Arah Baru Pertahanan Indonesia: Dari Airbus, Blank Spot hingga Telepon Prabowo

Strategi defensif aktif Indonesia di bawah Prabowo Subianto menata ulang kekuatan militer untuk menjaga kedaulatan ekonomi, menutup blank spot wilayah

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
Wartawan Tribunnews.com/Dahlan Dahi
MENTERI PERTAHANAN - Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin memberikan penjelasan kepada pemimpin redaksi dan wartawan senior di dalam pesawat Airbus A400m dalam penerbangan perdana dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (16/11/2025). 

 

Ringkasan Berita:Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto menjalankan strategi defensif aktif melalui pembelian alutsista canggih, pembangunan batalion di seluruh daerah, dan penguatan radar serta drone untuk menutup blank spot wilayah.
 
Strategi pertahanan diarahkan untuk menjaga kedaulatan ekonomi, termasuk mencegah penyelundupan sumber daya alam seperti timah dan nikel di wilayah rawan seperti Bangka dan Morowali.

 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dahlan Dahi

Tribunjogja.com --- Meski pernah meliput Perang Irak selama tiga bulan pada 2003, saya bukan wartawan militer, dunia militer tetap terasa asing. Namun, ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mulai membeli pesawat tempur dari Prancis, Turki, dan Tiongkok, pertanyaan besar pun muncul:

Ke mana arah militer Indonesia sebenarnya?

Pertanyaan itu membawa saya ke sebuah pagi yang tidak biasa, Minggu, 16 November 2025. Di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, saya dan sembilan pemimpin redaksi serta wartawan senior lainnya diundang untuk menyaksikan penerbangan perdana Airbus A400M, pesawat angkut militer terbaru milik Indonesia.

Tepat pukul 05.30, udara masih segar ketika Sjafrie Sjamsoeddin menyambut kami satu per satu. Ia mengenakan jaket hitam, tersenyum ramah, dan didampingi dua jenderal aktif: Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen M. Saleh Mustafa.

Sjafrie bukan nama baru. Sejak 1990-an, ia telah menjadi figur penting dalam dunia militer Indonesia. Kini, di usia 73 tahun, ia menjabat sebagai pembantu utama Prabowo di bidang pertahanan. Pensiun dengan pangkat letnan jenderal, ia menerima gelar jenderal kehormatan dari sahabat lamanya itu. Di balik layar, Sjafrie dipercaya memimpin reformasi militer Indonesia, termasuk dalam pengadaan alutsista.

Anggaran pertahanan Indonesia tahun 2025 melonjak drastis menjadi Rp 245,2 triliun—kenaikan tertinggi sepanjang sejarah. Sebagian besar dialokasikan untuk modernisasi alat utama sistem senjata.

Airbus A400M yang akan kami naiki pagi itu berbadan gemuk, berbaling-baling, dan mengingatkan pada Hercules C130 buatan Amerika Serikat. Namun, Airbus buatan Eropa ini mampu mengangkut lebih dari 100 penerjun dan telah dikustomisasi menjadi pesawat VIP militer. Kursi VVIP tempat Sjafrie duduk dilengkapi meja khusus. Pilotnya masih dari Airbus, karena butuh waktu bagi pilot TNI untuk menguasainya, meski pelatihan telah dimulai.

Perubahan arah ini bukan hanya soal pesawat angkut. Indonesia juga memperkuat armada tempurnya dengan Dassault Rafale dari Prancis (42 unit, mulai tiba awal 2026), J-10C dari Tiongkok, dan KAAN, pesawat siluman dari Turki. Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang memperluas jejaring pertahanan, tak lagi terpaku pada satu negara.

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto baru saja menandatangani kontrak pemesanan dua pesawat Airbus A400M yang memiliki konfigurasi multi-peran tanker dan angkut.
Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto baru saja menandatangani kontrak pemesanan dua pesawat Airbus A400M yang memiliki konfigurasi multi-peran tanker dan angkut. (Airbus via kompas)

Namun, modernisasi alutsista bukan sekadar soal jumlah dan merek. Sjafrie mengajak kami melihat tantangan geografis Indonesia: 17 ribu pulau, luas wilayah 7,7 juta km⊃2;, dengan 5,8 juta km⊃2; di antaranya adalah laut. Ia mengibaratkan Indonesia seperti rumah raksasa tanpa satpam dan CCTV. Banyak ruang gelap, banyak blank spot.

Selat Malaka menjadi titik strategis. Sekitar 25–30 persen perdagangan dunia dan 60–70 persen pasokan energi ke Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok melewati celah laut ini. Jika ditutup, rute pelayaran harus memutar jauh, seperti saat Laut Merah bermasalah. Efisiensi waktu dan biaya pun terganggu.

