Kisah Inspiratif

Sungguh Mulia, Pasutri Mendirikan Sekolah Gratis Untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Ia pun mengorbankan ruang tamu rumahnya untuk tempat belajar ini, karena memang tidak mampu memiliki ataupun menyewa gedung

Editor: Mona Kriesdinar
SURYA/GALIH LINTARTIKA
Umar, pendiri SLB untuk anak berkebutuhan khusus di Pasuruan 

Alasannya sederhana, karena rumah istrinya di Pasuruan, dan pekerjaannya di Probolinggo. “Saya capek bolak-balik setiap hari. Saya memutuskan untuk berhenti saja, dan mencoba peruntungan sebagai perajin perak,” ucapnya.

Menjadi perajin perak, kata Umar ini tidak mudah. Akhirnya ia pun memilih berhenti menjadi perajin perak karena tidak bisa bersaing dengan perajin perak lainnya.

Dia melihat ABK menjadi gelandangan, pengemis, dan hidup di jalanan. Ia pun bertekad memberikan wadah bagi mereka untuk belajar.

“Bekal saya dulu hanya nekat saja. Saya saja tidak punya apa-apa, selain ilmu yang saya timba dari kuliah dan pengalaman sewaktu saya mengajar di SLB Probolinggo,” ungkapnya.

Ia pun memutuskan untuk mendirikan SLB pada 1991 silam. Awalnya, ia membangun SLB bersama rekannya, di wilayah Bangil.

Namun, di tengah perjalanan, ada perbedaaan prinsip dirinya dengan rekannya tersebut. Ia pun memilih untuk mundur.

“Buat apa saya bertahan, kalau kita memang sudah beda prinsip. Saya lebih baik mundur saja dari sekolah yang sudah saya rintis dengan teman sejak empat tahun yang lalu,” sambung Umar.

Tahun 1995, bapak dua anak ini pun kembali nekat dan merintis SLB sendiri. Satu-persatu ABK ditampungnya dan diberikan pelajaran secara pelan-pelan.

Kala itu, ia pun mengorbankan ruang tamu rumahnya untuk tempat belajar ini, karena memang tidak mampu memiliki ataupun menyewa gedung.

“Saya sempat dibuat bingung, saat murid bertambah banyak tapi ruang kelas tetap. Aduh, kalau saya paksakan di rumah tidak cukup, tapi ia pun takut menolak siswa yang mau belajar kasihan mental dan kondisi psikisnya,” sebutnya.

Saat itulah, ia pun mulai memberanikan diri untuk meminta bantuan. Ia pun mencari dukungan ke pihak Kelurahan Glanggang. Beruntung waktu itu, ada gedung TK yang tidak digunakan dan dimanfaatkan. Gedung TK yang dulunya tak terpakai itupun dimanfaatkannya untuk mengajar.

“Aktivitas belajar-mengajar saya lakukan pagi hari. Karena siang harinya saya bekerja. Pekerjaannya serabutan, pokoknya bisa menghasilkan uang,” jelasnya.

Hasil dari bekerja, kata dia, digunakan untuk biaya operasional sekolah, dan sebagian untuk biaya makan dan kebutuhan anak, istrinya. (*)

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved