Mencari Solusi Peliknya Peredaran Pakaian Bekas Impor Ilegal di Yogyakarta

Peredaran masuknya pakaian bekas impor ilegal ke Yogyakarta oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY mengalami kendala.

Tribunjogja.com/Christi Mahatma
MASALAH PELIK - Suasana toko pakaian impor bekas di Sleman, Selasa (14/03/2023) . Peredaran masuknya pakaian bekas impor ilegal ke Yogyakarta oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY mengalami kendala. 
Ringkasan Berita:
  • Disperindag DIY terkendala faktor struktural, sosial dan ekonomi dalam mengatasi pakaian bekas impor ilegal.
  • Yang diburu pemerintah mestinya bukan penjual pakaian impor bekas, tetapi oknum-oknum di level atas.
  • Pakar Ekonomi Publik UMY mendorong adanya menerapkan kebijakan transisi yang inklusif dan realistis.

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Peredaran masuknya pakaian bekas impor ilegal ke Yogyakarta oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY mengalami kendala.

Menurut Kepala Disperindag DIY, Yuna Pancawati, masalahnya kompleks, karena beberapa faktor struktural maupun sosial ekonomi.

Namun ia menegaskan bahwa masuknya pakaian bekas impor membuat produsen lokal sulit bersaing.

Pasalnya, harga pakaian bekas impor sangat murah, bahkan di bawah harga pokok produksi lokal.

"Ini membuat produk konveksi, batik, dan fesyen buatan lokal sulit bersaing di pasar domestik. Akibatnya, penjualan produk baru buatan IKM menurun, terutama untuk segmen pakaian kasual dan sehari-hari," katanya, Jumat (31/10/2025).

"Beberapa pelaku usaha kecil bahkan beralih profesi atau menutup usahanya karena tidak mampu menyaingi harga dan tren pakaian bekas impor," sambungnya.

Yuna mengungkapkan sebagian besar pakaian impor tidak masuk langsung melalui Yogyakarta, melainkan berasal dari kota-kota pelabuhan besar seperti Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Emas (Semarang), atau Pelabuhan Belawan (Medan).

Barang-barang itu kemudian dikirim ke Yogyakarta lewat jalur darat menggunakan truk tanpa dokumen resmi, sehingga sulit diawasi oleh aparat daerah.

Di sisi lain, kewenangan pengawasan bea cukai dan karantina berada di pemerintah pusat, sementara daerah hanya bisa melakukan penertiban di tingkat distribusi atau pasar.

"Satpol PP, Disperindag, dan kepolisian daerah tidak memiliki kewenangan langsung untuk menindak barang impor ilegal di perbatasan wilayah,"  ungkapnya.

Faktor sosial ekonomi

Selain masalah struktural, pihaknya juga menghadapi kendala sosial.

Hal ini karena tingginya permintaan pakaian bekas impor dari konsumen lokal. 

Menurut dia, masyarakat, terutama kalangan muda menyukai pakaian bekas impor karena biasanya barang branded, harga murah, dan model unik.

"Fenomena thrift shop di Yogyakarta sudah menjadi tren gaya hidup, sehingga upaya pelarangan sering mendapat resistensi sosial," lanjutnya.

Dari sisi ekonomi, banyak pelaku UMKM dan pedagang pasar bergantung pada penjualan pakaian bekas.

Pasalnya modal yang dikeluarkan relatif kecil, namun margin keuntungan tinggi.

Motif ekonomi pelaku usaha ini juga menjadi tantangan dalam pencegahan pakaian bekas impor ilegal.

Tanpa alternatif atau dukungan untuk beralih usaha, tentunya penertiban akan  berdampak pada sosial ekonomi.

"Kendala utama yang dihadapi DIY dalam mencegah masuknya pakaian bekas impor ilegal cukup kompleks dan terkait dengan beberapa faktor struktural maupun sosial-ekonomi," pungkasnya. 

Sasar sosok elite

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY, Timotius Apriyanto, mengatakan penataan dan pengetatan pakaian bekas impor sebaiknya dilakukan dengan pemahaman yang komprehensif.

