Berita Jogja
Tradisi Tuntun Kendaraan di Gang Kampung Kauman Yogyakarta
Kampung Kauman di Yogyakarta mempertahankan tradisi menuntun kendaraan di dalam gang sebagai bentuk kearifan lokal
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Iwan Al Khasni
Ringkasan Berita:Kampung Kauman di Yogyakarta mempertahankan tradisi menuntun kendaraan di dalam gang sebagai bentuk kearifan lokal yang telah berlangsung puluhan tahun. Aturan ini lahir dari nilai unggah-ungguh dan kesadaran sosial warga. Tradisi itu konsisten dijaga demi ketertiban, kenyamanan, dan identitas kampung.
Tribunjogja.com Yogyakarta --- Hujan rintik-rintik yang turun pada Sabtu (1/11/25) sore seakan membasuh debu dan meredam kebisingan di Kampung Kauman, Kemantren Gondomanan, Kota Yogyakarta.
Terletak hanya sepelemparan batu dari hiruk-pikuk pusat pariwisata Malioboro, kampung ini terasa seperti oase yang tenang, seolah terlempar dari dimensi waktu yang berbeda.
Tidak terdengar deru knalpot atau klakson yang memekakkan telinga. Yang terdengar hanyalah sapaan ramah antarwarga yang berpapasan sambil menuntun sepeda motor di penghujung gang.
Ya, di Kauman, kendaraan tidak boleh dinaiki. Ini bukan aturan baru yang dibuat kemarin sore, melainkan kearifan lokal yang telah mengakar selama puluhan tahun dan terus dijaga sebagai bagian dari identitas kampung.
Cerita Aturan Matikan Mesin dan Dituntun
Tokoh masyarakat sekaligus Ketua Takmir Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Azman Latif, menceritakan bahwa aturan tersebut bukanlah hal baru.
Ia mengingat kembali masa kecilnya pada era 1960-an, ketika kebiasaan menuntun kendaraan sudah menjadi pemandangan lumrah, saat sepeda kayuh masih sangat mendominasi.
“Satu-satunya pengecualian hanya tukang pos, yang tetap menaiki sepeda saat bertugas. Tapi yang lain, semua penduduk menuntun kendaraannya,” kenangnya.
Azman menduga, tradisi ini lahir dari ‘rasa’ atau kepekaan sosial dan unggah-ungguh (sopan santun) yang dijunjung tinggi oleh warga setempat.
Menurutnya, sebagai kampung yang kental dengan nilai-nilai Islam yang menekankan akhlak, ada perasaan sungkan jika harus menaiki kendaraan di depan rumah tetangga.
Ditambah lagi, fakta sejarah kepemilikan lahan menyebutkan bahwa banyak gang di Kauman sejatinya berawal dari tanah milik warga yang kemudian diwakafkan untuk jalan umum.
Oleh sebab itu, aturan yang awalnya tidak tertulis ini diyakini Azman sudah ada jauh sebelum lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah di kampung tersebut pada tahun 1912.
“Jadi dianggap masih milik orang, sehingga sungkan kalau menaiki kendaraan. Memang sejarah persisnya seperti apa saya kurang tahu, tetapi sejak saya kecil, tahun 60-an, memang sudah seperti ini,” jelasnya.
Menariknya, ketika zaman berganti dan sepeda motor mulai merajalela, peraturan justru semakin dikukuhkan. Pengurus kampung merasa budaya ‘menuntun motor’ kini menjadi lebih penting.
Logikanya sederhana: jika sepeda kayuh saja dituntun, apalagi sepeda motor bermesin yang jelas-jelas menimbulkan polusi, baik suara maupun bahan bakar.
Untuk menjaga konsistensi di tengah status Kauman sebagai kampung wisata dan edukasi, papan-papan berisi peringatan “Matikan Mesin dan Dituntun” dipasang di berbagai sudut, terutama di gang-gang penghubung dengan jalan raya.
Azman mengakui, papan peringatan di masa kecilnya tidak diperlukan karena semua warga sudah tahu dan menjalankannya sebagai kesadaran kolektif.
Namun, seiring perubahan zaman, papan peringatan menjadi vital untuk mengedukasi pengunjung, wisatawan, bahkan kurir yang sering diarahkan oleh aplikasi untuk memotong jalan lewat gang-gang sempit Kauman tanpa mengetahui aturan lokal.
“Sekaligus untuk keamanan anak-anak. Kemudian, yang sudah sepuh berjalan di sini juga merasa nyaman karena tidak dilewati orang-orang yang membawa motor dengan kecepatan tinggi,” tandasnya.
Alhasil, tak sekadar melestarikan tradisi, Azman menekankan relevansi fungsional dari aturan tersebut sebagai kunci ketertiban dan ketenangan kampung yang terbagi dalam empat RW.
Aturan ini secara efektif mencegah gang-gang padat Kauman berubah menjadi jalan tembusan atau jalur tikus yang kacau balau di tengah kepadatan lalu lintas pusat Kota Yogyakarta.
“Kalau diperbolehkan, orang bisa naik motor ke Malioboro atau ke Kraton, biar dekat, ya lewat gang saja. Kauman akan menjadi lalu lintas umum kalau kendaraan bermotor boleh dinaiki,” cetusnya.
Sebagai kesepakatan yang telah diamini secara kolektif, warga Kampung Kauman pun menerima dan tidak pernah menginginkan aturan itu diubah demi menyesuaikan zaman.
Meski dewasa ini hampir setiap rumah tangga telah memiliki kendaraan bermotor, budaya menuntun tetap dilakukan dengan sadar menuju jalan raya melalui gang-gang keluar terdekat.
“Orang kalau pertama kali datang ke Kauman akan merasakan suasana seperti di pedesaan. Tidak terganggu suara kendaraan, apalagi klakson. Jadi, kalau sudah masuk, ya sepi begitu,” ungkap Azman.
Ia juga mengamati bahwa anak-anak muda yang biasanya tidak suka dikekang oleh aturan tetap patuh. Meski tidak ada sanksi spesifik, mereka merasa tak enak hati jika melanggar aturan yang telah disepakati dan dihormati bersama.
Kampung Kauman pun membuktikan bahwa di tengah gempuran modernitas, tradisi yang berakar pada unggah-ungguh dan rasa saling menghormati mampu bertahan, menciptakan ruang hidup yang aman, tenang, dan berkarakter. (Azka Ramadhan)
• Potensi Hujan Lebat Angin Kencang di Yogyakarta Terjadi Siang dan Malam
| Sri Sultan HB X Dorong TNI Run Jadi Agenda Sport Tourism DIY |
|
|---|
| Kasus Dugaan Penggelapan Dana Kospin PAM: Polisi Temukan Alat Bukti |
|
|---|
| Agenda HUT Golkar DIY ke-61: Semaan Alquran hingga Tebus Murah 1.000 Paket Sembako |
|
|---|
| Penyaluran KUR UMKM DIY Tembus Rp3,19 Triliun hingga Agustus 2025 |
|
|---|
| Gotong Royong Lagi, Pemkot Yogya Bedah 2 RTLH di Ngampilan dan Panembahan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Kisah-Konsistensi-Kampung-Kauman-Menerapkan-Aturan-Tuntun-Kendaraan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.