Asa Yayasan Sekar Kawung Memuliakan Budaya, Menjaga Alam, Menguatkan Rakyat
Sekar Kawung percaya bahwa masyarakat desa sangat kreatif dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Ringkasan Berita:
- Sekar Kawung adalah sebuah social enterprise yang bertujuan untuk menciptakan sirkulasi ekonomi yang berkelanjutan dengan memanfaatkan hasil alam tanpa merusak lingkungan atau mengeksploitasi manusia.
- Yayasan ini memilih jalur proses yang panjang dan lambat dalam produksi sekaligus edukasi, namun memberi dampak berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat lokal yang terlibat.
TRIBUNJOGJA.COM -- Yayasan Sekar Kawung adalah sebuah social enterprise yang didirikan dengan misi sederhana namun mendalam.
Berbasis di Depok, Sleman, DI Yogyakarta, yayasan ini mencari cara untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa merusak lingkungan atau mengeksploitasi manusia.
Intinya, mereka berupaya menciptakan model ekonomi yang berkelanjutan, memuliakan budaya, dan menghargai keanekaragaman hayati.
Sekar Kawung memulai perjalanannya dengan sebuah pertanyaan mendasar, bisakah kita membuat produk tanpa merusak lingkungan dan tanpa membayar pekerja dengan harga yang sangat murah?
“Saya mulai mencoba, oke kita turun deh, Turun benar-benar ke yang konkret aja. Bisa engga kita bikin produk tanpa merusak lingkungan? Tanpa memberi upah yang semurah-murahnya pada pekerja?,” jelas Chandra Kirana Prijosusilo atau yang kerap disapa Kiki, selaku Founder dari Sekar Kawung, Rabu, (19/11/2025).
Jawaban yang ditemukan adalah "bisa," meskipun prosesnya memerlukan kesabaran dan melawan arus cepatnya sistem ekonomi saat ini.
Awalnya, fokus utama Sekar Kawung bukanlah pada fesyen atau kain, melainkan pada lingkungan dan pengembangan sektor ekonomi hijau di tingkat desa.
Yayasan ini memulai penelitiannya di dua wilayah yang memiliki kondisi lingkungan berlawanan yaitu, Kalimantan Barat yang hutannya masih utuh (hutan hujan tropis) dan Sumba yang sudah gersang (sabana).
Tujuannya adalah membuktikan bahwa, di kedua wilayah ekstrem tersebut, pelestarian alam dapat menjadi modal ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat.
Sekar Kawung percaya bahwa masyarakat desa sangat kreatif dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka.
Oleh karena itu, mereka mengidentifikasi sektor ekonomi paling hijau dan menguntungkan yang dapat dikembangkan di setiap desa, seperti potensi menenun dan tanaman pewarna alam.
Salah satu prinsip utama Sekar Kawung adalah menolak eksternalisasi biaya (biaya tanggung jawab sosial perusahaan) yang umumnya dilakukan industri mainstream.
Sekar Kawung berusaha memastikan bahwa produk yang dihasilkan tidak disubsidi oleh kerusakan alam, eksploitasi, atau mengorbankan generasi mendatang.
Mengangkat Kerajinan Tekstil sebagai Seni
Keterlibatan Sekar Kawung di dunia fesyen dan tekstil adalah suatu ketidaksengajaan yang lahir dari temuan mereka di lapangan, khususnya di Sumba dan Tuban.
Di Sumba, mereka menemukan bahwa desa-desa yang bergantung pada tanaman pewarna alam untuk kain ikat mereka cenderung lebih hijau dan terawat dibandingkan desa yang ekonominya didominasi peternakan. Hal ini menunjukkan ketergantungan langsung antara kelestarian budaya menenun dengan kelestarian alam.
Sementara di Tuban (Kecamatan Kerek), mereka bekerja dengan penenun yang menanam sendiri kapasnya.
“Di sana (Tuban) mereka mulai dari tanam kapas sendiri,” sebut Kiki, Rabu, (19/11/2025).
Proses yang dilakukan adalah sangat tradisional (tanpa mesin), mulai dari memisahkan biji kapas menggunakan tangan, memintal benang, hingga menenun.
Proses yang lambat ini menunjukkan ketiadaan kekerasan dalam pembuatannya, yang kemudian menarik pasar meditasi dan energi healer.
Kain yang dihasilkan melalui proses lestari dan tanpa mesin seringkali dinilai "lebih kasar" atau "mahal" sehingga sulit laku di pasar konvensional.
Sekar Kawung menjembatani masalah ini dengan memperkenalkan kain-kain tersebut ke kalangan desainer fesyen, seperti Lemari Lila, yang bersedia menggunakan kain ini untuk produk mereka.
Sekar Kawung juga menemukan pasar tak terduga di kalangan terapis dan praktisi meditasi, yang merasa bahwa kain-kain buatan tangan tersebut memiliki vibrasi yang baik, merek pun bersedia menghargai proses panjangnya.
Dalam konteks dunia yang serba cepat, Sekar Kawung memilih jalur proses yang panjang, meskipun ini berarti pertumbuhan yang lambat.
Mereka menyadari bahwa pembangunan yang benar harus memilih proses yang panjang dan berdampak berkelanjutan, bukan sekadar proyek yang cepat selesai.
Yayasan ini menerapkan prinsip "copy-left, bukan copy-right,” tutur Kiki berkelakar, Rabu, (19/11/2025).
Mereka tidak pelit membagikan pengetahuan atau konsep. Sebaliknya, mereka menyambut baik jika banyak pihak meniru dan mengadopsi model mereka, karena setiap tiruan akan membawa sentuhan lokal dan inovasi yang justru akan membuat konsep tersebut semakin baik dan berkembang.
Sekar Kawung berdiri sebagai bukti bahwa ketidaksempurnaan dan proses yang lambat dapat menghasilkan nilai yang utuh dan berkelanjutan.
Mereka terus mendampingi masyarakat yang terpinggirkan dari ekonomi mainstream agar dapat memiliki pendapatan yang layak sambil melestarikan warisan alam dan budaya mereka. (MG|Axel Sabina Rachel Rambing)
Baca juga: Krisis Berkepanjangan di Gaza, Yayasan Sosial Asal Jogja Ini Gencarkan Bantuan Kemanusiaan
| Butuh Kolaborasi Lintas Lembaga di DIY dalam Penanganan Pasien Kanker |
|
|---|
| Cara Tepat Mencuci dan Mengeringkan Kain Tenun Agar Warnanya Tetap Cemerlang |
|
|---|
| Ketika Benang Tenun Tradisional Mampu Merajut Gaya Busana Masa Kini |
|
|---|
| Sekolah Dian Harapan Jogja Resmi Diluncurkan, Siap Hadirkan Pendidikan Kristen Modern |
|
|---|
| Daop 6 Yogyakarta dan Yayasan Tarakanita Kampanyekan Cinta Lingkungan di Stasiun Yogyakarta |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.