Belanja Pemerintah Tak Bisa Asal, Semua Harus Terencana dan Transparan

Prinsip utama yang diterapkan adalah value for money, yakni memastikan setiap rupiah uang rakyat memberikan nilai manfaat tertinggi bagi publik

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Hari Susmayanti
Tribunjogja.com/Ist
Belanja pemerintah untuk rakyat. Narasumber program Insight Pengadaan Barang dan Jasa memaparkan perbedaan antara belanja pribadi dan belanja pemerintah yang harus melalui proses perencanaan, pengawasan, serta sistem digital terbuka agar setiap rupiah uang rakyat dapat dipertanggungjawabkan. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Proses belanja pemerintah ternyata tidak jauh berbeda dengan belanja pribadi, namun dengan tanggung jawab yang jauh lebih besar.

Prinsip utama yang diterapkan adalah value for money, yakni memastikan setiap rupiah uang rakyat memberikan nilai manfaat tertinggi bagi publik.

Hal itu terungkap dalam program Insight Pengadaan Barang dan Jasa bertema Belanja Pemerintah versus Belanja Pribadi, yang menghadirkan tiga narasumber, Ketua Komisi C DPRD DIY Nur Subiantoro, Akhmad Gerri Sarwo Edi dan Leylandi Listyo Hatmojo, keduanya dari Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa Pertama.

Menurut Akhmad Gerri Sarwo Edi, belanja pemerintah pada dasarnya mengikuti prinsip yang sama dengan belanja rumah tangga, yakni menyesuaikan kebutuhan dengan kemampuan. 

“Kalau pemerintah berbelanja, prinsipnya tetap sama: mengutamakan value for money—nilai terbaik dari uang yang dibelanjakan. Caranya dengan membuat spesifikasi teknis yang sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Ia menambahkan, karena uang yang digunakan adalah uang rakyat, setiap transaksi harus bisa dipertanggungjawabkan.

“Setiap belanja pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi maupun hukum,” tegasnya.

Belanja pemerintah, kata Nur Subiantoro, tidak bisa dilakukan sembarangan. Semua harus berawal dari perencanaan dan kebutuhan yang nyata.

“Dalam belanja pemerintah, yang paling utama adalah kebutuhan yang mendesak dan menjadi skala prioritas, bukan keinginan. Kalau di rumah tangga kita lihat dulu isi kantong, di pemerintahan kita melihat kemampuan APBD,” ujarnya.

Nur menekankan bahwa proses perencanaan bahkan bisa memakan waktu lebih dari satu tahun anggaran. 

“Misalnya untuk proyek besar seperti pembangunan gedung, bisa bersifat multi-years, tidak selesai dalam satu tahun anggaran, bisa tiga tahun atau lebih,” katanya.

Menurutnya, mekanisme pengawasan juga dilakukan secara ketat karena risiko yang dihadapi sangat besar. 

“Kalau di rumah tangga paling banter risikonya ribut kecil antara suami dan istri, tapi kalau di pemerintahan risikonya besar, ada BPK, inspektorat, bahkan DPRD yang mengawasi,” ujar Nur.

Tahapan belanja pemerintah dimulai dari identifikasi kebutuhan yang disusun masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan dibahas bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebelum disahkan melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran.

“Awalnya kebutuhan itu muncul dari masing-masing OPD. Mereka menyusun rencana kegiatan dan kebutuhan anggarannya, lalu diajukan melalui Bappeda. Setelah itu, hasilnya dibahas lagi bersama DPRD dan disetujui menjadi DPA,” jelas Gerri.

Proses itu, tambah Nur Subiantoro, tidak hanya bersumber dari birokrasi, melainkan juga dari aspirasi masyarakat. 

“Jangan sampai ada kesalahpahaman bahwa yang menentukan kebutuhan hanya OPD. Prosesnya panjang dan dimulai dari bawah, dari musrenbang dusun hingga musrenbang kabupaten. Pemerintah mendengar kebutuhan masyarakat dari bawah dulu, lalu baru masuk ke perencanaan belanja,” ujarnya.

Setelah disetujui dalam DPA, barulah proses pengadaan dilakukan. Data kebutuhan tersebut dimasukkan dalam sistem Rencana Umum Pengadaan (RUP) agar dapat dimonitor melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). “Melalui LPSE, semua pengadaan terpantau secara online. Jadi kita bisa lihat apa saja yang akan diadakan, dari jenis barang, jasa, hingga nilai pagunya,” kata Gerri.

Baca juga: Pemda DIY Tegaskan Optimalisasi PAD dan Efisiensi Belanja Publik dalam RAPBD 2026

Masyarakat Bisa Memantau Lewat Sistem Terbuka

Seluruh data pengadaan kini dapat diakses publik melalui situs sirup.lkpp.go.id. Di sana, masyarakat dapat melihat seluruh rencana pengadaan dari tiap OPD, termasuk nilai pagunya.

“Semua data yang sudah masuk bisa diakses publik. Bahkan pelaku usaha atau UMKM bisa ikut mendaftar sebagai penyedia barang atau jasa melalui katalog elektronik atau marketplace pemerintah,” terang Gerri.

Ia menambahkan, pemerintah kini juga memiliki katalog elektronik seperti marketplace umum.

“Ada katalog elektronik tempat para penyedia menawarkan produknya. Namun tentu mereka harus memenuhi syarat administrasi seperti NPWP dan legalitas usaha, karena semua transaksi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan termasuk pajaknya,” ujarnya.

Menurut Nur Subiantoro, DPRD turut mengawasi agar setiap belanja pemerintah berjalan transparan dan berdampak langsung bagi masyarakat.

 “Pengawasan dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga akhir tahun anggaran. Kalau ada sisa anggaran besar justru menunjukkan perencanaan yang kurang optimal,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya memprioritaskan produk lokal.

" Kami dorong agar belanja pemerintah memprioritaskan produk lokal dan UMKM. Misalnya dalam jasa konstruksi, tenaga kerja lokal harus dilibatkan agar dampaknya langsung terasa ke masyarakat,” ujar Nur.

Untuk memilih penyedia barang dan jasa, pemerintah menerapkan beberapa metode sesuai regulasi, seperti tender, e-katalog, e-purchasing, pengadaan langsung, dan penunjukan langsung. 

“E-katalog atau e-purchasing itu seperti marketplace khusus untuk pemerintah. Barang atau jasa yang sudah terdaftar bisa langsung dibeli tanpa proses tender karena sudah melewati kurasi dan memiliki standar harga tertentu,” jelas Gerri.

Untuk proyek besar, seperti konstruksi dengan nilai di atas Rp400 juta, wajib melalui tender terbuka. Sedangkan pengadaan langsung digunakan untuk nilai di bawah Rp200 juta. 

“Biasanya kita mengundang tiga penyedia untuk memberikan penawaran harga dan kualitas. Prosesnya seperti pitching, tetapi tetap dilakukan melalui sistem elektronik agar transparan,” ujarnya.

Sementara itu, Leylandi Listyo Hatmojo menambahkan bahwa kini beberapa proyek konstruksi juga bisa dilakukan lewat katalog elektronik.

“Dalam sistem katalog, penyedia akan memiliki penilaian atau rating berdasarkan kinerja proyek sebelumnya. Jadi semacam ‘bintang’ seperti di marketplace umum, tapi untuk proyek pemerintah,” katanya.

Untuk menjaga kualitas hasil pekerjaan, pemerintah menetapkan mekanisme tegas dalam kontrak. 

“Kadang ada penyedia yang tidak bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Akibatnya proyek molor dan berdampak ke masyarakat. Makanya dalam kontrak ada ketentuan denda keterlambatan, biasanya sebesar 1/1000 dari nilai kontrak per hari,” jelas Nur Subiantoro.

Gerri menambahkan, pembayaran proyek dilakukan bertahap sesuai progres pekerjaan dan tetap memiliki masa pemeliharaan. 

" Setelah proyek selesai pun masih ada masa pemeliharaan, misalnya enam bulan untuk pekerjaan konstruksi. Kalau ada kerusakan dalam masa itu, penyedia wajib memperbaiki tanpa biaya tambahan,” katanya.

Jika ditemukan barang tidak sesuai spesifikasi, pemerintah berhak menolak. “Kalau barang tidak sesuai spesifikasi, bisa ditolak. Tim teknis akan memeriksa kesesuaian barang dengan spesifikasi yang ditetapkan. Jika tidak sesuai, penyedia wajib mengganti,” ujar Leylandi.

Setiap tender juga memiliki masa sanggah selama satu minggu setelah pengumuman pemenang. “Kalau ada peserta lain yang keberatan, mereka boleh mengajukan sanggahan disertai alasan dan bukti. Kalau terbukti ada kesalahan dalam evaluasi, proses tender bisa diulang,” terang Gerri.

Nur menegaskan, pengawasan dilakukan berlapis. 

“Dari internal ada inspektorat dan BPK, dari legislatif ada DPRD. Kami juga mendorong adanya standar harga eceran tertinggi untuk barang-barang lokal agar harga tetap terkendali,” katanya.

Para narasumber sepakat bahwa sistem pengadaan yang transparan harus menjadi peluang bagi masyarakat, bukan sekadar pengawasan.

“Harapan saya, masyarakat ikut aktif mengawasi dan juga memanfaatkan peluang dari belanja pemerintah. Karena ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga kesempatan bagi masyarakat untuk berkontribusi dan berkembang bersama,” kata Nur Subiantoro.

“Saya berharap semakin banyak pelaku UMKM yang ikut menjadi penyedia dalam pengadaan pemerintah. Sekarang sistemnya terbuka dan mudah diakses, jadi ayo manfaatkan kesempatan ini,"imbuh Gerry.

Sedangkan Leylandi menegaskan, “Kami terus berkomitmen menjaga transparansi dan integritas dalam setiap proses pengadaan, agar hasilnya betul-betul memberi manfaat bagi masyarakat.”

Dari perencanaan hingga pengawasan, belanja pemerintah kini semakin terbuka dan sistematis. Prinsip transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas menjadi kunci agar uang rakyat benar-benar kembali dalam bentuk manfaat publik. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved