Seniman di Jogja Suarakan Keresahan Maraknya Eksploitasi Alam Melalui Pameran 'Instrument'
Dalam presentasi visualnya, para seniman secara terang-terangan menyoroti isu lingkungan, air, pangan, dan energi yang kini berada di ambang krisis.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Di tengah maraknya eksploitasi alam yang semakin mengancam kelestarian lingkungan Indonesia, sekelompok perupa di Yogyakarta hadir menyuarakan keresahan melalui bahasa visual yang abstrak dan kontemplatif.
Pameran seni rupa bertajuk 'Instrument' yang digelar di Omah Budoyo, Mergangsan, Kota Yogyakarta, pada 12 Oktober - 3 November 2025, menjadi arena refleksi atas dinamika rumit hubungan manusia dan alam yang kian tak harmonis.
Terdapat delapan seniman, yakni Yogi Wistyo, Sentot D. Setiawan, N. Rinaldy, Moko Jepe, Deni Setiawan, D. Koestrita, Antonius Ruli, dan Deden FG, yang menghadirkan lebih dari 80 karya lukisan abstrak.
Istilah 'Instrument' dipilih sebagai metafora perangkat kehidupan, baik alamiah maupun buatan manusia, yang seharusnya menjaga keseimbangan ekosistem, namun ironisnya sering kali berubah menjadi alat destruktif akibat kerakusan dan ketidaksadaran.
Dalam presentasi visualnya, para seniman secara terang-terangan menyoroti isu lingkungan, air, pangan, dan energi yang kini berada di ambang krisis.
Mereka merefleksikan disonansi yang terjadi akibat perilaku manusia yang kian tidak selaras dengan alam, mulai dari perubahan iklim, anomali cuaca, hingga efek kosmis yang dianggap sebagai peringatan universal.
Deni Setiawan, salah satu perupa, mengungkapkan, bahwa pameran ini lahir dari keprihatinan kolektif terhadap eksploitasi besar-besaran dan perusakan lingkungan.
"Kami membawa isu lingkungan sebenarnya. Ada beberapa keprihatinan kawan-kawan terhadap eksploitasi besar-besaran pada lingkungan, perusakan pada lingkungan," ujarnya, Minggu (12/10/2025) malam.
Keresahan ini tidak hanya terfokus pada problem tambang ilegal semata, tetapi juga mencakup isu perebutan wilayah sumber daya dan dampak pembangunan yang menggerus eksistensi hutan.
Termasuk, perebutan kekuasaan oleh oleh orang-orang yang menggunakan powernya untuk menggali sumber daya di Indonesia, dan memerasnya habis-habisan.
"Sangat gelisah, kita khawatir kapan lagi melihat hutan yang hijau. Pemindahan ibukota ke Kalimantan misalnya, itu kan juga menggerus hutan. Kalau tidak hati-hati, kalau tidak disikapi dengan serius, kerusakan semakin parah," tandasnya.
"Harapan kami, pemerintah itu mulai memperhatikan fenomemena ini. Mulai menegur, mulai membatasi tambang-tambang liar begitu. Mulai memberantas aktivitas-aktivitas ilegal," imbuh Deni.
Dalam menyampaikan pesan moral yang mendalam, para seniman pun memilih medium abstraksi, yang dianggapnya lebih bebas tanpa terbatas oleh apapun.
Melalui bahasa visual yang intuitif, warna, bentuk, dan ritme dalam lukisan menjadi instrumen untuk mengungkap getaran emosional dan kesadaran ekologis.
Karya-karya tersebut, bukan sekadar representasi literal, melainkan jadi ruang tafsir cair yang mengajak publik untuk mendengar bunyi-bunyi alam yang selama ini terlupakan.
Pameran Nandur Srawung di TBY Ajak Publik ‘Eling’ dan Temukan Kesadaran Baru di Tengah Krisis Dunia |
![]() |
---|
Bahagianya Seniman Jalanan Malioboro, Kembali Dapat 'Panggung' di Pedestrian |
![]() |
---|
Menangkap Lokalitas Lewat Lensa: Pameran Fotografi LOOK ALL 2025 |
![]() |
---|
UNU Yogyakarta dan Indika Foundation Gelar Pameran dan Forum ‘Ruang Riung’ |
![]() |
---|
Info Pameran Seni Rupa di Jogja: Waktu, Lokasi dan Ragam Agenda |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.