Ancaman Menteri ESDM pada SPBU Swasta Dinilai Berpotensi Rugikan Iklim Investasi
SPBU swasta menolak dengan alasan bahan bakar dasar (base fuel) milik Pertamina mengandung campuran 3,5 persen etanol.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Ketegangan antara pemerintah dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta kembali mencuat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melontarkan ancaman keras agar SPBU swasta mematuhi aturan pembelian bahan bakar minyak (BBM) dari Pertamina atau hengkang dari Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan Bahlil setelah kesepakatan pembelian BBM antara Pertamina dan SPBU swasta tak kunjung tercapai.
Pemerintah sebelumnya memberikan opsi agar SPBU swasta membeli BBM dari Pertamina seiring diberlakukannya kebijakan impor satu pintu.
Namun, SPBU swasta menolak dengan alasan bahan bakar dasar (base fuel) milik Pertamina mengandung campuran 3,5 persen etanol.
Padahal, di Amerika Serikat dan Eropa, perusahaan besar seperti Shell dan BP justru menjual BBM dengan campuran etanol hingga 10 persen. Karena itu, penolakan SPBU swasta dinilai tidak semata-mata disebabkan faktor teknis, melainkan berkaitan dengan pertimbangan bisnis di baliknya.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, MBA, menilai persoalan ini lebih kompleks dari sekadar soal etanol. Ia menyebut, sebagai entitas bisnis, Pertamina wajar ingin memperoleh margin dari penjualan BBM ke SPBU swasta. Namun, kondisi itu berdampak langsung pada meningkatnya harga pokok penjualan (HPP) BBM bagi SPBU swasta.
Baca juga: Dugaan Kontaminasi Solar pada Pertamax di SPBU Gito Gati Sleman, Ini Hasil Pemeriksaan Pertamina
“Dengan makin tinggi HPP, tentu akan semakin sulit bagi SPBU swasta untuk mendapatkan margin yang layak dan untuk bisa bersaing dengan SPBU Pertamina,” ujarnya.
Dalam situasi demikian, Fahmy menilai ancaman Bahlil agar SPBU swasta hengkang dari Indonesia tidak tepat. Ia mengingatkan bahwa tanpa ancaman pun, sejumlah pemain besar seperti Total dan Petronas telah lebih dulu meninggalkan pasar Indonesia.
“Mereka cukup beralasan, margin penjualan BBM amat kecil dan tidak mampu bersaing dengan SPBU Pertamina yang mengepung SPBU swasta,” katanya.
Fahmy menegaskan, jika ancaman tersebut benar-benar menyebabkan SPBU swasta hengkang dari Indonesia, dampaknya bisa serius terhadap kepercayaan investor. “Kalau seluruh SPBU swasta keluar, dampaknya bukan hanya di sektor migas, tetapi juga akan memperburuk iklim investasi di sektor usaha lainnya,” tuturnya.
Sebagai solusi, Fahmy menyarankan pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang saat ini berlaku. Ia mengusulkan agar periode izin impor BBM bagi SPBU swasta dikembalikan dari enam bulan menjadi satu tahun, guna memberi waktu cukup untuk mengatur pasokan dan mencegah kelangkaan.
“Selain itu, perlu membatalkan kebijakan impor BBM satu pintu yang sesungguhnya ditolak oleh SPBU swasta karena mengarah pada monopoli Pertamina dalam pengadaan BBM,” terang Fahmy.
Ia menekankan, kebijakan yang lebih fleksibel dan adil akan membuka ruang bagi persaingan sehat antara Pertamina dan SPBU swasta, serta menjaga iklim investasi tetap kondusif di sektor energi nasional
| Perluas Literasi, LPS Dorong Generasi Muda Investasi Secara Aman |
|
|---|
| Realisasi Investasi Gunungkidul Capai Rp2,45 Triliun, Pariwisata hingga Energi Terbarukan Jadi Fokus |
|
|---|
| Sebelum Terlambat, Inilah Sederet Blunder Keuangan yang Tidak Boleh Diabaikan |
|
|---|
| Omzet Cicil Emas di Pegadaian Area Yogyakarta Tembus Rp120,61 Miliar |
|
|---|
| Yogyakarta International Airport Tak Berefek Besar kepada Penanaman Modal Asing |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.