Pemberian Pelayanan oleh Negara kepada Penghayat Kepercayaan Dirasa Kurang Maksimal
Berbagai kendala dan keambiguan, baik ditingkat pusat maupun pemerintah daerah masih banyak yang perlu diselesaikan.
Laporan Calon Reporter Tribun Jogja – Siti Umaiyah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Pasca dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PPU-XIV/2016 pada tanggal 7 November 2017 berkaitan dengan pemberian pelayanan terhadap warga negara penghayat kepercayaan, dirasa masih kurang maksimal dalam penerapannya.
Berbagai kendala dan keambiguan, baik ditingkat pusat maupun pemerintah daerah masih banyak yang perlu diselesaikan.
Hal tersebut disampaikan oleh Sandra Hamid dari The Asia Foundation dalam diskusi publik yang dilangsungkan di Fakultas Hukum UGM.
Diskusi yang diadakan oleh Satunama ini, mengambil tema Menakar Masa Depan Status Kewarganegaraan Penghayat Kepercayaan, Selasa, (27/2/2018).
Tiga narasumber utama dihadirkan dalam diskusi ini, diantaranya Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Rikardo Simarmata Dosen Fakultas Hukum UGM, serta Harjo Sudaryono selaku Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.
Baca: Soal Penghayat Kepercayaan, Dindukcapil Kota Magelang Masih Tunggu Surat Edaran dari Kemendagri
Mu’ti mengatakan dengan ditetapkannya putusan ini, terdapat tiga perbedaan respon publik.
Diantaranya ada kelompok yang mendukung, kelompok yang menentang, serta kelompok yang menerima dengan syarat.
Ketiga kelompok ini memiliki pertimbangan-pertimbangan tersendiri.
Di antaranya, kelompok yang mendukung memiliki pendapat bahwa penghayat kepercayaan memiliki status dan kedudukan yang sama dengan penganut agama.
Maka sudah seharusnya status identitas penghayat kepercayaan juga ditulis dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan yang lainnya.
“Menurut kelompok ini, penghayat kepercayaan juga memiliki hak sipil yang sama sebagai warga negara. Ada ibu-ibu yang sudah 63 tahun menikah, namun baru dapat akta nikah setelah putusan ini. Terdapat pula ibu yang memiliki anak, sudah 4 kali mencoba masuk TNI namun selalu gagal. Mereka terkendala dengan adanya kolom agama,” ungkapnya.
Baca: Penghayat Kepercayaan di Magelang Berharap Tak Ada Lagi Diskriminasi
Sedangkan kelompok yang menentang menurut Mu’ti, mereka berpendapat bahwa tidak bolehnya penyetaraan penghayat kepercayaan karena dianggap bukan sebagai agama.
