Kisah Inspiratif

Sungguh Mulia, Pasutri Mendirikan Sekolah Gratis Untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Ia pun mengorbankan ruang tamu rumahnya untuk tempat belajar ini, karena memang tidak mampu memiliki ataupun menyewa gedung

Editor: Mona Kriesdinar
SURYA/GALIH LINTARTIKA
Umar, pendiri SLB untuk anak berkebutuhan khusus di Pasuruan 

TRIBUNJOGJA.com, PASURUAN - Pagi itu, hari tampak cerah. Sinar matahari pun memancar sangat sempurna. Puluhan anak-anak terlihat melangkah menuju sekolahnya.

Sekumpulan siswa tampak berpisah dengan temannya. Ternyata, sekumpulan anak itu masuk ke dalam SLB Bhineka, yang terletak di Kelurahan Glanggang, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan.

Secara sepintas, kondisi fisik mereka tidak ada yang berbeda, namun ternyata mereka adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Sekolah itu berdiri berkat perjuangan dan kegigihan pasangan suami istri (pasutri) Umar (52) dan Salma (30).

Mereka adalah pasangan yang kompak karena memiliki jalan pemikiran yang sama, yakni mendirikan sekolah khusus ABK di Pasuruan. Keinginan pasangan ini pun tak mudah diwujudkan karena butuh kerja keras untuk bisa mencapai tahap seperti ini.

Harian Surya berkesempatan berkunjung ke sekolah yang berdiri sejak tahun 1996 ini. Suasana sekolah ABK ini tampak seperti sekolah pada umumnya, tidak ada yang istimewa.

Namun, kisah pasutri sangat luar biasa. Banyak manis pahitnya perjuangan yang mereka alami dalam membangun sekolah ini.

Mereka membangunnya secara mandiri, karena sempat kesulitan mendapatkan donator atau penyangga dana.

Kepada Surya, Umar mengaku alasan terkuat membangun sekolah ini karena panggilan hati. Ia mengaku sangat miris melihat ABK di sekitar lingkungan rumah istrinya yang tidak terawat dan tidak terpikirkan masa depannya.

Kala itu, ia pun merasa sangat iba dan ingin membuat sesuatu yang bisa bermanfaat untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus itu.

“Saya ingin mengakomodasi pendidikan anak-anak yang memiliki keterbatasan, agar haknya memperoleh pendidikan itu terpenuhi,” katanya.

Ia menceritakan, perjalanan mengurus pendidikan anak-anak dibawah keterbatasan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dia mengakui dibutuhkan perjuangan ekstra, karena bukan hanya tenaga semata tetapi juga harta. Meski demikian, ia dan istrinya pun tak patah semangat.

“Justru cobaan itu kami jadikan sebagai pelecut untuk lebih bersemangat dalam menyelesaikan permasalahan dan rintangan,” kata pria alumni SGPLB Surabaya tahun 1986 itu.

Lulus kuliah, pria yang tinggal di Desa Tambakan, Kecamatan Bangil ini sempat mengajar di SLB Probolinggo. Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena paska menikah dengan istrinya ini, ia memutuskan berhenti bekerja jadi guru.

Halaman
12
Sumber: Surya
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved