Pemberian Pelayanan oleh Negara kepada Penghayat Kepercayaan Dirasa Kurang Maksimal

Berbagai kendala dan keambiguan, baik ditingkat pusat maupun pemerintah daerah masih banyak yang perlu diselesaikan.

Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Siti Umaiyah
Diskusi publik "Menakar Masa Depan Status Kewarganegaraan Penghayat Kepercayaan di Fakultas Hukum UGM, Selasa (27/2/2018). 

Mereka menganggap penghayat kepercayaan sesat dan merusak agama.

“Sedangkan untuk kelompok yang menerima dengan catatan, mereka menganggap putusan MK itu final, namun masih banyak yang harus dipikirkan lagi mengenai kerancuan dalam hal teknis,” terang Mu’ti

Oleh karenanya, Mu’ti menilai masih banyak yang perlu diselesaikan pasca putusan tersebut, di antaranya persoalan internal diantara kelompok penghayat kepercayaan, harus adanya dorongan oleh negara mengenai definisi agama, serta tidak memaksakan kehendak dan bersikap konfrontatif dengan tokoh, ormas, dan membangun komunikasi dengan berbagai pihak.

Sedangkan Rikardo, yang juga dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodiegoeno, FH UGM mengatakan jika masih banyaknya kendala sistem hukum dalam implementasi Putusan MK 97.

Yakni adanya kendala internal dan eksternal.

Baca: Jelang Batas Akhir Registrasi Kartu SIM Prabayar, Warga Padati Kantor Disdukcapil Sleman

Kendala-kendala internal tersebut diantaranya dalam aspek administrasi pembuatan peraturan pelaksana, harmoni disharmoni antara Putusan MK dengan perundang-undangan tinggi maupun yang sederajat, serta ketersediaannya lembaga yang melaksanakan Putusan MK 97.

“Untuk kendala eksternal yakni sangat terbatasnya kemampuan sumber daya pemerintah dalam pelaksanaannya. Selain itu juga adanya pengaruh budaya hukum yang membentuk pemahaman masyarakat atas Putusan MK 97,” ungkap Rikardo.

Sedangkan Harjo, mengatakan terdapat dua jenis penghayat kepercayaan.

Ada yang menyatakan bahwa dirinya penghayat murni.

Namun, banyak juga penghayat yang menganut salah satu agama resmi.

“Untuk penghayat yang menganut agama resmi, dalam sikap dan kesehariannya terutama dalam laku batinnya adalah menjalankan proses diri dalam penghayatan terhadap Tuhan yang Maha Esa, dan dalam pergaulan bermasyarakatnya menjalankannya syariat agama,” ungkapnya.

Harjo juga mengatakan bahwa antara penghayat murni dan penghayat beragama walaupun ada perbedaan pemahaman, namun keduanya tetap dalam kerukunan sesama penghayat kepercayaan.

“Mereka sepakat untuk mempertahankan nilai kearifan lokal sebagai pondasi pembangunan budi luhur dan tetap dalam kebersamaan,” terang Harjo (TRIBUNJOGJA.COM).

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved