Bagaimana Retinopati Diabetik Menjadi Ancaman bagi Penglihatan?

Diabetes Mellitus yang menjadi penyebab utama Retinopati Diabetik semakin meningkat, sementara skrining populasi masih rendah dan tenaga ahli

DOK. Unplash/Amanda Dalbojorn
Ilustrasi mata bagian kiri 
Ringkasan Berita:
  • Diperkirakan dua dari lima (43,1 persen) penderita Diabetes Mellitus tipe 2 mengalami Retinopati Diabetik (RD), dan satu dari empat diantaranya terancam kehilangan penglihatan
  • Deteksi dini dan tata laksana yang tepat dapat mencegah hingga 95 persen kasus kehilangan penglihatan akibat RD.2

 

TRIBUNJOGJA.COM - Di Yogyakarta, pada peringatan Hari Diabetes Sedunia, Roche Indonesia dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) mengukuhkan langkah bersama untuk menghadapi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan penglihatan masyarakat, Retinopati Diabetik (RD).

Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang didukung Kementerian Kesehatan RI ini bukan sekadar seremoni, tetapi bagian dari upaya membangun model penanganan RD yang lebih kuat, lebih terjangkau, dan relevan dengan tantangan nyata di lapangan.

Tingginya beban penyakit RD di Indonesia bukanlah isu baru, namun angkanya terus mengkhawatirkan.

Diabetes Mellitus yang menjadi penyebab utama RD semakin meningkat, sementara skrining populasi masih rendah dan tenaga ahli kesehatan mata belum merata.

Melalui kemitraan ini, kedua institusi berharap dapat memperluas cakupan skrining serta meningkatkan akses tatalaksana yang sesuai standar medis terkini.

Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., menyoroti skala tantangan yang dihadapi.

Menurutnya, prevalensi diabetes yang hampir mencapai 30 persen, setara sekitar 65 juta penduduk yang terindikasi mengidap diabetes, menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih sistematis dan masif.

Program deteksi seperti CKG memang telah membantu menemukan jutaan kasus baru, namun kesenjangan alat dan tenaga kesehatan masih menjadi kendala besar.


Ia menekankan pentingnya mendorong skrining RD yang tidak hanya mengandalkan dokter spesialis, melainkan dapat diintegrasikan ke layanan primer dengan dukungan teknologi dan alur rujukan yang tepat.

“FK-KMK UGM dengan dukungan Roche Indonesia dapat menghadirkan pendekatan baru. Kami berharap metode skrining berbasis digital tele-oftalmologi dengan pemanfaatan AI ini menjadi bukti ilmiah yang bisa diterjemahkan menjadi kebijakan nasional,” ujarnya.

Dari pihak UGM, Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha, dan Kerja Sama, Dr. Danang Sri Hadmoko, menyampaikan bahwa kolaborasi ini adalah kesempatan untuk menghadirkan solusi kesehatan yang lebih berdampak.

Baca juga: Fenomena Bunuh Diri Anak, Alarm Darurat bagi Kesehatan Mental Generasi Alpha

Menurutnya, permasalahan seperti Retinopati Diabetik membutuhkan pendekatan inovatif yang tetap berakar pada bukti ilmiah. FK-KMK UGM, kata dia, siap berperan melalui pengembangan model layanan, kajian implementasi, hingga memastikan standar medis terbaru benar-benar dapat diterapkan secara efektif dan berkelanjutan.

Sementara itu, Presiden Direktur Roche Indonesia, Sanaa Sayagh, menegaskan bahwa komitmen Roche tidak berhenti pada inovasi teknologi saja.

Ia menekankan pentingnya memastikan masyarakat bisa mengakses layanan yang mereka butuhkan, serta bagaimana hasil kemitraan ini diharapkan dapat mendukung transformasi kesehatan nasional dan target Peta Jalan Kesehatan Penglihatan 2025–2030.

Retinopati Diabetik sendiri merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan di Indonesia. Data menunjukkan dua dari lima orang dewasa dengan diabetes tipe 2 mengalaminya, dan sekitar 29 persen penderita RD bahkan sudah mengalami Diabetic Macular Edema (DME), komplikasi yang menjadi salah satu penyebab kebutaan akibat diabetes.

Tidak mengherankan jika Peta Jalan Kesehatan Penglihatan Indonesia 2025–2030 menetapkan target ambisius: skrining retina untuk 80 persen individu dengan diabetes dan pengobatan tepat bagi minimal 80 persen pasien RD. 

Teknologi digital dan tele-oftalmologi disebut sebagai kunci untuk mencapai target tersebut.

Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, M.Epi., Ph.D., Sp.M(K), yang memimpin pelaksanaan program, menjelaskan bahwa upaya menurunkan beban RD membutuhkan sistem yang jauh lebih terintegrasi. Ia menyebut tiga tantangan utama: jumlah pasien diabetes yang sangat besar, cakupan skrining yang masih di bawah lima persen, serta distribusi tenaga ahli yang tidak merata.

“Sebagian besar pasien datang dalam kondisi sudah lanjut,” ujarnya.

Melalui kemitraan ini, tim akan membangun model layanan yang mencakup penguatan koordinasi lintas sektor, peningkatan kualitas dan akses layanan, pemerataan kompetensi tenaga kesehatan, optimalisasi pembiayaan, hingga pengembangan sistem informasi yang terintegrasi dengan riset dan teknologi medis terbaru.

Harapannya, cakupan skrining dapat meningkat secara signifikan dan pasien dengan risiko tinggi bisa mendapat tatalaksana sebelum kehilangan penglihatan secara permanen.

Bayu juga menekankan pentingnya keberlanjutan. Program percontohan ini tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan perubahan jangka pendek, tetapi juga menghasilkan bukti ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar kebijakan dan pengalokasian sumber daya ketika program diperluas ke skala nasional.

 

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved