Kota Yogyakarta
Warga Kampung Magersari Pasang Pitutur Jawa untuk memberikan Pesan Damai Pemilu
Pitutur Jawa tersebut dibuat untuk mengingatkan masyarakat Yogyakarta tentang nasihat leluhur.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA- Sepintas tak ada yang menarik dari tembok di Jalan KS Tubun, Pathuk, Ngampilan, Yogyakarta. Hanya tembok bercat hitam dan beberapa spanduk-spanduk.
Namun jika dilihat lebih dekat, tulisan-tulisan tersebut merupakan pitutur leluhur dalam bahasa Jawa.
Baca: Pameran Umrah Haji dan Wisata Halal Expo 2018 Diikuti Sebanyak 20 Biro Umrah
Tak hanya tulisan, di bawah tulisan tersebut ada tokoh-tokoh yang mengenakan seragam prajurit Keraton Yogyakarta.
Satu di antaranya bertuliskan Aja Cidra Mundak Cilaka yang berarti jangan berbuat curang agar tidak celaka.
Atau tulisan Nuladha Laku Utama Nyingkira Laku Ala yang berarti mencontoh pada perbuatan yang utama dan yang baik, hindari perbuatan tercela.
Tulisan tersebut merupakan pitutur leluhur yang memiliki makna untuk kebaikan.
Pitutur tersebut digagas oleh warga Kampung Magersari, Dipoyudan, Yogyakarta.
Seorang tokoh budaya Kampung Magersari, Alex Pracahya mengatakan pitutur tersebut dibuat untuk mengingatkan masyarakat Yogyakarta tentang nasihat leluhur.
Ia menjelaskan budaya Jawa memiliki karakter yang halus dalam bertutur kata.
"Pitutur leluhur itu kan karakter orang Jawa. Pitutur itu kata-kata bijak para leluhur yang bisa jadi pegangan hidup. Orang Jawa itu kalau ngomong halus, sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain. Jadi kalau menasehati tidak membuat orang lain terluka," katanya saat ditemui Tribunjogja.com di Kampung Magersari Rabu (17/10/2018).
Ada sekitar 20 pitutur leluhur yang dipasang disepanjang tembok Kampung Magersari.
Ia mengatakan tembok tersebut memang digunakan warga untuk mengasah kreativitas warga.
Sebelumnya tembok tersebut digunakan untuk mural.
"Jadi tembok itu memang untuk kreativitas warga. Karena di Pathuk kan juga daerah yang banyak dikunjungi wisatawan, jadi ya harus dikemas. Kita pernah bikin mural batik lalu wisata Yogyakarta, kita bikin tematik bersama-sama," lanjut bapak berusia 55 tahun itu.
Untuk pitutur Jawa tersebut, Alex mengungkapkan ingin memberikan pesan damai jelang Pemilu 2019 mendatang.
Melalui pitutur yang dipasang di pinggir jalan, warga ingin agar dalam pesta rakyat mendatang tidak terjadi gesekan.
"Ya meskipun tidak langsung merujuk ke Pemilu. Tetapi kami pengen selama proses kampanye hingga nanti Pemilu Yogyakarta tetap aman dan damai, jangan sampai ada gesekan karena beda pendapat. Ya meskipun memang melalui tulisan-tulisan itu tidak akan berdampak besar, tetapi setidaknya sudah ada upaya untuk menjaga," ungkapnya.
Ayah satu anak itu menjelaskan bahwa selain untuk memberikan pesan pada masyarakat yang lewat, tujuan pembuatan pitutur Jawa adalah untuk mengenalkan kembali bahasa Jawa melalui pitutur.
Apalagi Kampung Magersari merupakan kampung yang memiliki surat kekancingan dari Keraton.
Sehingga berkewajiban untuk selalu menjaga tradisi.
Ada sekitar 40 rumah pemegang kekancingan.
Baca: FKKMK UGM untuk Pertama Kali Jadi Tuan Rumah IMO
Warga bahu membahu untuk terus melestarikan budaya dengan membuat kegiatan-kegiatan yang berbau budaya.
"Dulu kampung ini jadi pelopor TPS yang nJawani. Petugas menggunakan pakaian adat. Nanti selagi penghitungan suara, warga juga disuguhi tari-tarian Jawa, sekitar tahun 2004. Termasuk dengan pitutur itu ya upaya untuk menjaga tradisi yang juga jadi kewajiban warga. Kami sudah diberi surat kekancingan dari Keraton, jadi ya tanggungjawab kami jaga budaya,"jelasnya.
Ia pun berharap langkah-langkah kecil yang dilakukan oleh Kampung Magersari bisa ditiru oleh kampung lain. (*)