Film Berbasis AI Diponegoro Hero Angkat Sejarah Api Perlawanan Perang Jawa

Karya visual tersebut bisa dinikmati publik secara luas melalui agenda screening di Auditorium Grha Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta

|
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUN JOGJA/AZKA RAMADHAN
Suasana sesi jumpa media membahas film berbasis AI "Diponegoro Hero", di kawasan Kotabaru Yogyakarta 
Ringkasan Berita:
  • Film AI generated berjudul "Diponegoro Hero" sedang digarap
  • ​Film berfokus pada Perang Jawa (1825-1830)
  • Karya visual tersebut bisa dinikmati publik secara luas melalui agenda screening di Auditorium Grha Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, Senin (10/11/25).

 

TRIBUNJOGJA.COM - Memperingati 200 tahun Perang Jawa, sebuah terobosan sinematik hadir lewat film AI generated berjudul "Diponegoro Hero". 


Digarap oleh produser sekaligus sutradara King Bagus, film ini tidak hanya menandai babak baru sinema teknologi tanah air, tetapi juga secara tajam menyoroti tragedi perang legendaris sebagai inspirasi perlawanan abadi terhadap kolonialisme.


Selaras rencana, karya visual tersebut bisa dinikmati publik secara luas melalui agenda screening di Auditorium Grha Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, Senin (10/11/25).

Fokus film


​Film berfokus pada Perang Jawa (1825-1830), konflik dahsyat yang dipicu arogansi Belanda dalam membangun jalan yang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro, ditambah penderitaan rakyat akibat pajak dan kerja paksa.


Bagus menegaskan, alasan utama film ini dibuat adalah untuk mengingatkan kembali betapa dahsyatnya dampak Perang Jawa, yang bukan sekadar pemberontakan biasa.


​"Perang Jawa itu salah satu perang terbesar, salah satu perang yang bikin kolaps Belanda. Kolonial Belanda dibuat rungkad," ujarnya, di sesi jumpa media, di kawasan Kotabaru, Kota Yogyakarta, Jumat (7/11/25).


​Ia menambahkan, saking kolapsnya keuangan negara, Belanda kemudian menerapkan sistem tanam paksa untuk memulihkan ekonomi mereka yang hancur akibat perlawanan Pangeran Diponegoro.


​Tragedi perang yang memakan korban jiwa tak terhitung itu, menurut Bagus, melahirkan sebuah warisan tidak ternilai, yakni strategi perang gerilya yang menjadi inspirasi bagi perjuangan generasi berikutnya.


​"Strategi gerilya Pangeran Diponegoro ini kemudian diterapkan sama Panglima Sudirman dan dicontek juga sama Vietnam, Ho Chi Minh waktu melawan Amerika," jelasnya.


​Bagi King Bagus, gejolak besar yang diinisiasi Pangeran Diponegoro mampu memantik api pemberontakan di daerah-daerah lain, hingga menjadi cikal bakal kesadaran nasional.

Tak semudah membalik telapak tangan


​Di balik terobosannya, Bagus pun mematahkan mitos bahwa membuat film AI itu "gampang dan cepat". Ia bilang, proses pembuatan film berdurasi 30 menit dengan kecerdasan buatan tak semudah membalik telapak tangan.


​Tantangan terbesar, lanjutnya, adalah minimnya data wajah orang Indonesia dalam database AI global. Hal ini hampir membuat proyeknya terbilang nyaris mustahil untuk dikerjakan.


​"Pasti saya akan di-bully, karena ternyata data AI itu tidak ada wajah Indonesianya, enggak ada. Yang kita dapati itu wajah Indo-Cina. Vietnam, Thailand, Kamboja dan lain-lain," keluhnya.


​"Baru setelah April 2025, ketika teknologi Face ID baru dirilis, wajah-wajah Indonesia akhirnya bisa direplikasi dengan akurat oleh AI," urai Bagus.


​Dalam kesempatan itu, ia juga mengungkap revolusi biaya yang ditawarkan teknologi AI dengan metode pembuatan film konvensional yang sudah lama digelutinya.


Bagus menyebut, sepanjang proses produksi "Diponegoro Hero" yang berdurasi 30 menit, pihaknya hanya mengucurkan amggaran lebih kurang Rp40 juta saja


"Jadi, kalau produksi film AI berdurasi 1,5 jam, paling hanya butuh sekitar Rp100 juta. Sebelumnya, saya bikin film konvensional dengan durasi segitu habisnya Rp7 miliar tahun ini. Terasa sangat beda," akunya.


​Proses kreatif film pun turut melibatkan Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) untuk memastikan akurasi sejarah, meski tetap ada sentuhan dramatisasi untuk hiburan.


​Ketua Patra Padi, Rahadi Saptata Abra, menuturkan, pihaknya memberi masukan agar visualisasi tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam film benar-benar selaras dengan catatan sejarah.


​"Memang kita enggak bisa berbicara untuk idealisme 100 persen seperti data primer, ya, karena ini juga ada unsur hiburan. Harapan kami, film ini bisa jadi tontonan, tuntunan, dan tatanan," urainya. (aka)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved