Internasional
Nekat Temui Suku Pedalaman yang Tak Segan Bunuh Orang Asing, Pria asal AS Ini Dilaporkan Tewas
Adapun keluarga Chau dalam unggahan Instagram mengungkapkan dia sebagai pribadi yang menyenangkan dan sayang kepada keluarganya.
TRIBUNJOGJA.COM, PORT BLAIR - John Allen Chau membawa hadiah seperti bola sepak dan ikan saat pertama kali tiba di Pulau Sentinel Utara di Kepulauan Andaman, India.
Turis Amerika Serikat ( AS) ini tertarik berinteraksi dengan Suku Sentinel, salah satu suku pedalaman yang disebut paling berbahaya di dunia.
Dia sempat berusaha masuk ke pulau pada 15 November namun gagal.
Karena itu, dia berniat kembali dengan persiapan lebih matang.
Baca: Fenomena Begpackers - Makin Banyak Turis Asing jadi Pengemis Demi Keliling Dunia
AP via Hindustan Times mewartakan Kamis (22/11/2018), Chau kembali lagi pada 16 November setelah menawarkan uang kepada nelayan lokal.
Kali ini usahanya berhasil.
Setelah itu kejadian tidak diketahui hingga pagi hari berikutnya (17/11/2018) nelayan lokal menyaksikan pemandangan mengerikan.
Mereka melihat Suku Sentinel yang dikenal masih menganut kebudayaan prasejarah berburu dan meramu itu menggotong tubuh Chau sepanjang pantai.
Pria 27 tahun tersebut dilaporkan tewas dipanah suku tersebut.
Namun penyebab pastinya belum diketahui karena jenazahnya masih di Sentinel Utara.
Direktur Jenderal Kepolisian India di Kepulauan Andaman dan Nicobar Dependera Pathak berkata, pihaknya menahan tujuh nelayan yang dianggap membantu Chau.
Dia berkata, Chau memberikan uang 325 dollar, sekitar Rp 4,7 juta, kepada nelayan itu untuk membantunya mendekat ke Sentinel Utara, di mana dia melanjutkan sisa perjalanan dengan kayak.
Pathak juga mengatakan pemerintah bakal bekerja sama dengan antropolog untuk mendapatkan kembali jenazah Chau dari pulau.
Mat Staver, pendiri dan chairman Covenant Journey berkata, sejak kecil Chau sudah berkeinginan untuk menyebarkan agama kepada Sentinel.
"Dia ke sana tidak sekadar bertualang. Saya tidak mempunyai keraguan bahwa dia di sana untuk menyebarkan agama," kata Staver.