Ia menilai thrift merupakan gaya hidup untuk berhemat.

Dalam sirkular ekonomi, khususnya sirkular fesyen, thrifting termasuk dalam reuse atau menggunakan kembali.

“Di negara maju pun ada thrifting, seperti di Kanada, Amerika, Inggris, Belanda, Prancis. Ada yang namanya thrift store, karena tentu strata ekonomi orang kan tidak sama. Siklus mode itu kan cepat, setiap musim nanti berganti model,” katanya, Kamis (30/10/2025).

“Lalu orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi, dia akan mudah untuk berganti pakaian. Lalu mereka menjual itu atau mereka menyerahkan di rumah-rumah donasi atau mereka akan mendatangi thrift store namanya. Thrift store itu untuk mereka yang ingin membeli pakaian yang tidak bisa membelinya,” sambungnya.

Ia memandang ada kesalahan dalam memandang thrifting. Thrifting dipandang sebagai akar masalah, padahal sebenarnya bukan. 

Tidak hanya jalan-jalan tikus untuk penyelundupan impor, tetapi juga impor remi yang kategorinya kontainer campuran. 

Dalam kontainer campuran itu dapat memuat berbagai barang dengan HS code yang berbeda-beda. 

Kontainer campuran masih diperbolehkan di Indonesia, padahal itu memengaruhi industri pakaian jadi hingga mengakibatkan terjadinya perang harga. 

“Yang harus ditertibkan adalah kebijakannya, kemudian orang-orang di level elite, di level atas itu yang memiliki akses untuk mengimpor barang-barang secara tidak bijaksana. Dan itu mempengaruhi pakaian jadi. Misalnya pakaian jadi yang baru-baru itu, yang tidak membayar pajak, tidak membayar bea cukai itu. Tapi oknum-oknum itu meloloskan itu,” terangnya.

“Itu kemudian mengakibatkan perang harga. Harus ditata menjadi sebuah ekosistem perdagangan dan industri yang berkelanjutan. Harus ada harmonisasi antara Kementerian Perdagangan dari kebijakannya dan juga Kementerian Perindustrian. Dan punya semangat yang sama untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang resilience, yang tangguh,” lanjutnya.

Ia mengungkapkan penjual pakaian bekas di Indonesia justru muncul akibat oknum-oknum yang mengimpor.

Sehingga yang diburu mestinya bukan penjual pakaian impor bekas, tetapi oknum-oknum di level atas.

“Mestinya juga harus ditertibkan oknum-oknum di level elite yang membuat kacau perindustrian pakaian jadi di tanah air. Jadi jangan diperkecil persoalannya, kemudian diburu orang-orang, simbok-simbok, bapak-bapak, orang-orang yang jualan di pasar itu. Bukan itu,” ungkapnya.

“Ada mereka itu kan karena barang masuk yang tidak dikontrol. Jadi itu. Tapi semangatnya (pengetatan impor) oke, semangatnya bagus. Hanya kemudian mesti substansinya juga harus dikejar supaya lebih baik,” imbuhnya.

Saran dari pakar

Di sisi lain, Pakar Ekonomi Publik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Dessy Rachmawatie, M.Si., mendorong adanya menerapkan kebijakan transisi yang inklusif dan realistis.

Penegakan aturan yang kini diperketat, menurutnya, merupakan bagian dari proses penertiban yang sudah berjalan selama dua tahun terakhir.

“Langkah Menteri Keuangan bertujuan menegakkan aturan dan melindungi industri dalam negeri. Banyak UMKM seperti pengrajin batik dan pelaku konveksi sedang berjuang agar tetap bertahan. Barang bekas impor yang harganya tidak masuk akal bisa melumpuhkan mereka,” katanya, Jumat (31/10/2025).

Menurut dia, fokus kebijakan seharusnya diarahkan pada penindakan impor ilegal, bukan menghentikan penjualan pakaian bekas dari produksi atau pasokan lokal. 

Pasalnya, pelaku usaha yang mengandalkan sistem upcycling, daur ulang, atau memperoleh stok secara legal.

Sehingga, mestinya pelaku usaha tersebut tetap bisa beroperasi.

Kebijakan yang Jelas

Harga pakaian bekas impor yang murah selama ini menjadi solusi bagi konsumen dengan daya beli terbatas.

Itulah sebabnya diperlukan kebijakan transisi yang jelas.

“Selama kebijakan transisi dibuat dengan jelas, thrifting lokal justru bisa menjadi wadah inovasi dan peningkatan daya saing UMKM,” terangnya.

Ia  mendorong pemerintah untuk menegaskan bahwa larangan hanya berlaku untuk impor ilegal, bukan perdagangan domestik.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menyediakan bantuan modal mikro bagi pedagang terdampak.

Tak hanya itu, pemerintah perlu memfasilitasi kemitraan antara UMKM dan industri tekstil nasional.

Termasuk memberikan pelatihan dan sertifikasi kelayakan produk untuk meningkatkan nilai jual dan daya saing.

“Pemerintah perlu menyusun kebijakan berbasis kondisi lapangan. Pendekatan yang adaptif akan lebih efektif dan minim gesekan dengan pelaku usaha kecil,” jelasnya.

Seabgai informasi, larangan impor pakaian bekas sejatinya telah diatur dalam berbagai regulasi, mulai dari Permendag No. 51 Tahun 2015 hingga pembaruan pada tahun 2021 dan 2022.

 

Rumitnya Mengatasi Peredaran Pakaian Bekas Impor Ilegal

Disperindag DIY terkendala faktor struktural, sosial dan ekonomi dalam mengatasi pakaian bekas impor ilegal.

Yang diburu pemerintah mestinya bukan penjual pakaian impor bekas, tetapi oknum-oknum di level atas.

Pakar Ekonomi Publik UMY) mendorong adanya menerapkan kebijakan transisi yang inklusif dan realistis.

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pencegahan masuknya pakaian bekas impor ilegal ke Yogyakarta oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY mengalami kendala.

Menurut Kepala Disperindag DIY, Yuna Pancawati, masalahnya kompleks, karena beberapa faktor struktural maupun sosial ekonomi.

Namun ia menegaskan bahwa masuknya pakaian bekas impor membuat produsen lokal sulit bersaing.

Pasalnya, harga pakaian bekas impor sangat murah, bahkan di bawah harga pokok produksi lokal.

"Ini membuat produk konveksi, batik, dan fesyen buatan lokal sulit bersaing di pasar domestik. Akibatnya, penjualan produk baru buatan IKM menurun, terutama untuk segmen pakaian kasual dan sehari-hari," katanya, Jumat (31/10/2025).

"Beberapa pelaku usaha kecil bahkan beralih profesi atau menutup usahanya karena tidak mampu menyaingi harga dan tren pakaian bekas impor," sambungnya.

Yuna mengungkapkan sebagian besar pakaian impor tidak masuk langsung melalui Yogyakarta, melainkan berasal dari kota-kota pelabuhan besar seperti Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Emas (Semarang), atau Pelabuhan Belawan (Medan).

Barang-barang itu kemudian dikirim ke Yogyakarta lewat jalur darat menggunakan truk tanpa dokumen resmi, sehingga sulit diawasi oleh aparat daerah.

Di sisi lain, kewenangan pengawasan bea cukai dan karantina berada di pemerintah pusat, sementara daerah hanya bisa melakukan penertiban di tingkat distribusi atau pasar.

"Satpol PP, Disperindag, dan kepolisian daerah tidak memiliki kewenangan langsung untuk menindak barang impor ilegal di perbatasan wilayah,"  ungkapnya.

Faktor sosial ekonomi

Selain masalah struktural, pihaknya juga menghadapi kendala sosial.

Hal ini karena tingginya permintaan pakaian bekas impor dari konsumen lokal. 

Menurut dia, masyarakat, terutama kalangan muda menyukai pakaian bekas impor karena biasanya barang branded, harga murah, dan model unik.

"Fenomena thrift shop di Yogyakarta sudah menjadi tren gaya hidup, sehingga upaya pelarangan sering mendapat resistensi sosial," lanjutnya.

Dari sisi ekonomi, banyak pelaku UMKM dan pedagang pasar bergantung pada penjualan pakaian bekas.

Pasalnya modal yang dikeluarkan relatif kecil, namun margin keuntungan tinggi.

Motif ekonomi pelaku usaha ini juga menjadi tantangan dalam pencegahan pakaian bekas impor ilegal.

Tanpa alternatif atau dukungan untuk beralih usaha, tentunya penertiban akan  berdampak pada sosial ekonomi.

"Kendala utama yang dihadapi DIY dalam mencegah masuknya pakaian bekas impor ilegal cukup kompleks dan terkait dengan beberapa faktor struktural maupun sosial-ekonomi," pungkasnya. (*)


                

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY, Timotius Apriyanto, mengatakan penataan dan pengetatan pakaian bekas impor sebaiknya dilakukan dengan pemahaman yang komprehensif.

Ia menilai thrift merupakan gaya hidup untuk berhemat.

Dalam sirkular ekonomi, khususnya sirkular fesyen, thrifting termasuk dalam reuse atau menggunakan kembali.

“Di negara maju pun ada thrifting, seperti di Kanada, Amerika, Inggris, Belanda, Prancis. Ada yang namanya thrift store, karena tentu strata ekonomi orang kan tidak sama. Siklus mode itu kan cepat, setiap musim nanti berganti model,” katanya, Kamis (30/10/2025).

“Lalu orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi, dia akan mudah untuk berganti pakaian. Lalu mereka menjual itu atau mereka menyerahkan di rumah-rumah donasi atau mereka akan mendatangi thrift store namanya. Thrift store itu untuk mereka yang ingin membeli pakaian yang tidak bisa membelinya,” sambungnya.

Ia memandang ada kesalahan dalam memandang thrifting. Thrifting dipandang sebagai akar masalah, padahal sebenarnya bukan. 

Tidak hanya jalan-jalan tikus untuk penyelundupan impor, tetapi juga impor remi yang kategorinya kontainer campuran. 

Dalam kontainer campuran itu dapat memuat berbagai barang dengan HS code yang berbeda-beda. 

Kontainer campuran masih diperbolehkan di Indonesia, padahal itu memengaruhi industri pakaian jadi hingga mengakibatkan terjadinya perang harga. 

“Yang harus ditertibkan adalah kebijakannya, kemudian orang-orang di level elite, di level atas itu yang memiliki akses untuk mengimpor barang-barang secara tidak bijaksana. Dan itu mempengaruhi pakaian jadi. Misalnya pakaian jadi yang baru-baru itu, yang tidak membayar pajak, tidak membayar bea cukai itu. Tapi oknum-oknum itu meloloskan itu,” terangnya.

“Itu kemudian mengakibatkan perang harga. Harus ditata menjadi sebuah ekosistem perdagangan dan industri yang berkelanjutan. Harus ada harmonisasi antara Kementerian Perdagangan dari kebijakannya dan juga Kementerian Perindustrian. Dan punya semangat yang sama untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang resilience, yang tangguh,” lanjutnya.

Ia mengungkapkan penjual pakaian bekas di Indonesia justru muncul akibat oknum-oknum yang mengimpor.

Sehingga yang diburu mestinya bukan penjual pakaian impor bekas, tetapi oknum-oknum di level atas.

“Mestinya juga harus ditertibkan oknum-oknum di level elite yang membuat kacau perindustrian pakaian jadi di tanah air. Jadi jangan diperkecil persoalannya, kemudian diburu orang-orang, simbok-simbok, bapak-bapak, orang-orang yang jualan di pasar itu. Bukan itu,” ungkapnya.

“Ada mereka itu kan karena barang masuk yang tidak dikontrol. Jadi itu. Tapi semangatnya (pengetatan impor) oke, semangatnya bagus. Hanya kemudian mesti substansinya juga harus dikejar supaya lebih baik,” imbuhnya.

Saran dari pakar

Di sisi lain, Pakar Ekonomi Publik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Dessy Rachmawatie, M.Si., mendorong adanya menerapkan kebijakan transisi yang inklusif dan realistis.

Dessy menyebut larangan impor pakaian bekas sejatinya telah diatur dalam berbagai regulasi, mulai dari Permendag No. 51 Tahun 2015 hingga pembaruan pada tahun 2021 dan 2022.

Penegakan aturan yang kini diperketat, menurutnya, merupakan bagian dari proses penertiban yang sudah berjalan selama dua tahun terakhir.

“Langkah Menteri Keuangan bertujuan menegakkan aturan dan melindungi industri dalam negeri. Banyak UMKM seperti pengrajin batik dan pelaku konveksi sedang berjuang agar tetap bertahan. Barang bekas impor yang harganya tidak masuk akal bisa melumpuhkan mereka,” katanya, Jumat (31/10/2025).

Menurut dia, fokus kebijakan seharusnya diarahkan pada penindakan impor ilegal, bukan menghentikan penjualan pakaian bekas dari produksi atau pasokan lokal. 

Pasalnya, pelaku usaha yang mengandalkan sistem upcycling, daur ulang, atau memperoleh stok secara legal.

Sehingga, mestinya pelaku usaha tersebut tetap bisa beroperasi.

Kebijakan yang Jelas

Harga pakaian bekas impor yang murah selama ini menjadi solusi bagi konsumen dengan daya beli terbatas.

Itulah sebabnya diperlukan kebijakan transisi yang jelas.

“Selama kebijakan transisi dibuat dengan jelas, thrifting lokal justru bisa menjadi wadah inovasi dan peningkatan daya saing UMKM,” terangnya.

Ia  mendorong pemerintah untuk menegaskan bahwa larangan hanya berlaku untuk impor ilegal, bukan perdagangan domestik.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menyediakan bantuan modal mikro bagi pedagang terdampak.

Tak hanya itu, pemerintah perlu memfasilitasi kemitraan antara UMKM dan industri tekstil nasional.

Termasuk memberikan pelatihan dan sertifikasi kelayakan produk untuk meningkatkan nilai jual dan daya saing.

“Pemerintah perlu menyusun kebijakan berbasis kondisi lapangan. Pendekatan yang adaptif akan lebih efektif dan minim gesekan dengan pelaku usaha kecil,” pungkasnya.

Permendag No. 51 Tahun 2015 

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 51 Tahun 2015 mengatur tentang Larangan Impor Pakaian Bekas

Peraturan ini adalah salah satu landasan hukum yang digunakan pemerintah untuk melarang impor pakaian bekas dalam rangka melindungi industri tekstil dalam negeri dan kesehatan masyarakat. 

Hingga tahun 2021 dan 2022, peraturan ini masih berlaku dan penegakan aturannya semakin diperketat melalui berbagai pembaruan dan regulasi terkait lainnya. 

Pembaruan dan regulasi terkait di tahun 2021 dan 2022 antara lain:

Pengetatan Pengawasan: Penegakan aturan larangan impor pakaian bekas telah menjadi bagian dari proses penertiban yang berjalan secara intensif, terutama sejak tahun 2021 dan 2022, dengan tujuan melindungi UMKM lokal dan industri garmen nasional.

Permendag No. 20 Tahun 2021: Peraturan ini mengatur tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, yang mencakup persyaratan importir, perizinan impor, dan pengawasan, serta menetapkan barang-barang yang dibatasi impornya.

Permendag No. 51 Tahun 2020: Meskipun diterbitkan tahun 2020, peraturan ini terkait dengan pemeriksaan dan pengawasan tata niaga impor setelah melalui kawasan pabean (post border), yang menjadi instrumen penting dalam pengawasan barang-barang impor, termasuk pakaian bekas. 

Secara ringkas, Permendag No. 51 Tahun 2015 tetap menjadi dasar larangan impor pakaian bekas, yang kemudian didukung dan diperkuat oleh regulasi-regulasi turunan dan pengetatan pengawasan di tahun-tahun berikutnya untuk memastikan efektivitas pelarangan tersebut. 

(TribunJogja/Christy Mahatma)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved