Pemda DIY Nilai Maxride Berada di Zona Abu-abu dan Perlu Aturan Khusus

Pemda DIY menilai kondisi itu berisiko karena kendaraan pribadi berplat hitam digunakan sebagai angkutan umum tanpa izin.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUN JOGJA / Almurfi Syofyan
BAJAJ MAXRIDE : Foto dok ilustrasi. Seorang driver Bajaj Maxride saat menunggu orderan di area parkir Abu Bakar Ali, Kota Yogyakarta, Jumat (30/5/2025) siang. 

TRIBUNJOGJA.COM - Berbeda dari becak bermotor (bentor) yang sejak awal dinyatakan ilegal, transportasi aplikasi Maxride berada di zona abu-abu. Pemda DIY menilai kondisi itu berisiko karena kendaraan pribadi berplat hitam digunakan sebagai angkutan umum tanpa izin.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menegaskan bahwa layanan Maxride tidak memiliki dasar hukum sebagai angkutan orang. Kendaraan yang digunakan tercatat sebagai sepeda motor pribadi, tetapi difungsikan untuk mengangkut penumpang.

“Maxride ini kan sepeda motor pribadi, platnya jelas sepeda motor. Tapi begitu dipakai mengangkut penumpang, itu masuk kategori angkutan umum. Nah, secara izin, tidak ada,” papar Made di Yogyakarta, Rabu (1/10/2025).

Made menyebut aturan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah menegaskan klasifikasi angkutan orang. Karena itu, status Maxride tidak bisa serta-merta dianggap sah hanya karena memakai kendaraan berplat resmi hitam.

Pemda DIY pun meminta agar kabupaten/kota segera menyusun aturan operasional. Meski Maxride melayani perjalanan lintas daerah, kewenangan perizinan tetap berada pada pemerintah kabupaten/kota.

“Jangan hanya bicara di kota, tapi semua kabupaten harus punya sikap. Karena layanannya lintas batas, dari Sleman ke Kota, dari Bantul ke Kota, dan seterusnya. Kalau tidak diatur, masyarakat bingung,” ujarnya.

Menurut Made, keberadaan Maxride menimbulkan kebingungan karena secara registrasi motor yang dipakai sah, tetapi fungsinya bukan lagi kendaraan pribadi. Hal itu berbeda dengan motor roda tiga pengangkut barang yang sejak awal memang tidak diperuntukkan membawa penumpang.

“Kalau bentor jelas ilegal. Nah, Maxride ini beda. Motor pribadinya legal, tapi fungsinya dipakai angkutan orang. Itu yang harus dibatasi kabupaten/kota, boleh (beroperasi) di mana, kawasan mana, atau bahkan tidak boleh sama sekali,” tandasnya.

Ia menambahkan, Pemda DIY bersama Polda DIY sudah sempat membahas posisi aplikator Maxride. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut karena aplikator dinilai tidak kooperatif.

“Kalau terus tidak kooperatif, bisa saja ujungnya ada langkah hukum. Kita juga sudah koordinasi dengan Ditlantas dan kepolisian,” ungkap Made.

Meski demikian, Pemda DIY masih membuka peluang Maxride beroperasi di sejumlah wilayah dengan keterbatasan moda transportasi. Daerah seperti Gunungkidul dan Kulon Progo dinilai lebih memungkinkan karena jumlah angkutan umum yang minim.

“Sebenarnya bukan tidak boleh, (tapi) layanannya itu mau diatur seperti apa, mungkin ada batasan layanan. Nah tinggal pengaturan kabupaten/kota seperti apa untuk itu. Misal Gunungkidul, Kulon Progo monggo saja kalau diatur kawasannya di mana. Terus kalau Kota mau bagaimana, misal tidak ya tidak,” ujarnya.

Sebaliknya, untuk Kota Yogyakarta, Made menilai sudah hampir tidak mungkin menambah moda transportasi baru. Jalan yang sempit dan banyaknya kendaraan membuat keberadaan Maxride justru berpotensi memperparah kepadatan lalu lintas.

Pemda DIY pun akan kembali memanggil pemerintah kabupaten/kota untuk membahas aturan sekaligus menyosialisasikan masalah Maxride agar masyarakat tidak bingung.

“Ya iya (harus rapat lagi), kita kan juga tidak bisa serta merta melakukan penegakan, harus ada sosialisasi. Mau kita semua yang ada di DIY, terutama di perkotaan, ada pengaturan yang baik,” tandas Made.

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved