Belanja Pemerintah Tak Bisa Asal, Semua Harus Terencana dan Transparan

Prinsip utama yang diterapkan adalah value for money, yakni memastikan setiap rupiah uang rakyat memberikan nilai manfaat tertinggi bagi publik

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Hari Susmayanti
Tribunjogja.com/Ist
Belanja pemerintah untuk rakyat. Narasumber program Insight Pengadaan Barang dan Jasa memaparkan perbedaan antara belanja pribadi dan belanja pemerintah yang harus melalui proses perencanaan, pengawasan, serta sistem digital terbuka agar setiap rupiah uang rakyat dapat dipertanggungjawabkan. 

Proses itu, tambah Nur Subiantoro, tidak hanya bersumber dari birokrasi, melainkan juga dari aspirasi masyarakat. 

“Jangan sampai ada kesalahpahaman bahwa yang menentukan kebutuhan hanya OPD. Prosesnya panjang dan dimulai dari bawah, dari musrenbang dusun hingga musrenbang kabupaten. Pemerintah mendengar kebutuhan masyarakat dari bawah dulu, lalu baru masuk ke perencanaan belanja,” ujarnya.

Setelah disetujui dalam DPA, barulah proses pengadaan dilakukan. Data kebutuhan tersebut dimasukkan dalam sistem Rencana Umum Pengadaan (RUP) agar dapat dimonitor melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). “Melalui LPSE, semua pengadaan terpantau secara online. Jadi kita bisa lihat apa saja yang akan diadakan, dari jenis barang, jasa, hingga nilai pagunya,” kata Gerri.

Baca juga: Pemda DIY Tegaskan Optimalisasi PAD dan Efisiensi Belanja Publik dalam RAPBD 2026

Masyarakat Bisa Memantau Lewat Sistem Terbuka

Seluruh data pengadaan kini dapat diakses publik melalui situs sirup.lkpp.go.id. Di sana, masyarakat dapat melihat seluruh rencana pengadaan dari tiap OPD, termasuk nilai pagunya.

“Semua data yang sudah masuk bisa diakses publik. Bahkan pelaku usaha atau UMKM bisa ikut mendaftar sebagai penyedia barang atau jasa melalui katalog elektronik atau marketplace pemerintah,” terang Gerri.

Ia menambahkan, pemerintah kini juga memiliki katalog elektronik seperti marketplace umum.

“Ada katalog elektronik tempat para penyedia menawarkan produknya. Namun tentu mereka harus memenuhi syarat administrasi seperti NPWP dan legalitas usaha, karena semua transaksi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan termasuk pajaknya,” ujarnya.

Menurut Nur Subiantoro, DPRD turut mengawasi agar setiap belanja pemerintah berjalan transparan dan berdampak langsung bagi masyarakat.

 “Pengawasan dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga akhir tahun anggaran. Kalau ada sisa anggaran besar justru menunjukkan perencanaan yang kurang optimal,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya memprioritaskan produk lokal.

" Kami dorong agar belanja pemerintah memprioritaskan produk lokal dan UMKM. Misalnya dalam jasa konstruksi, tenaga kerja lokal harus dilibatkan agar dampaknya langsung terasa ke masyarakat,” ujar Nur.

Untuk memilih penyedia barang dan jasa, pemerintah menerapkan beberapa metode sesuai regulasi, seperti tender, e-katalog, e-purchasing, pengadaan langsung, dan penunjukan langsung. 

“E-katalog atau e-purchasing itu seperti marketplace khusus untuk pemerintah. Barang atau jasa yang sudah terdaftar bisa langsung dibeli tanpa proses tender karena sudah melewati kurasi dan memiliki standar harga tertentu,” jelas Gerri.

Untuk proyek besar, seperti konstruksi dengan nilai di atas Rp400 juta, wajib melalui tender terbuka. Sedangkan pengadaan langsung digunakan untuk nilai di bawah Rp200 juta. 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved