Cerita Guru Sekolah Inklusi di Yogyakarta Belajar Makna Hidup dari Anak-anak

Berbicara tentang pengalaman paling membekas selama mengajar di sekolah inklusi, para guru selalu mengatakan mereka banyak belajar dari anak-anak.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
Dok. Istimewa
KARYA SISWA: Murid-murid SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa dan beberapa guru pengampu bersama hasil karya seni mereka di depan gedung sekolah. 

 

Ringkasan Berita:
  • SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa menjadi salah satu sekolah inklusi di Yogyakarta yang menerapkan pendidikan tanpa diskriminasi.
  • Para guru menyesuaikan diri dengan terus belajar memahami kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
  • Kolaborasi antara guru, guru pendamping khusus, dan orang tua membantu proses belajar yang sesuai bagi setiap anak.
  • Semangat belajar anak-anak ABK dan tingginya toleransi siswa reguler menjadi kekuatan utama sekolah dalam membangun lingkungan inklusif.

TRIBUNJOGJA.COM - Mengajar di sekolah inklusi mengubah cara pandang para guru memaknai kehidupan.

SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa merupakan 1 dari 131 sekolah inklusi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sekolah inklusi merupakan salah satu bentuk pemerataan dan perwujudan pendidikan tanpa diskriminasi di mana anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak-anak reguler dapat memperoleh pendidikan yang sama.

Ketika Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mulai mengaplikasikan kebijakan sekolah inklusi pada beberapa sekolah negeri dan swasta, guru-guru pun perlu melalui tahapan penyesuaian diri dan membekali diri dengan pengetahuan seputar anak ABK.

Eni (44), guru atau pamong SD Taman Muda yang sudah mengabdi selama puluhan tahun lamanya, termasuk guru yang melewati masa peralihan itu. 

Tanpa latar belakang Pendidikan Luar Biasa (PLB), Eni berusaha keras untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya tentang anak ABK dan bagaimana cara menangani anak-anak seperti itu.

Tahun demi tahun, Eni terus memperkaya diri dengan pengetahuan dan pengalaman berhadapan langsung dengan berbagai macam anak-anak ABK.

Mulai dari anak-anak slow learner atau down syndrome, anak-anak yang memiliki gangguan emosi, hingga anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi namun terhalangi oleh disabilitas fisik atau sensorik.

“Kalau dulu ‘kan ya kita tahunya bocah kui (anak itu) bisa ngikuti kita, tanpa memfasilitasi siswa-siswa yang mungkin kesusahan, karena tertutup dengan siswa yang mampu itu tadi. Kalau sekarang ‘kan, setelah tahu jadi bisa meraba. ‘Oh ini, anak ini tuh begini, perlu ini, perlu itu,’ kita jadi lebih bisa melihat,” ungkap Eni ditemui di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa, Rabu (05/11/2025). saat 

Guru dan Murid Sekolah Inklusi Saat KBM
Eni dan anak-anak muridnya berfoto bersama dengan karya dedaunan hasil pembelajaran di kelas. (Dok. Istimewa)

Dalam upayanya menerapkan pendidikan yang merata terhadap anak ABK, pemerintah kota melalui Dinas Pendidikan menyediakan Unit Layanan Disabilitas (ULD) yang berfungsi menjembatani kebutuhan pendidikan anak ABK.

Eni menambahkan, pihak dinas juga rutin mengadakan sosialisasi dan memfasilitasi sekolah inklusi dengan menyediakan guru pendamping khusus (GPK) untuk membantu saat kegiatan belajar mengajar.

Baca juga: Gelontorkan JPD Inklusi, Pemkot Yogya Pastikan Seluruh ABK di Jenjang SMP Terakomodir

Ringankan Beban

Dewi (30), rekan guru Eni di SD Taman Muda, menyampaikan adanya GPK membantu meringankan bebannya saat mengajar di kelas.

Guru yang saat ini mengampu kelas 6 itu mengaku sering merasa kesulitan ketika harus membagi fokus antara memberikan perhatian khusus pada anak ABK dan memenuhi kebutuhan belajar anak-anak reguler.

Salah satu solusi yang Dewi terapkan sejauh ini adalah memberikan soal lebih untuk anak-anak reguler.

Kemudian untuk anak-anak ABK, berkolaborasi dengan GPK dan orang tua wali yang mendampingi, ia menyediakan metode pembelajaran yang telah disesuaikan dengan kebutuhan anak.

“Jadi kalau anak-anak itu harus ada gambar, kemudian tidak serta-merta hanya menulis saja. Ada juga yang suka misal menempel, ya itu saya selingi, kadang menempel yang masih berkaitan dengan pembelajaran yang dipelajari,” ucap Dewi.

Guru dan Murid Sekolah Inklusi Saat Pelajaran
Dua orang guru dan beberapa murid di tengah kegiatan belajar mengajar di luar kelas. (Dok. Istimewa)

Di satu sisi lain, ada Natalia (33) yang ketika pertama kali mengajar di SD Taman Muda langsung dihadapkan dengan satu kelas yang didominasi oleh anak-anak ABK.

Ia mengaku sempat mengalami dilema dan ragu akan kemampuannya.

Seiring berjalannya waktu, Natalia mulai memahami bahwa anak-anak ABK memang membutuhkan perhatian khusus.

Kurang lebih sudah mengajar selama tujuh tahun disana, ia terus belajar akan apa yang lebih dibutuhkan oleh anak-anak itu.

Baca juga: Limbah Kain Disulap Jadi Boneka, Serunya Anak-anak Belajar di Teman Perca di Yogyakarta

“Ya disini yang terpenting itu belajar sosialisasi, terus kerja sama dengan teman-temannya. Ibaratnya setiap anak sudah ada peningkatan. Untuk akademik ya sambil mengalir saja,” ujar Natalia.

Semangat Belajar dan Toleransi Tinggi Jadi Kekuatan

Berbicara tentang pengalaman paling membekas selama mengajar di sekolah inklusi, ketiga guru itu menceritakan pengalaman unik dan berkesan yang ujungnya selalu diakhiri dengan mereka yang banyak belajar dari anak-anak.

Semangat belajar anak-anak ABK menjadi salah satu yang paling berkesan bagi Dewi.

“Ada anak yang dari segi kemampuannya itu pintar banget, cuma karena dia itu lumpuh layuh jadi memang tidak bisa mengikuti pembelajaran selama satu hari full, duduk juga harus pakai kursi roda dan tidak bisa lama. Tapi ya itu semangat untuk belajarnya luar biasa tinggi,” pungkasnya.

Praktik Metode Pembelajaran di Sekolah
Praktik metode pembelajaran interaktif bersama murid-murid di kelas. (Dok. Istimewa)

Eni pun bercerita anak-anak reguler yang memiliki kesadaran sosial tinggi terhadap teman-temannya yang ABK.

Bahkan ketika anak-anak itu sedang ingin menjahili temannya, mereka selalu bisa mengerem dan memposisikan diri agar candaannya tidak melebihi batas.

Kepada teman-teman yang memakai kursi roda, Eni menambahkan, anak-anak itu tanpa ada yang menyuruh sudah selalu ringan tangan untuk membantu mendorong kursi rodanya.

“Dari kelas mau keluar itu sudah otomatis (temannya) dibantu. Kita ya hanya mengingatkan, ‘awas hati-hati’ begitu. Memang kalau untuk sosialnya, wah, sungguh luar biasa anak-anak itu,” kata Eni dengan senyum merekah.

Ketika menu makanan bergizi gratis (MBG) sudah datang, banyak anak yang langsung inisiatif mengambilkan porsi milik temannya yang berkebutuhan.

Tidak sedikit pula anak ABK yang juga aktif dan ikut membantu temannya setiap kali ada kesempatan. 

Eni menjelaskan tugas guru tinggal mengamati dan mengarahkan saja.

“Bahkan ada yang pakai kursi roda itu ‘kan pengen tuh keliling-keliling. Nah, itu ada yang suka pengen dorong. Itu kita biarkan, lari-lari kesana kesini. Justru anak yang pakai kursi roda itu merasa, ‘wah aku dijak dolan iki,’ (wah aku diajak main ini). Sambil didorong ya senang dia ketawa-ketawa gitu,” cerita Eni penuh antusias.

Mengajar sambil melihat anak-anak bermain dan berinteraksi seperti itu menjadi pengalaman yang sangat berkesan bagi Natalia.

Melalui anak-anak itu, ia belajar cara memahami karakter anak dan mengenali kebutuhan anak yang berbeda-beda.

Guru dan Murid Saat Ekstrakurikuler Pramuka
Eni dan anak-anak muridnya berpose bersama setelah kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. (Dok. Istimewa)

Natalia berharap masyarakat juga mau mencoba memahami dan tidak lagi mengikuti stigma anak-anak ABK yang masih sering dipandang sebelah mata.

Dewi menambahkan, harapannya anak-anak ABK juga dapat menempuh pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya, entah di sekolah swasta ataupun di sekolah negeri.

Dari ruang-ruang kelas di SD Taman Muda, para guru belajar bahwa pendidikan bukan sekadar soal nilai dan kurikulum, melainkan tentang memahami manusia.

Di tengah perbedaan kemampuan dan cara belajar, tumbuh semangat dan toleransi yang saling menular ketika anak-anak reguler dan anak-anak berkebutuhan khusus belajar di satu kelas yang sama. 

Di sanalah para guru menemukan makna sejati sebuah kehidupan melalui pendidikan inklusif. 

Menjadi tempat setiap anak diterima apa adanya dan setiap guru belajar tanpa henti tentang arti mendidik dengan hati. (MG Shafira Puti Krisnintya)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved