 Depo di Sleman Penuh Tumpukan Sampah

Jarak rumah Wagiman dengan lokasi pembuangan hanya dalam hitungan puluhan meter saja. Kontan, bau busuk dari sampah ini turut masuk ke dalam rumahnya.

"Apalagi kalau pas terang kemudian turun hujan. Bau sekali,"

Sudah lebih dari puluhan tahun, bau itu dirasakan oleh Wagiman dan warga kampung yang bermukim di sekitar lokasi pembuangan sampah terpadu itu.

Namun, kata dia, belum ada perhatian serius dari Pemerintah. "Kalau tidak ditutup, selamanya mungkin tidak ada perhatian," ketus dia.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Maryono, warga terdampak dari pembuangan sampah di TPST Piyungan itu ada lima rukun tetangga (RT).

Baca: Masih Ditutup, Dermaga Pembuangan Sampah di TPST Piyungan Mulai Diurug

"Jumlahnya sekitar 500 kepala keluarga. Itu yang berada di sekeliling TPST Piyungan ini," ucap Maryono, lalu jarinya menunjuk wilayah di sekitar pembuangan sampah yang menurut dia terdampak.

Maryono merupakan ketua komunitas pemulung Makaryo Adi Ngayogyakarto (Mardiko) yang bekerja di TPST Piyungan.

Beberapa hari ini ia menjadi warga yang super sibuk. Maladeni sesi wawancara dari berbagai media. Baik lokal maupun media nasional.

Topiknya terkait penutupan tempat pembuangan sampah. "Sehari kemarin bisa sampai 24 kali panggilan," cerita dia.

"Hari ini sebenarnya saya di rumah. Tapi wartawan nelfon banyak sekali. Saya datang kesini," imbuh dia.

Cerita Maryono memang meyakinkan. Saat berbincang, Ia terpaksa harus menghentikan pembicaraan karena telfon tiba-tiba berbunyi. Ia mengambil handphone dari tempatnya yang ada di pinggang sebelah kanan. "Iya hallo," mereka bercakap-cakap.

Baca: Imbas Penutupan TPST Piyungan, Tumpukan Sampah di Depo Nogotirto Semakin Menggunung

Maryono merupakan juru bicara dari warga yang menuntut adanya perbaikan pengelolaan sampah di TPST Piyungan. Ketika saya singgung terkait perannya menjadi manusia sibuk, Maryono hanya tersenyum.

"Saya sendiri tidak bisa berdiri sendiri. Saya mewakili aspirasi warga setempat," jawab dia diplomatis.

Cerita lain datang dari Mbah Suharjo Suwandi. Ia salah satu warga yang mendukung adanya penutupan dan perbaikan pengelolaan di TPST Piyungan.

Menurut dia, sudah saatnya tempat pembuangan sampah diperbaiki. Karena kondisinya sudah sangat kumuh dan kotor.

Akibat pembuangan kumuh mengundang banyak sekali lalat. Bahkan, kata Suharjo tidak sedikit lalat itu masuk ke rumah-rumah warga. Kondisi ini diperparah dengan bau busuk yang menyengat. "Pernafasan kami terganggu," tutur dia.

Apa yang dikatakan oleh Suharjo benar adanya. Gardu keamanan lingkungan, tempat di mana kami berbincang dihinggapi oleh banyak lalat.

Lalat-lalat itu beterbangan. Hinggap dimana saja, di tanah, di tiang, di kaki bahkan di Kepala. Ia berharap pemerintah bisa lebih peduli dan memberikan dana kompensasi kepada masyarakat. "Untuk uang berobat," ungkap dia. (tribunjogja)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved