KPK Tangkap Ketua MK

Akil Seret Mahfud ke Kasusnya

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menyatakan tak terima jadi bahan cemohan terkait perkara yang menyeretnya ke pengadilan.

Editor: tea
Tribunnews/DANY PERMANA
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bersaksi dalam sidang terdakwa Chairunnisa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (30/1/2014). 

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA  - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menyatakan tak terima jadi bahan cemohan banyak orang terkait perkara yang menyeretnya ke pengadilan. Akil pun menuding para komentator telah merusak wibawa peradilan.
"Demikian juga komentar komentar dari para pengamat bodong sampai bakal calon presiden yang sudah mengkhayal untuk menjadi presiden di republik ini," ujar Akil membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/2/2014).

Dia juga menyindir seseorang yang bergelar profesor bidang hukum yang menurutnya tidak mengerti perkara yang didakwakan. "Tapi berbicara asal bunyi dengan memanfaatkan kasus saya untuk pencitraan diri seolah-olah dirinyalah yang paling benar," sambung Akil.
Arah sindiran Akil ini diduga diarahkan ke Prof Dr Moh Mahfud MD, mantan Ketua MK yang digantikannya. Akil juga mempertanyakan mengapa dalam kasus sengketa Pemilukada Banten, dirinya disangkutpautkan.

Mengapa nama Mahfud MD sebagai Ketua Majelis MK yang memeriksa sengketa Pilgub Banten tak pernah disebut dalam dakwaan jaksa KPK. Akil didakwa menerima uang Rp 7,5 miliar terkait "pemenangan" duet Ratu Atut-Rano Karno yang masuk MK.
"Faktanya dalam Pilkada Banten, saya bukan ketua maupun anggota panel hakim MK yang mengadili perkara tersebut, melainkan Mahfud MD. Sehingga tidak logis dan tidak ada relevansinya transfer ke CV Ratu Samagat dengan permohonan perkara Pilkada Banten di MK," kata Akil. "Aneh bagi saya, di semua uraian penuntut umum menyebutkan susunan hakim panel di mana saya sebagai ketua atau bukan ketua. Khusus Pilkada Banten, penuntut umum dengan sengaja tidak berani menyebut ketua hakim panel adalah Mahfud MD. Ada apa gerangan?" tanya Akil.

Terima setoran
Dalam kasus dugaan suap Pilkada Banten, Akil didakwa mendapat jatah dan setoran dari Tubagus Chaery Wardhana alias Wawan, adik Ratu Atut.
Politikus Partai Golkar itu menilai tak ada penjelasan hubungan antara dirinya dan nama-nama anak buah Wawan yang transfer uang ke CV Ratu Samagat, perusahaan yang dikelola istrinya.
Pada Pilkada Banten 2011 lalu, KPU Banten menetapkan pasangan Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Namun kemenangan Atut dan Rano digugat ke MK. Permohonan gugatan ke MK diajukan oleh ketiga pasangan lain yang kalah.
Wawan kemudian menghubungi Akil, meminta agar Atut dimenangkan. Wawan menjanjikan uang miliaran rupiah itu untuk Akil. Selanjutnya, Wawan melakukan beberapa kali transfer ke rekening atas nama CV Ratu Samagat yang dipimpin istri Akil, Ratu Rita.
Tapi tranfer tidak dilakukan langsung Wawan melainkan beberapa bawahan suami Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany. Pada 31 Oktober 2011, uang Rp 750 juta ditranfers ke CV Ratu Samagat.
Uang itu disetor oleh Ahmad Faid Asyari. Dalam slip transfer ditulis uang itu sebagai ' Biaya Transportasi dan Sewa Alat Berat'. Ahmad Faid kembali mengirim uang ke perusahaan Akil pada 1 November 2011. Uang sebesar Rp 250 juta ditulis sebagai 'Biaya Transportasi dan Alat Berat.
Selanjutnya, Wawan menyuruh orang kepercayaannya, Yayah Rodiah untuk kembali mengirim uang ke perusahaan Akil. Yayah mengirim uang sebesar Rp 2 miliar pada 17 November 2011, kali ini di slip setoran ditulis 'Pembayaran Bibit Kelapa Sawit'.
18 November 2011, anak buah Wawan, Agah Mochamad Noor mengirim uang Rp 3 miliar dengan menuliskan 'Untuk Pembelian Bibit Kelapa Sawit' . Di hari yang sama, Asep Bardan mentransfer uang Rp 1,5 miliar ke rekening CV Ratu Samagat dengan menuliskan ' Untuk Pembelian Alat Berat'.

Mengeluh
Karena itu dalam eksepsinya, Akil Mochtar mempertanyakan sangkaan penerimaan gratifikasi yakni Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tipikor yang hilang di surat dakwaan. Padahal Akil mengaku diperiksa dengan sangkaan tersebut.
Akil juga mempertanyakan dakwaan penerimaan hadiah atau janji terkait sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang, Palembang, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah, Jawa Timur dan beberapa kabupaten di provinsi Papua.
"Tanpa memeriksa saya sebagai tersangka berkaitan dengan Pilkada-pilkada tersebut," protesnya. Karena itu Akil mengeluhkan perlakuan KPK terhadap dirinya, termasuk menuding ada penyimpangan proses penyidikan terhadapnya.
"Maka pernyataan pimpinan KPK yang menyatakan surat dakwaan adalah kejutan untuk Akil serta kejutan-kejutan sebagaimana yang saya sampaikan di atas menunjukkan bahwa sejak semula saya sudah diskenariokan untuk dijadikan sebagai penjahat," kata Akil.

Skenario ini tampak jelas ketika jaksa KPK mendakwa dirinya melakukan pencucian uang ketika menjabat anggota DPR tahun 1999. Dia menyebut dakwaan jaksa disusun dengan tidak berdasar.
"Sangkaan dan dakwaan yang alasannya dicari-cari sedemikian rupa untuk memojokan dna menggambarkan bahwa saya selama memangku jabatan tersebut telah terus menerus melakukan berbagai kejahatan yang sesungguhnya hal tersebut merupakan fitnah yang kejam serta menzalimi saya,"tuturnya.

Akil didakwa menerima duit suap Rp 57,78 miliar plus USD 500 ribu dan total pencucian uang Rp 161 miliar. Dia didakwa menerima hadiah atau janji dalam penanganan 15 sengketa Pilkada di Indonesia sejak masih hakim MK hinga kemudian jadi Ketua MK.(Tribunnews/fir)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved