Menolak Pemutihan Sejarah, Massa Aksi di Jogja Tegas Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto
Massa aksi Jogja Memanggil menyerukan penolakan atas upaya pemutihan masa kelam Orde Baru dan pemberian gelar pahlawan pada Soeharto
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
Ringkasan Berita:
- Massa Jogja Memanggil menggelar aksi menolak pemberian gelar pahlawan kepada presiden ke-2 RI, Soeharto
- Aksi penolakan bertajuk “Seruan Aksi: Tolak Soeharto Sebagai Pahlawan!” digelar di Monumen TKR, Museum TNI AD, perempatan Jalan Jenderal Sudirman, Kota Yogyakarta, Senin (10/11/2025)
- Massa aksi Jogja Memanggil menyampaikan beberapa tuntutan dan sejumlah pesan
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan korban pelanggaran HAM.
Hal inilah yang mendorong massa aksi Jogja Memanggil menyerukan penolakan atas upaya pemutihan masa kelam Orde Baru, Senin (10/11/2025).
Dalam aksi bertajuk “Seruan Aksi: Tolak Soeharto Sebagai Pahlawan!” yang digelar di Monumen TKR, Museum TNI AD, perempatan Jalan Jenderal Sudirman, Kota Yogyakarta, Jogja Memanggil menegaskan sikapnya menolak keras pencantuman nama Soeharto dalam daftar tokoh penerima gelar pahlawan nasional tahun ini.
Humas Jogja Memanggil, Bung Koes, menyebut bahwa wacana penetapan nama Soeharto berdampingan dengan tokoh seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Marsinah merupakan ironi sejarah.
“Dari tiga nama itu saja, kita sudah bisa mempertanyakan, kenapa bisa ada nama Marsinah dan Gus Dur yang disamakan dengan penjahat? Dari awal kekuasaannya hingga dia jatuh, segala persoalan kemanusiaan selalu terikat dengan dirinya,” ujar Bung Koes.
Menurut Bung Koes, ada tiga alasan utama mengapa Soeharto tidak pantas disebut pahlawan nasional.
Selain karena keterlibatannya dalam berbagai pelanggaran HAM berat, masa kekuasaannya juga diwarnai praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis.
“Tragedi 1965–1966, Talangsari, Tanjung Priok, hingga penculikan dan penghilangan aktivis 1998 menjadi bukti nyata. Artinya, secara HAM, jelas dia tidak bisa masuk kriteria menjadi pahlawan,” katanya.
Ia juga menilai alasan pembangunan yang kerap dijadikan dasar pembelaan oleh sebagian pihak tidak bisa dijadikan pembenaran.
“Setiap pemerintahan memang wajib membangun. Itu hal minimum dari kepemimpinan, bukan alasan untuk diangkat sebagai pahlawan. Apalagi hampir setiap proyek pembangunan masa Orde Baru diiringi dengan korupsi, penggusuran, dan pelanggaran HAM. Pembangunan yang menindas rakyat bukanlah jasa,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Umumkan Tokoh yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Siang Ini, Salah Satunya Soeharto
Pernyataan Tertulis
Adapun dalam pernyataan tertulisnya, Jogja Memanggil menyebut Orde Baru sebagai rezim yang dibangun “di atas genangan darah dan fondasi kebohongan”.
Mereka menilai, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan akan menjadi bentuk “pemutihan sejarah” yang mengkhianati perjuangan rakyat 1998.
“Harto bukan pahlawan! Harto adalah penjahat! Mengangkatnya sebagai pahlawan adalah pengaburan terhadap sejarah Indonesia,” bunyi siaran pers tersebut.
Lebih jauh, mereka menyebut Soeharto sebagai aktor utama institusionalisasi korupsi melalui jaringan yayasan-yayasan besar seperti Supersemar dan Dharmais.
Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan investigasi lembaga internasional disebut memperlihatkan bagaimana aliran dana negara dan swasta dikelola tanpa transparansi.
“Proyek pembangunan lebih berfungsi untuk menggemukkan pundi-pundi diri dan kroninya. Praktik inilah yang menjadikan korupsi bukan sekadar pelanggaran, tetapi sistem yang mengakar,” tulis pernyataan itu.
Selain menyoroti korupsi dan pelanggaran HAM, Jogja Memanggil juga mengaitkan warisan politik Orde Baru dengan kondisi demokrasi saat ini.
Mereka menilai, sistem politik dan ekonomi yang diwariskan Soeharto masih terasa hingga kini—terutama melalui kebijakan yang mengarah pada komersialisasi pendidikan dan pelemahan kebebasan sipil.
“Harto menghancurkan demokrasi kita dengan mewariskan sistem yang melahirkan politik dinasti dan korupsi yang mengakar dari desa hingga istana. Dia memberangus kebebasan rakyat dengan menjadikan militer sebagai tukang gebuk,” lanjut pernyataan itu.
Bung Koes menegaskan, kejatuhan Soeharto pada 1998 seharusnya menjadi pengingat bahwa kekuasaan tanpa kontrol publik hanya melahirkan tirani.
“Dia dijatuhkan karena pelanggaran HAM, korupsi, dan nepotisme. Artinya, sama sekali tidak bisa dikatakan pahlawan,” tegasnya.
Menurutnya, aksi di Yogyakarta bukan sekadar bentuk penolakan terhadap gelar kehormatan, tetapi juga ajakan untuk menjaga ingatan kolektif bangsa agar tidak terhapus oleh narasi-narasi baru yang memutihkan sejarah.
“Kita menolak melupakan. Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti mengkhianati korban dan perjuangan rakyat melawan tirani,” ujar Bung Koes.
Dalam aksi ini turut dibacakan tuntutan, antara lain menolak pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan, menolak pelemahan RUU HAM, menegakkan perlindungan terhadap kebebasan pers, membatalkan revisi UU TNI, dan menuntut penyediaan pendidikan gratis yang berpihak kepada rakyat.
Massa aksi turut menyerukan pesan yang menjadi inti dari aksi mereka hari itu:
“Menolak lupa adalah bentuk penghormatan tertinggi bagi para korban.” (*)
| Kader Muda Gerindra Dukung Soeharto dan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional, Ini Alasannya |
|
|---|
| Profil Singkat 10 Tokoh yang Dianugerahi Pahlawan Nasional |
|
|---|
| Eko Suwanto Sebut Rakyat Tak Lupa Gerakan Reformasi, Soeharto Tak Layak Dianugerahi Gelar Pahlawan |
|
|---|
| Presiden Umumkan Tokoh yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Siang Ini, Salah Satunya Soeharto |
|
|---|
| Soeharto dan Gus Dur Masuk Daftar Calon Pahlawan Nasional, Ini Komentar Jokowi |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Tolak-Soeharto-pahlawan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.