Di udara, tantangan serupa muncul. Radar nasional belum mampu menjangkau seluruh wilayah. Jika pesawat hilang di blank spot, jejaknya lenyap. Jika pesawat asing melintas, kita mungkin tak tahu, apalagi mencegah.

Sjafrie pernah mendapat pertanyaan dari pemerintahan Donald Trump: "Dalam situasi darurat, bisakah pesawat AS melintasi wilayah Indonesia?" Ia menjawab diplomatis, "Harus tanya Presiden." Dan jawaban Prabowo pun lugas: "Lewat saja belum tentu kita tahu. Apalagi bisa mencegahnya."

Pagi itu, di dalam Airbus A400M yang melaju menuju Lanud Iskandar Muda di Aceh, saya mulai memahami: Indonesia sedang membangun bukan hanya kekuatan, tetapi juga kesadaran akan ruang yang selama ini gelap. Modernisasi militer bukan sekadar persiapan perang, melainkan upaya untuk menjaga rumah besar bernama Indonesia.

Hasil Perhitungan Terbaru, Nilai Kerugian Kasus Dugaan Korupsi Timah Tembus Rp 300 T

Strategi Selimut Udara: Menjaga Langit, Menjaga Negeri

Tujuh jam bersama Sjafrie Sjamsoeddin membuka mata saya tentang arah baru Indonesia. Di balik senyum tenangnya, tersimpan keyakinan bahwa negeri ini sedang bergerak menuju sesuatu yang besar. Bukan sekadar modernisasi militer, melainkan transformasi menyeluruh atas cara kita menjaga kedaulatan baik teritorial maupun ekonomi.

Indonesia melihat dirinya sebagai bangsa besar, kaya, dan strategis. Namun, kekayaan itu selama ini banyak yang bocor, menguap lewat celah-celah tak terlihat. Blank spot, begitu istilah yang digunakan Sjafrie. Wilayah-wilayah yang tak terjangkau radar, tak terpantau patroli, menjadi jalur gelap bagi penyelundupan dan pelanggaran kedaulatan.

Strategi pertahanan baru telah dirumuskan dan kini tengah dijalankan. Potongan-potongan berita yang selama ini muncul—pembelian pesawat tempur, pembangunan kapal selam tanpa awak, pengembangan industri radar berbasis teknologi Tiongkok, hingga rencana membentuk 514 batalion di seluruh kabupaten dan kota—semua itu adalah bagian dari satu skema besar: strategi defensif aktif.

“Ini bukan strategi ofensif,” tegas Sjafrie. “Kita membangun kekuatan untuk bertahan, melindungi, menjaga. Tapi aktif, tidak pasif.” Artinya, TNI tidak lagi sekadar menjaga barak. Mereka harus bergerak, mengikuti dinamika ancaman, dan mengelolanya secara modern.

Lalu, untuk apa semua ini? Apakah untuk menggertak negara tetangga? Menurut Sjafrie, jawabannya tegas: tidak. Fokus utama strategi ini adalah menjaga kedaulatan ke dalam. “Kalau kita kuat secara militer, kita bisa menjaga kedaulatan ekonomi kita,” ujarnya.

Inilah inti dari filosofi “defence supporting economy” yang menjadi doktrin pertahanan era Prabowo. Pertahanan bukan hanya soal perang, tapi juga soal memastikan sumber daya bangsa tidak dirampas diam-diam. Tujuan akhirnya: kesejahteraan rakyat.

Dua program prioritas Prabowo menjadi sasaran utama: swasembada pangan dan energi. Di sektor energi, kebocoran sumber daya menjadi perhatian serius. Ambil contoh Bangka. Menurut Sjafrie, sejak 1998 hingga 2025, hanya 20 persen timah dari pulau itu yang bisa diselamatkan. Sisanya—sekitar 80 persen—diselundupkan ke luar negeri.

Wilayah laut Bangka adalah blank spot besar. Kapal-kapal penyedot pasir beroperasi bebas, memproses timah di tengah laut, lalu mengirimkannya ke Singapura atau Malaysia. “Bayangkan,” kata Sjafrie, “Singapura tercatat sebagai negara pengekspor nikel ketujuh terbesar di dunia. Padahal, mereka tidak punya sebiji pun nikel.”

Sejak September 2025, TNI mulai mengepung Bangka. Tujuannya jelas: menghentikan penyelundupan. Modernisasi kekuatan menjadi keharusan, karena para penyelundup pun semakin canggih. Nilainya tidak main-main. Jika 20 persen timah yang terselamatkan bernilai Rp1 triliun per tahun, bayangkan potensi yang bisa diraih jika 80 persen sisanya berhasil dicegah.

Hal serupa terjadi di Morowali, Sulawesi. Di sana, nikel diselundupkan lewat jalur udara, bahkan menggunakan pelabuhan udara tanpa imigrasi. Pesawat komersial dan jet khusus menjadi alat penyelundupan. Lubang gelap yang besar, dan TNI kini bersiap menutupnya.

Namun, bagaimana dengan langit Indonesia yang masih penuh blank spot? Sjafrie menyebut konsep “selimut udara” air blanket. “Wilayah kita seluas Eropa. Kita perlu kekuatan udara untuk melindunginya,” ujarnya.

Airbus A400M dan pesawat tempur yang telah dan akan datang adalah bagian dari strategi ini. Tak hanya itu, Indonesia juga tengah mengembangkan drone dalam negeri. Teknologinya sederhana, biayanya murah, sekitar 400 dolar AS per unit, namun bisa diproduksi massal dan efektif secara militer. “Seperti mainan anak-anak,” kata Sjafrie, “tapi bisa sangat berguna.”

Di laut, strategi serupa diterapkan. Untuk menjaga chokepoint seperti Selat Malaka, Indonesia membangun kapal selam tanpa awak (Unmanned Underwater Vehicle/UUV). PT PAL di Surabaya akan menjadi pusat produksinya mulai 2026. Kapal selam ini mampu menyelam hingga enam bulan dan kembali ke permukaan untuk mengisi ulang baterai. Semua celah strategis akan dijaga oleh armada tak kasat mata ini.

Selain Selat Malaka, ada Selat Sunda, Selat Makassar, Selat Lombok, dan Laut Maluku—semuanya penghubung vital antara Samudera Hindia dan Pasifik. Di titik-titik inilah, strategi selimut udara dan laut akan diuji.

Dalam perjalanan panjang itu, saya menyadari: Indonesia sedang menenun ulang jaring pertahanannya. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menjaga rumahnya sendiri. Dan seperti selimut yang melindungi tubuh dari dingin malam, strategi ini dirancang untuk menjaga kehangatan dan ketenangan negeri yang luas ini.

Ketika Telepon Berdering di Lanud Iskandar Muda

Di Lanud Iskandar Muda, Aceh, suasana santai menyelimuti ruang tunggu. Sjafrie Sjamsoeddin tengah berbincang dengan para wartawan, menjawab pertanyaan dengan gaya khasnya yang tenang dan penuh percaya diri. Namun, momen itu seketika berubah ketika seorang ajudan mendekat dan menyerahkan sebuah ponsel.

Sjafrie menerima panggilan itu, menekan tombol speaker, dan suara di seberang langsung dikenali semua yang hadir: Presiden Prabowo Subianto. Percakapan berlangsung sekitar lima menit. Tak banyak yang diucapkan Sjafrie selain, “Siap, Pak. Dilaksanakan,” yang diulang beberapa kali. Ia tetap duduk santai, sesekali tersenyum, seolah percakapan itu adalah bagian rutin dari hari-harinya.

Telepon itu bukan sekadar basa-basi. Prabowo sedang memberi arahan langsung menjelang kunjungan kenegaraan ke Jepang. Hari itu, 17 November 2025, dijadwalkan pertemuan “two plus two” antara pejabat pertahanan dan luar negeri kedua negara. Isu-isu strategis seperti Laut China Selatan, Taiwan, dan Papua menjadi pokok bahasan.

Dari percakapan itu, tergambar jelas posisi Indonesia: menghormati kedaulatan dan urusan dalam negeri semua negara sahabat, termasuk China. Sebuah prinsip yang juga diharapkan berlaku sebaliknya agar negara lain pun menghormati bagaimana Indonesia mengelola isu Papua.

Dalam kerangka strategi defensif aktif, China bukan sekadar mitra dagang, tetapi juga mitra strategis di kawasan, baik di Selat Malaka, Laut China Selatan, maupun dalam percaturan geopolitik global. Pendekatan ini mencerminkan arah baru diplomasi pertahanan Indonesia: tidak lagi berpihak tunggal, melainkan membangun keseimbangan.

Mengapa Indonesia tampak menjauh dari Amerika Serikat? Sjafrie tidak menjelaskan panjang lebar. Namun, ia sempat menyinggung satu pertemuan dengan delegasi AS yang menawarkan pesawat tempur. 

“Ah, hargamu terlalu mahal,” katanya sambil tertawa kecil. Sebuah sindiran ringan, namun sarat makna: Indonesia tak ingin terjebak dalam ketergantungan yang mahal dan sepihak.

Langkah ini bukan sekadar soal harga. Ini tentang cara pandang baru terhadap dunia. Indonesia kini memilih untuk tidak berporos pada satu kekuatan, melainkan membuka banyak jalur, membangun banyak jembatan. Dunia telah berubah, dan Indonesia pun menyesuaikan langkahnya. (*)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved