Reshuffle Menkeu, Ekonom UMBY Ingatkan Pentingnya Kebijakan Fiskal yang Hati-hati

Terkait pernyataan Purbaya yang menyebut target pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8 persen, Widarta menilai target itu terlalu berat.

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Pengamat ekonomi sekaligus dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada Senin (8/9/2025).

Perombakan kabinet yang juga mencakup penggantian beberapa menteri lain itu memicu reaksi pasar dan diskusi publik mengenai arah kebijakan fiskal pemerintah ke depan.

Penggantian Sri Mulyani terjadi di tengah gelombang protes nasional yang menyorot sejumlah kebijakan fiskal dan fasilitas pejabat, termasuk unjuk rasa yang sempat berujung bentrokan.

Keputusan reshuffle ini—kata pengamat dan pelaku pasar—menimbulkan kekhawatiran investor tentang kemungkinan pelonggaran disiplin fiskal yang selama ini dikaitkan dengan sosok mantan menteri keuangan tersebut.

Purbaya, yang sebelumnya menjabat Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dipandang sebagai ekonom-birokrat dengan rekam jejak di dunia keuangan negara; namun penggantian terhadap figur global seperti Sri Mulyani dinilai akan berdampak pada sentimen pasar jangka pendek.

Pengamat ekonomi sekaligus dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta, menilai reshuffle merupakan hal biasa, namun menyebut kondisi kali ini 'agak aneh.'

"Baik, yang pertama yang namanya reshuffle itu hal biasa ya. Nah kalau ini kan memang agak aneh karena ini dipicu oleh demo belakangan ini, yang dipicu ketidakpuasan terhadap DPR, yang juga berujung penjarahan ke kediaman beliau (Sri Mulyani)," ujar Widarta.

"Jadi satu-satunya kediaman menteri (yang rumahnya dijarah), lainnya kan DPR, kalangan artis," tambahnya.

Selanjutnya, Widarta menyebut masih belum jelas apakah Sri Mulyani benar-benar mundur atau dicopot. 

“Kalau dari sisi mundur mungkin karena faktor tadi, kalau dicopot juga mungkin bisa karena faktor dari terlalu lama, beliau menjabat kalau tidak 3 kali periode ya, 14 tahun,” tuturnya.

Ia juga menyoroti bahwa sepanjang periode itu terdapat sejumlah kebijakan fiskal yang dianggap kontroversial, khususnya soal dominasi pajak dalam penerimaan negara.

Menurut Widarta, ketergantungan APBN terhadap pajak yang mencapai 70–80 persen berimplikasi langsung pada beban yang ditanggung masyarakat.

"Termasuk UMKM yang disuruh naik kelas, belum naik kelas sudah dipajekin," ujarnya.

Kondisi ini, kata dia, menjadi salah satu penyebab keresahan publik. 

Meski demikian, ia menegaskan bahwa figur Sri Mulyani adalah tokoh global dan salah satu perempuan Indonesia yang berpengaruh di dunia. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved