DIY Siapkan Strategi Sanitasi 2026–2030, Fokus pada Akses Aman dan Inklusif

Penyusunan roadmap sanitasi provinsi didasari pada Permendagri Nomor 87 Tahun 2022 tentang percepatan layanan akses sanitasi berkelanjutan.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
SANITASI BERKELANJUTAN: Podcast Infrastruktur bertema “Bersama Wujudkan Sanitasi Berkelanjutan” di Yogyakarta, Sabtu (25/10/2025). Mereka menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk mempercepat pencapaian akses sanitasi layak dan aman di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

TRIBUNJOGJA.COM - Pembangunan sanitasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus diarahkan agar selaras antara tingkat provinsi dan kota/ kabupaten. Upaya itu diharapkan dapat mewujudkan lingkungan yang sehat, bersih, dan layak huni melalui kolaborasi lintas sektor yang solid.

Dalam Podcast Infrastruktur yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (25/10/2025), empat narasumber dari unsur pemerintah daerah, akademisi, dan legislatif membahas urgensi penyelarasan kebijakan antara roadmap sanitasi DIY dengan strategi sanitasi Kota Yogyakarta.

Penelaah Teknis Kebijakan Biro PIWP2 Setda DIY, Ninditya Mustika Sari, menjelaskan bahwa penyusunan roadmap sanitasi provinsi didasari pada Permendagri Nomor 87 Tahun 2022 tentang percepatan layanan akses sanitasi berkelanjutan.

Menurutnya, dokumen itu menjadi pedoman penting bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam mengelola pembangunan sanitasi yang berkesinambungan.

“Sanitasi merupakan salah satu aspek utama dalam pembangunan berkelanjutan karena sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, kualitas hidup, dan daya saing kota. Roadmap ini disusun agar pengelolaan pembangunan sanitasi di DIY berjalan selaras dengan kebijakan daerah dan nasional,” ujar Ninditya.

Ia menambahkan, penyusunan roadmap melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi perangkat daerah teknis dan pemerintah kabupaten/kota. Target utamanya adalah mencapai 100 persen akses sanitasi layak dan 30 persen akses sanitasi aman pada 2027. 

“Semua ini disiapkan dengan harapan agar setiap daerah memiliki arah yang sama dalam mencapai sanitasi berkelanjutan,” katanya.

Perencana Ahli Pertama Bappeda Kota Yogyakarta, Guruh Adhi Kurniawan, menuturkan bahwa pemerintah kota sedang menyusun Strategi Sanitasi Kota (SSK) 2026–2030 agar sejalan dengan roadmap provinsi. Ia menyebutkan bahwa rencana pembangunan jangka menengah dan panjang daerah telah memasukkan isu sanitasi sebagai prioritas utama.

“Dalam periode 2025–2045 kami menyusun RPJPD dan RPJMD yang diselaraskan dengan RPJMN dan RPJPN nasional. Target sanitasi aman di Kota Yogyakarta ditetapkan sebesar 43,67 persen pada 2029, sedangkan sampah terkelola mencapai 89 persen,” jelas Guruh.

Ia menerangkan, pembangunan sanitasi di Kota Yogyakarta dibagi dalam empat tahapan, yakni penguatan fondasi (2025–2029), akselerasi pembangunan (2030–2034), ekspansi (2035–2039), dan perwujudan visi pembangunan (2040–2045). Pada tahap awal, pemerintah kota fokus pada empat aspek utama, yaitu teknis, kelembagaan, pendanaan, serta regulasi dan kebijakan.

“Kami mempercepat pembangunan infrastruktur seperti sambungan rumah, MCK komunal, dan instalasi pengolahan air limbah. Dari sisi pendanaan, kami juga berupaya memanfaatkan sumber non-APBD seperti APBN, hibah luar negeri, dan CSR. Regulasi yang sedang disusun mencakup dokumen SSK dan RISPALD, serta penerapan Perda Nomor 6 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan SPALD,” ujar Guruh.

Ia menambahkan bahwa partisipasi masyarakat menjadi aspek penting. Menurutnya, masih banyak warga yang belum memahami perbedaan antara saluran air hujan dan saluran air limbah, sehingga edukasi perlu terus digencarkan.

Dari sisi akademik, Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Ni Nyoman Nepi Marleni, mengungkapkan bahwa tantangan terbesar sektor sanitasi di Indonesia adalah pembiayaan dan keberlanjutan pengelolaan. Banyak instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal, katanya, berhenti beroperasi karena tidak ada dana pemeliharaan.

“Kalau kita lihat, sektor sanitasi di Indonesia secara pembiayaan itu belum ideal. Selama ini sanitasi bukan sektor prioritas, sehingga pendanaannya sangat terbatas. Banyak IPAL komunal yang sudah dibangun dan diserahterimakan kepada kelompok masyarakat, tetapi setelah dua atau tiga tahun tidak lagi beroperasi karena rusak dan tidak ada yang memperbaiki,” kata Leni.

Ia menambahkan, sekitar 90 persen sistem sanitasi di Indonesia masih bersifat setempat, bukan terpusat. Hal ini membuat pengelolaan lebih rumit, terutama di daerah padat seperti Kota Yogyakarta. Salah satu kendalanya adalah biaya pembangunan septic tank sesuai standar teknis yang relatif mahal.

“Kalau dihitung, membuat septic tank yang ideal sesuai SNI bisa menelan biaya sekitar delapan juta rupiah. Masyarakat kita belum mampu untuk mengeluarkan dana sebesar itu, sehingga banyak yang membuat septic tank sederhana yang berisiko mencemari air tanah,” tuturnya.

Leni juga menyoroti rendahnya tingkat sambungan ke IPAL Sewon. Kapasitas IPAL tersebut mencapai 75 ribu sambungan, tetapi yang terpakai baru sekitar 27 ribu. “Pertanyaannya, kenapa masyarakat enggan menyambung? Salah satunya karena masih nyaman dengan sistem konvensional. Ketika harus membayar iuran sambungan, meskipun hanya sepuluh ribu rupiah per bulan, itu tetap dianggap beban,” katanya.

Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan skema subsidi sambungan rumah agar masyarakat terdorong beralih ke sistem pengelolaan limbah yang lebih aman. Selain itu, teknologi sanitasi juga harus disesuaikan dengan kondisi geografis tiap wilayah. 

“Teknologi sanitasi tidak bisa diseragamkan. Kalau di pedesaan mungkin masih bisa menggunakan lubang resapan, tapi di kota padat seperti Jogja harus terhubung ke sistem terpusat,” ujar Leni.

Dari sisi legislatif, Anggota Komisi C DPRD DIY, Suharno, menegaskan bahwa urusan sanitasi merupakan amanah yang telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan juga tercantum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs poin keenam tentang air bersih dan sanitasi layak.

“Ketika program sudah masuk RPJMD, berarti itu amanah yang harus dilaksanakan. Sanitasi harus benar-benar direncanakan dan dikonsep secara matang karena menyangkut keamanan, kesehatan, dan kenyamanan lingkungan,” ujar Suharno.

Ia menjelaskan, peran DPRD dalam urusan sanitasi meliputi pembentukan regulasi, penganggaran, dan pengawasan. “Kami melakukan pengawasan mulai dari tahap perencanaan, melihat penganggaran dan regulasinya, hingga turun langsung ke lapangan. Kalau ada masalah di lapangan, kami panggil dinas terkait untuk berdiskusi dan mencari solusi bersama,” katanya.

Suharno menambahkan, kolaborasi antara eksekutif, legislatif, akademisi, LSM, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan. Ia menegaskan perlunya peningkatan sosialisasi agar masyarakat memahami manfaat sanitasi yang baik.

“Kolaborasi ini harus berjalan dengan baik. Akademisi bisa memberi kajian, pemerintah menyiapkan kebijakan dan anggaran, sementara DPRD memastikan semuanya berjalan sesuai aturan. Saya sering menyampaikan konsep empat K: keamanan, kesehatan, kesadaran, dan kelembagaan. Kalau empat hal ini berjalan bersamaan, masyarakat akan merasakan manfaat sanitasi secara nyata,” kata Suharno.

Podcast Infrastruktur ditutup dengan seruan agar semua pihak terus memperkuat sinergi. Sanitasi bukan sekadar urusan infrastruktur, melainkan juga persoalan martabat dan kualitas hidup masyarakat. Kolaborasi antaraktor menjadi kunci untuk mewujudkan DI Yogyakarta yang sehat, bersih, dan berkelanjutan. (HAN)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved